indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Pemilu serentak pada 14 Februari 2024 memunculkan dinamika politik kompleks. Hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengalami kekalahan dalam pemilihan presiden tetapi tetap unggul dalam pemilihan legislatif. Meski masih sementara, hal ini menandai posisi strategis PDI-P dan perannya ke depan.
Dalam pemilihan presiden, PDI-P menghadapi tantangan berat. Pasangan yang didukungnya, Ganjar-Mahfud, hanya memperoleh sekitar 16-18% suara, berada di posisi ketiga. Sementara itu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendapat 24-26% suara, dan Prabowo Subianto memenangkan pemilu dengan 56-58% suara. Kemenangan Prabowo menandai perubahan signifikan dalam politik Indonesia, mengisyaratkan perubahan preferensi pemilih dan potensi rekonfigurasi kekuatan politik.
Meskipun kalah dalam pemilihan presiden, PDI-P menunjukkan kekuatan di pemilihan legislatif, menegaskan posisinya sebagai partai utama di kancah politik nasional. Ini menempatkan PDI-P di persimpangan penting, mendorong partai untuk mengevaluasi strategi dan mendefinisikan kembali perannya dalam lanskap politik yang berubah setelah sepuluh tahun berkuasa.
Kekalahan Ganjar-Mahfud di daerah basis tradisional PDI-P seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali menunjukkan dinamika pemilih yang kompleks yang melampaui loyalitas partai. Ini menggarisbawahi perubahan paradigma politik dan munculnya garis patahan baru di kalangan pemilih Indonesia.
Di sisi lain, kinerja konsisten PDI-P dalam pemilihan legislatif membuktikan kekuatan dan ketahanan partai. Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas, PDI-P memimpin dengan 17-18% suara, diikuti Golkar, Gerindra, dan PKB. Ini memberikan platform bagi PDI-P untuk mengkalibrasi ulang strategi politiknya dan menegaskan kembali pengaruhnya sebagai oposisi yang kuat.
Penyeimbang Pemerintah
Kemenangan legislatif PDI-P penting di tengah naiknya Prabowo ke kepresidenan. Hal ini bisa menjadi sinyal pergeseran menuju otoritarianisme kompetitif di Indonesia. Konsep otoritarianisme kompetitif, yang dicirikan oleh kompetisi elektoral semu dengan mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan, mengingatkan kita pada politik Rusia di bawah Vladimir Putin.
Dalam situasi ini, peran PDI-P sebagai penyeimbang pemerintah yang berkuasa sangat diperlukan untuk menjaga demokrasi di Indonesia. Kekhawatiran akan pergeseran ini didasari oleh faktor-faktor seperti dugaan kecurangan pemilu, seperti yang ditunjukkan dalam film Dirty Vote yang mengungkap upaya manipulasi hasil pemilu, dan latar belakang Prabowo sebagai mantan menantu Soeharto serta catatan pelanggaran HAM-nya, yang menimbulkan pertanyaan tentang komitmennya terhadap demokrasi.
Selain itu, terdapat kecenderungan di antara beberapa pendukung Prabowo untuk membungkam kritik dengan cara melaporkan para kritikus ke polisi, yang menunjukkan kurangnya toleransi terhadap kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi.
Gabungan dari faktor-faktor ini mengindikasikan bahwa kepresidenan Prabowo berpotensi membawa Indonesia menuju pemerintahan yang lebih otoriter. Di dalam konteks ini, meskipun terdapat semacam kompetisi elektoral, esensi dari demokrasi memiliki potensi tergerus secara signifikan.
Dalam situasi kritis ini, PDIP memiliki posisi berharga sebagai partai oposisi. Dengan representasi yang signifikan di lembaga legislatif, PDIP bersiap memperjuangkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam demokrasi. Partai ini berpotensi menggunakan pengaruhnya di parlemen untuk mengawasi kebijakan pemerintah, mendorong reformasi, dan menggalang dukungan publik atas nilai-nilai demokrasi.
Kembalinya PDIP ke peran oposisi setelah satu dekade berkuasa memberi kesempatan untuk merumuskan kembali identitas politiknya dan terhubung kembali dengan basis dukungannya di grassroot. Dengan memperjuangkan keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan inklusivitas politik, PDIP dapat memperkuat daya tarik ideologis dan posisinya sebagai pionir demokrasi di Indonesia.
Bagi PDI-P, mengambil peran sebagai partai oposisi bukan sekadar tentang keseimbangan legislatif. Ini juga mencerminkan prinsip ideologis dan komitmen historis partai dalam memperjuangkan masyarakat Indonesia yang terpinggirkan dan kurang mampu. Dengan landasan kecenderungan kiri yang terinspirasi oleh gagasan Sukarno atau Marhaenisme, PDI-P menggarisbawahi poin-poin penting seperti keadilan sosial, nasionalisme, dan pemberdayaan rakyat kecil, yang dikenal sebagai “marhaen”.
Sikap ideologis ini secara alami menempatkan PDI-P pada posisi yang memungkinkan partai dapat dengan efektif mengkritik dan menyeimbangkan kebijakan-kebijakan yang mungkin mendukung kepentingan elit atau merugikan kesetaraan sosial.
Kembalinya PDI-P ke peran oposisi sejalan dengan kepribadian partai sebagai organisasi yang bersumber dari rakyat dan setia. Jaringan basis rakyat yang telah terbentuk selama bertahun-tahun memberikan fondasi yang kuat bagi PDI-P untuk menggerakkan dukungan publik dan mengkoordinasikan perlawanan terhadap rezim yang otoriter. Sejarah PDI-P sebagai partai oposisi yang gigih di era Soeharto, kemudian meraih kekuasaan di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri, menunjukkan keberanian dan komitmen partai terhadap nilai-nilai demokrasi. Selama periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari 2004 hingga Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden pada tahun 2014, PDI-P terus memainkan peran yang penting sebagai oposisi dalam dinamika politik Indonesia.
Implikasi Strategis
Peran oposisi yang kuat sangat penting dalam konteks rezim otoriter yang kompetitif, di mana partai yang berkuasa sering mencoba untuk mengkooptasi atau menetralisasi penantang potensial. Dengan mempertahankan identitas politik dan kejelasan ideologinya, PDI-P dapat mencegah pengikisan norma-norma demokrasi dan memastikan bahwa arena politik tetap menjadi ruang untuk kontestasi dan perdebatan yang autentik. Hal ini sangat penting untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas dan memastikan bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab kepada semua segmen masyarakat.
Bagi PDI-P, menjadi oposisi memiliki implikasi strategis bagi masa depan partai. Hal ini memungkinkan PDI-P untuk menjauhkan diri dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populer dan memposisikan diri sebagai pembela kepentingan rakyat, khususnya wong cilik. Ini bisa menjadi aset berharga dalam membangun kembali citra partai dan mendapatkan kembali kepercayaan publik, terutama setelah kekalahan dalam pemilu. Dengan mengartikulasikan visi alternatif yang jelas dan koheren untuk Indonesia, PDI-P dapat memperkuat basisnya dan menarik pendukung baru yang kecewa dengan status quo.
Namun, langkah ke depan bagi PDI-P sebagai partai oposisi penuh dengan tantangan. Partai ini harus mampu mengarungi medan politik Indonesia yang kompleks dengan cerdas, serta menjaga keseimbangan antara kritik yang membangun serta kerjasama yang produktif. Sebagai oposisi, PDI-P seharusnya tidak dipandang sebagai penghalang, namun sebagai wujud nyata dari upaya tulus untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, PDI-P juga harus senantiasa waspada terhadap upaya-upaya yang bertujuan untuk meruntuhkan legitimasi politiknya serta menekan suaranya di lembaga legislatif. Dalam menghadapi dinamika tersebut, partai ini harus dapat memanfaatkan kekuatan media digital serta menggalang dukungan publik melalui gerakan akar rumput dengan strategis, guna memperkuat pesan yang disampaikan dan menyuarakan agenda demokrasi dengan lebih efektif.
Pemilu baru-baru ini telah menegaskan pentingnya oposisi yang dinamis dan tangguh dalam menjaga etos demokrasi bangsa. Keberhasilan konsisten PDI-P dalam pemilu legislatif menempatkannya sebagai kekuatan penting dalam lanskap politik, yang mampu menantang arah pemerintahan saat ini. Jika hasil penghitungan cepat konsisten dengan hasil resmi yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sangat penting bagi PDI-P untuk tetap waspada dan tidak terpengaruh oleh narasi persatuan pascapemilu yang disampaikan oleh Prabowo, yang pada dasarnya berusaha untuk mengurangi peran oposisi di Indonesia. Tanpa adanya sistem checks and balances yang kuat dalam struktur pemerintahan, kesehatan demokrasi bangsa akan terancam.
Masyarakat Indonesia sangat membutuhkan oposisi yang berpengetahuan luas, tangguh, kritis, dan pandai menyuarakan pendapatnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa PDI-P memiliki posisi yang unik untuk memenuhi peran yang sangat diperlukan ini.
Virdika Rizky Utama peneliti PARA Syndicate, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Shanghai Jiao Tong University