indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Pada tanggal 1 Maret lalu, sekitar 61 juta warga negara Iran dipanggil untuk mencoblos parlemen baru. Selain itu, masyarakat juga harus menentukan susunan anggota Dewan Ahli yang bertugas memilih pemimpin spiritual dan politik negara tersebut.
Dikutip dari kantor berita Azar Qalam, sebuah survei di Iran belum lama ini memperkirakan tingkat partisipasi di kisaran 30 persen.
Di ibu kota Teheran, hanya 15 persen yang mengaku akan ambil bagian dalam pemilu.
Para responden menyebut ketidakberdayaan parlemen, korupsi dan kecilnya harapan akan masa depan yang lebih baik sebagai alasan utama mereka tidak memilih.
Menurut kantor berita pemerintah, IRNA, sekitar 15.200 kandidat akan bersaing memperebutkan 290 kursi di badan legislatif. “Sebagian besar calon, terutama di daerah pemilihan kecil, adalah dokter, insinyur, pegawai negeri, dan guru yang bukan anggota kelompok politik mana pun,” kata jurnalis Masiar Chosravi kepada kantor berita AFP. Dengan mengizinkan jumlah kandidat yang relatif besar, pemerintah ingin “menciptakan persaingan di tingkat lokal dan meningkatkan jumlah pemilih,” tambahnya.
Menarik Suara dengan Musik dan Pesta
Masa kampanye resminya dimulai pada 22 Februari lalu. Di media sosial, berhamburan video kampanye dengan musik bertema keras dan suasana pesta. Sebagaimana biasanya sebelum pemilu, polisi moral atau milisi Basij tidak terlihat melakukan patroli atau penggerebekan.
“Sebagai seorang prajurit sederhana yang semata mengabdi kepada masyarakat, saya mengajak bangsa Iran untuk memandang pemilu mendatang sebagai hal yang sangat penting,” kata Komandan Garda Revolusi Hossein Salami di hadapan para jurnalis. “Pemilu bukan sekedar memilih kandidat. Dampaknya bersifat global. Tingginya jumlah pemilih menunjukkan bahwa Iran bisa mengandalkan kemauan dan suara rakyat di tengah kesulitan.”
Salami dan seluruh jajaran pemimpin negara mulai menyadari betapa kesenjangan antara elit politik dan masyarakat terus melebar di Iran. Sejak aksi brutal aparat keamanan terhadap protes perempuan pada tahun 2022, kian banyak warga yang mengubur harapan akan datangnya perubahan.
Dalam suasana yang terus mencekam, partisipasi dalam pemilu pun semakin mengecil. Rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah semakin mengakar di hati rakyat. Bahkan, ramai yang mulai meragukan adanya perubahan positif melalui jalur politik.
Ambruknya kepercayaan pemilih
Saat pemerintahan Republik Islam semakin berhasil dalam menekan oposisi dan mengkonsolidasikan sistem perwalian Islam, peran republik dalam sistem politik semakin menyusut. Hal ini diungkapkan oleh sosiolog Mehrdad Darvishpour, seorang profesor di Universitas Mälardalen di Swedia.
“Dalam sejarah Republik Islam sejak tahun 1979, ada masa-masa ketika masyarakat percaya pada reformasi sesuai hukum dan standar sistem serta menggunakan pemilu sebagai kesempatan untuk melakukan protes. Tujuannya adalah untuk memukul mundur para pemimpin agama dan memperkuat elemen demokrasi. Namun, hasilnya tidak pernah membawa reformasi nyata karena sistemnya tidak mengikuti kemauan masyarakat.”
Seiring waktu, sistem politik di Iran berkembang lebih radikal dan otoriter. Ruang kritik pun menyempit. Sebelum pemilihan parlemen pada tanggal 1 Maret, beberapa kandidat yang kritis terhadap pemerintah didiskualifikasi. Komisi pemilihan umum juga mengeluarkan nama sejumlah anggota parlemen dari daftar pemilu karena “kualifikasi ideologi yang tidak memadai”.
Konsolidasi Kekuatan Konservatif
Dalam pemilu legislatif terakhir pada tahun 2020, sejumlah kandidat moderat dan reformis tidak lolos tanpa alasan yang jelas. Seorang politisi oposisi mengungkapkan bahwa hanya sekitar 20 hingga 30 kandidat reformis yang diizinkan maju sebagai calon. Hal ini menunjukkan bahwa pemilu ini diperkirakan akan digunakan sebagai sarana untuk mengonsolidasikan kekuatan kelompok konservatif yang tengah berkuasa.
Perspektif Ali Afshari, seorang pakar politik Iran yang tinggal di pengasingan di AS, mengungkapkan bahwa pemilu di Republik Islam tidak membuka peluang perubahan politik dan sosial atau peralihan kekuasaan berdasarkan keinginan mayoritas serta melindungi hak-hak dasar minoritas. Menurut Afshari, pemilu di Iran justru dimanfaatkan sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan kelompok minoritas yang berkuasa secara tidak sah dan menjaga sistem distribusi sumber daya yang tidak adil, lebih mirip permainan untuk kekuasaan dan kekayaan.
Lebih dari 275 aktivis politik dan perwakilan masyarakat sipil terkemuka di Iran telah mengumumkan akan memboikot pemilihan legislatif tahun ini. Mereka mengecam sistem pemilu yang “menyedihkan” dan mengutuk “kegagalan reformasi”, “penghapusan total kritik” dan “diskualifikasi kandidat secara besar-besaran”. Para penandatangan menilai hal ini mengubur legitimasi pemilu.
Soraya, seorang aktivis yang menginisiasi boikot, menyatakan, “Saat pemerintah lebih mementingkan kekuasaan daripada suara rakyat, kita tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Boikot merupakan bentuk perlawanan terakhir kita.”
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang dipenjara, Narges Mohammadi, juga ikut melakukan boikot. Dia menyatakan, “Saya mendukung rakyat dan memboikot pemilu palsu ini untuk menggaungkan ketidakabsahan Republik Islam dan kesenjangan antara rezim otoriter yang represif dan rakyat.”
(rzn/hp)
Situasi politik di Iran semakin menarik perhatian ketika partisipasi pemilih dalam pemilu terbaru mengalami penurunan drastis. Minimnya peluang perubahan yang dirasakan oleh masyarakat menjadi faktor utama di balik penurunan tersebut.
Partisipasi dalam pemilihan umum di Iran semakin mengecil seiring dengan minimnya peluang perubahan yang terjadi di negara tersebut. Situasi ini merupakan refleksi dari kondisi politik yang tengah melanda Iran saat ini.
Meskipun pemilu di Iran dilaksanakan secara teratur, namun kesempatan untuk adanya perubahan yang substansial terbilang minim. Hal ini mempengaruhi antusiasme masyarakat dalam mengikuti proses demokrasi di negara tersebut.
Para pengamat politik mencatat bahwa suasana politik yang terkungkung dan minimnya ruang untuk menyuarakan keinginan rakyat menyebabkan partisipasi pemilu semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini juga tercermin dari respons yang diberikan oleh pemilih terhadap proses politik yang berlangsung di Iran.
Adanya kekhawatiran akan minimnya peluang perubahan yang dapat terjadi di Iran juga menjadi faktor utama dalam menekan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa warga negara merasa kurang terwakili dalam proses politik yang ada.