indotim.net (Senin, 26 Februari 2024) – Dokter dari berbagai penjuru Gaza membagikan kisah pilu mereka, dimana terpaksa mengoperasi pasien tanpa anestesi, menolak pasien dengan kondisi kronis, dan merawat luka yang membusuk dengan peralatan medis terbatas.
Seorang dokter di Gaza mengungkapkan bahwa akibat kurangnya persediaan obat penghilang rasa sakit, mereka terpaksa membiarkan para pasien menjerit selama berjam-jam tanpa dapat memberikan bantuan yang memadai. Hal ini menjadi suatu situasi yang sangat menyedihkan dan mengharukan di tengah kondisi kesehatan masyarakat yang terbatas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan buruknya kondisi pelayanan kesehatan di Gaza “tidak bisa digambarkan dengan kata-kata”.
Situasi ini membuat para dokter di Gaza harus menghadapi dilema yang amat sulit. Dokter di salah satu rumah sakit terbesar di Gaza, Dr. Ahmed Abu Nada, mengungkapkan kisah pilu yang menohok hati.
Menurut WHO, 23 rumah sakit di Gaza sama sekali tidak berfungsi per hari Minggu (18/02), sementara 12 lainnya hanya berfungsi sebagian dan satu RS hanya seadanya.
Kondisi ini membuat dokter dan tenaga medis di Gaza terpaksa menghadapi situasi yang sangat sulit. Mereka harus memilih pasien mana yang membutuhkan pertolongan darurat segera.
Dokter-dokter di Gaza menghadapi situasi yang semakin sulit dalam memberikan pelayanan kesehatan akibat serangan udara dan kelangkaan pasokan.
Dalam kondisi yang darurat, mereka terkadang terpaksa memilih keputusan sulit, seperti membiarkan pasien menjerit berjam-jam karena keterbatasan obat dan peralatan medis yang diperlukan.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengeklaim bahwa Hamas “secara sistematis menggunakan banyak rumah sakit dan pusat kesehatan dalam melancarkan aksi teror mereka”.
Dokter-dokter di Gaza harus berjuang di tengah kondisi yang sulit, terutama dalam menangani korban akibat konflik yang terus berlangsung. Mereka sering kali terpaksa menghadapi situasi menyedihkan di mana pasien harus menjerit kesakitan berjam-jam lamanya.
Dalam pernyataan yang diterima BBC, IDF mengatakan “[kami] tidak ‘menyerang’ rumah-rumah sakit, tetapi memasuki area-area spesifik [untuk] melumpuhkan infrastruktur dan perlengkapan Hamas, juga menangkap teroris-teroris Hamas” dan “tindakan [mereka] dilakukan dengan sangat berhati-hati”.
Dilaporkan bahwa IDF telah mengonfirmasi bahwa mereka telah memberikan izin bagi bantuan kemanusiaan untuk masuk ke Gaza, termasuk persediaan medis.
Organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan, termasuk WHO, telah mencatat “pembatasan dan penolakan akses masuk yang berulang-ulang”.
Peringatan: Artikel ini mengandung detail-detail yang mungkin mengganggu kenyamanan pembaca.
Rumah sakit kewalahan
Para petugas kesehatan di Gaza mengatakan banyak rumah sakit di sana kelebihan kapasitas dan peralatan pun terbatas. Beberapa laporan menyebut jumlah pasien di sebagian rumah sakit di Gaza mencapai 300% melebihi kapasitas tempat tidur.
WHO melaporkan bahwa empat rumah sakit lapangan telah dibangun di Gaza, menyediakan total 305 tempat tidur untuk pasien yang membutuhkan.
Pada hari Minggu (18/02), Rumah Sakit Nasser di Gaza dilaporkan menjadi fasilitas terakhir yang menjadi tidak berfungsi setelah diserbu militer Israel.
Pada Minggu malam (18/02), IDF mengumumkan bahwa mereka menemukan senjata dan obat-obatan dengan nama serta foto sandera di atasnya di rumah sakit tersebut. IDF juga mengklaim telah menangkap “ratusan teroris” yang bersembunyi di rumah sakit.
“Hamas terus-menerus menempatkan penduduk Gaza yang paling rentan dalam marabahaya dengan secara egois menggunakan rumah-rumah sakit untuk aksi teror,” kata IDF kepada BBC.
Baca juga:
Keadaan di rumah sakit semakin memburuk, dengan keterbatasan pasokan obat-obatan dan peralatan medis. Dokter-dokter di Gaza terpaksa menghadapi situasi sulit di mana mereka sering kali harus memilih siapa yang dapat mereka layani dan siapa yang harus menunggu, bahkan terkadang terpaksa biarkan pasien menjerit kesakitan berjam-jam.
- Tenaga kesehatan Gaza yang tewas di dalam ambulansnya sendiri
- Sejarah Rafah, kota tempat jutaan warga Palestina mengungsi yang terancam serangan darat Israel
- Israel gempur Rafah demi bebaskan dua sandera, puluhan warga Palestina tewas
Mereka yang bertugas di rumah-rumah sakit di dekat RS Nasser mengaku semakin kewalahan.
Yousef al-Akkad, direktur RS Eropa Gaza di Khan Younis, menggambarkan kondisi saat ini sebagai “yang paling parah semenjak awal perang dimulai”.
“Situasi sebelumnya sudah parah, jadi Anda kira-kira saja bagaimana rasanya menerima ribuan pasien terlantar dan sekarang berada di koridor-koridor [RS] dan area publik lainnya?”
Dokter-dokter di Gaza merasakan beban berat ketika harus menjalani kenyataan pahit di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan. Mereka terpaksa menghadapi situasi di mana pasien harus menunggu berjam-jam bahkan sambil menjerit dalam penderitaan. Rasakan betapa tidak manusiawinya.
Dia mengungkapkan bahwa rumah sakit tempatnya bekerja tidak memiliki cukup tempat tidur untuk menampung semua pasien yang membutuhkan perawatan. Kondisi ini membuat petugas rumah sakit terpaksa menyediakan sprei di atas rangka besi dan kayu agar pasien bisa tidur meskipun hanya di lantai tanpa selimut.
Dokter-dokter lainnya di Gaza mendeskripsikan situasi serupa.
Menanggapi kondisi darurat di Gaza, Dr Marwan al-Hams, direktur RS Martyr Mohammed Yusuf al-Najjar di Rafah, mengungkapkan, “Bahkan jika ada yang kena serangan jantung atau masalah jantung lainnya, kami meletakkan mereka di lantai dan menangani mereka.”
Pejabat Hamas menunjuk kepala-kepala RS publik di Gaza. Dalam beberapa kasus, para direktur ini sudah bertugas sebelum Hamas menguasai Jalur Gaza.
Dr. Marwan al-Hams, seorang dokter di sebuah rumah sakit di Gaza, menghadapi dilema yang menyayat hati setiap harinya. Keterbatasan peralatan medis dan obat-obatan telah membuatnya terpaksa memilih antara menyelamatkan nyawa pasien atau membiarkan mereka menderita.
Dr. Marwan al-Hams mengungkapkan kondisi sulit di mana para pasien harus dirawat di lantai tanpa tempat tidur yang memadai.
Keterbatasan Obat dan Persediaan Medis
Para dokter di Gaza menyuarakan kesulitan mereka akibat keterbatasan suplai obat-obatan dan perlengkapan medis yang memprihatinkan. Salah seorang dokter dengan nada prihatin mengungkapkan, “Kami seolah tak dapat bernapas sedikit pun menghadapi kenyataan ini,” kepada BBC.
Pada kondisi tersebut, Dr al-Akkad mengungkapkan, “Kami kekurangan anestesi, suplai untuk ICU, antibiotik, dan obat penghilang rasa sakit. Banyak sekali orang menderita luka bakar yang parah dan kami tidak bisa menemukan obat penghilang rasa sakit yang cocok untuk mereka.”
Sebelumnya, satu dokter mengaku tindakan bedah dilakukan tanpa anestesi, yang membuat pasien harus menahan rasa sakit.
Ia terpaksa melanjutkan prosedur medis meskipun pasien menjerit-jerit kesakitan di ruang operasi.
Sebuah tim dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mengungkap kisah pilu seorang dokter di Rumah Sakit Eropa Gaza. Mereka bertemu dengan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang menderita luka bakar sebesar 75%. Namun, anak tersebut terpaksa menjerit berjam-jam karena tidak mendapatkan obat penghilang rasa sakit. Alasannya, persediaan obat tersebut sangat langka di sana.
Dr Mohamed Salha, pejabat bertugas selaku direktur RS Al-Awda di utara Gaza, mengungkapkan bagaimana pasien-pasien dipindahkan dengan keledai dan kuda.
“Yang menjadi bencana adalah ketika luka pasien membusuk karena dibiarkan terbuka selama lebih dari dua atau tiga minggu,” ujarnya.
Baca juga:
Dokter Sara, seorang tenaga medis di Gaza, berbagi kisah menyedihkan tentang situasi keterbatasan di rumah sakit akibat blokade. “Keterbatasan obat dan alat medis membuat kami sering terpaksa biarkan pasien menjerit berjam-jam,” ujar Sara.
- Apakah perang di Gaza picu eskalasi kekerasan di Timur Tengah?
- ‘Kami hanya ingin perang berakhir’ – Kisah anak-anak Gaza yang menjadi yatim piatu akibat perang
Salha menjelaskan bahwa dokter-dokter di rumah sakit tempatnya bekerja terpaksa melakukan operasi dengan senter kepala sebagai alat penerangan karena listrik di daerah tersebut sangat terbatas.
Staf Pusat Kesehatan di Gaza Tidak Bisa Dekat dengan Keluarga Mereka
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa terdapat sekitar 20.000 tenaga medis yang bekerja di Gaza. Namun, banyak di antara mereka tidak dapat menjalankan tugas dengan optimal karena terkendala masalah keuangan dan kewalahan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta merawat keluarga mereka sendiri.
Dr al-Akkad mengungkapkan bahwa jumlah staf dan relawan di rumah sakitnya telah bertambah sebagian karena banyak orang yang terlantar di wilayah lain datang untuk memberikan bantuan. Meskipun demikian, dia mengakui bahwa hal ini masih belum cukup untuk menangani semua pasien beserta berbagai jenis luka yang diderita.
Setelah pengeboman, Dr. al-Akkad mengungkapkan bahwa pasien yang menderita luka datang ke RS dan “terlihat seperti kofta” – kofta adalah hidangan lokal yang terbuat dari daging cincang.
“Orang yang sama datang dengan luka di bagian otak, rusuk patah, tangan atau kaki patah, kadang-kadang kehilangan bola mata semua luka yang bisa Anda bayangkan, Anda akan temukan di RS kami.”
Dokter-dokter kami berjuang memberikan pelayanan terbaik meski dengan keterbatasan. Mereka harus bertahan melihat pasien menjerit kesakitan tanpa bisa segera ditangani.
Sambungan dari pengalaman Dr. al-Akkad mengungkapkan bahwa satu pasien dapat membutuhkan setidaknya lima dokter spesialis untuk penanganan lukanya.
Dokter di Gaza terpaksa menghadapi situasi yang sulit akibat keterbatasan sumber daya. Mereka sering kali harus membuat keputusan sulit, termasuk dalam menangani pasien yang menderita tanpa cukup obat atau peralatan medis.
Seorang pria yang mengalami luka-luka dilarikan ke sebuah rumah sakit di Rafah. (Reuters)
Sebagian dokter terus bekerja meski terpisah dari keluarga mereka.
Situasi di Gaza semakin parah dengan sumber daya kesehatan yang terbatas.
“Keluarga saya sudah berada jauh dari saya selama tiga bulan lamanya dan saya kangen memeluk mereka,” ujar Dr. Salha di Gaza utara. Keluarganya menyelamatkan diri ke selatan Gaza.
Di tengah kondisi konflik yang melanda Gaza, Dr. Salha terpaksa bekerja tanpa henti di sebuah rumah sakit. Pasien-pasien membutuhkan perawatan medis yang mendesak, namun keterbatasan sumber daya membuat situasi semakin sulit.
“Pelipur lara saya adalah bahwa saya di sini melayani anak-anak, perempuan, dan lansia untuk mendapat perawatan dan menyelamatkan nyawa mereka.”
Meski begitu, keterbatasan pasokan obat dan peralatan medis di Gaza menjadi hambatan utama bagi dokter dan pasien. Dokter-dokter di sana terpaksa menghadapi situasi menyedihkan di mana mereka terpaksa membiarkan pasien menjerit dalam kesakitan berjam-jam sebelum bisa memberikan pertolongan yang memadai.
Tiada Ruangan untuk Pasien Kronis
Kepada BBC, para dokter di Gaza mengungkapkan bahwa pasien-pasien dengan kondisi kronis merupakan kelompok yang paling menderita di tengah keterbatasan sumber daya di wilayah tersebut. Mereka seringkali terpaksa membiarkan pasien mereka menjerit dan menderita berjam-jam lamanya sebelum mendapatkan pertolongan medis yang memadai.
“Jujur saja, kami tidak punya tempat tidur untuk mereka atau kesempatan untuk menindaklanjuti keluhan,” tutur Dr al-Akkad.
“Pasien yang seharusnya menjalani cuci darah empat kali seminggu sekarang hanya bisa dilakukan sekali seminggu. Sebelumnya, dia mampu menjalani sesi cuci darah selama 16 jam dalam seminggu, kini hanya bisa satu jam.”
Sebagian perempuan melahirkan bayi mereka di tenda-tenda tanpa bantuan medis. Rumah sakit yang memiliki poli kebidanan mengaku kapasitasnya terbatas.
“Di satu tempat seseorang meninggal dan di tempat lain bayi baru dilahirkan. Anak-anak dilahirkan dan tidak ada susu untuk mereka. Rumah sakit menyediakan satu boks susu untuk setiap anak,” ujar Dr Salha.
Orang-orang datang ke rumah-rumah sakit dengan berbagai penyakit yang tersebar karena kondisi yang sesak dan tidak higienis.
Di tengah kekurangan alat medis dan obat-obatan, dokter-dokter di Gaza terpaksa menghadapi situasi sulit. Mereka harus membuat keputusan sulit untuk menangani pasien dengan prioritas yang paling mendesak.
“Ada penyakit-penyakit dan kami tidak bisa menemukan obatnya,” ucap Abu Khalil, 54, seorang pengungsi di Rafah.
“Kami harus pergi subuh-subuh untuk mengantre dan bisa jadi sudah ada 100 orang di depan Anda. Anda pun pulang tanpa pengobatan sama sekali.”
Reportase tambahan oleh Muath Al Khatib
Seorang dokter di Gaza, Palestina, membagikan kisah pilunya dalam menangani pasien di tengah konflik yang terus berlanjut. Dokter tersebut mengungkapkan bahwa mereka terpaksa meninggalkan pasien yang sedang menderita dengan menjerit selama berjam-jam karena keterbatasan sumber daya dan jumlah tenaga medis yang tersedia.
Meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan perawatan terbaik, namun keterbatasan alat medis dan fasilitas kesehatan menjadi kendala utama. Hal ini membuat dokter-dokter di Gaza sering kali harus membuat keputusan sulit dan terkadang terpaksa memprioritaskan pasien yang membutuhkan pertolongan langsung.
Kondisi ini semakin diperparah dengan terbatasnya akses terhadap obat-obatan dan peralatan medis akibat blokade yang diberlakukan terhadap wilayah Gaza. Akibatnya, proses penyembuhan pasien seringkali terhambat dan berpenuh tantangan.
Para dokter di Gaza merasa tertekan dan terbebani dengan situasi yang terus memburuk. Meskipun demikian, semangat dan dedikasi untuk menyelamatkan nyawa tetap menjadi prioritas utama bagi para tenaga medis yang berjuang di tengah konflik.
Keadaan yang menyedihkan ini menggambarkan betapa pentingnya perdamaian dan akses kesehatan yang layak bagi masyarakat Gaza. Semoga suatu hari nanti, semua pihak dapat bekerja sama untuk memberikan perlindungan dan perhatian yang layak bagi setiap individu yang membutuhkan, tanpa terkecuali.