indotim.net (Jumat, 01 Maret 2024) – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian dari gugatan yang diajukan oleh Perludem dan memutuskan bahwa ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar 4% dalam Undang-Undang Pemilu perlu diubah sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029. Tapi, apa sebenarnya alasan di balik keputusan MK untuk mengubah ambang batas parlemen tersebut?
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada Kamis (29/2/2024). Gugatan ini diajukan oleh Perludem. Adapun petitum pemohon ialah:
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon. Mereka menjadikan perkara uji materi terhadap Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional” sebagai prioritas untuk diperiksa. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan ruang pembuktian secara maksimal.
Dalam Putusan ini: 1. Permohonan pemohon dikabulkan seluruhnya; 2. Pasal 414 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional” dinilai bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali diinterpretasikan bahwa “Partai politik yang menjadi peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk berpartisipasi dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan persyaratan tertentu sebagai berikut: a. Bilangan 75% dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan; b. Jika hasil bagi besaran ambang parlemen dari poin a berupa bilangan desimal, dilakukan pembulatan; 3. Majelis Hakim MK memerintahkan amar putusan untuk dimuat dalam Berita Negara. Jika Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pandangan berbeda, kami meminta keputusan yang adil ex aequo et bono.
Setelah mempertimbangkan dalil yang diajukan oleh pihak pemohon, Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan alasan mengenai perlunya perubahan ambang batas parlemen. MK menjelaskan bahwa dalam substansi, ambang batas parlemen adalah salah satu metode untuk memperjelas struktur partai politik dalam konteks sistem multipartai.
Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjelaskan mengenai perubahan ambang batas parlemen yang mulai diterapkan sejak Pemilu 2009. Pada tahun 2009, ambang batas parlemen sebesar 2,5% mengakibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diisi oleh sembilan partai.
Selain itu, ambang batas parlemen sebesar 3,5% yang diberlakukan pada Pemilu 2014 menyebabkan DPR diisi oleh sepuluh partai. Kemudian, pada Pemilu 2019, ambang batas parlemen ditingkatkan menjadi 4% dan menghasilkan DPR yang diisi oleh sembilan partai.
“Berdasarkan hasil penelitian secara empiris tersebut, kenaikan angka atau persentase ambang batas parlemen dinilai tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah partai politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” kata Mahkamah Konstitusi.
Hakim MK menyampaikan bahwa penggunaan ambang batas parlemen dapat dianggap tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik di DPR. Beliau juga menyatakan bahwa tidak terdapat argumen atau metode yang memadai terkait penetapan besaran angka atau persentase ambang batas yang selalu berubah-ubah.
“Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4% dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas,” ujar MK.
Mahkamah Konstitusi (MK) juga memberikan alasan bahwa penerapan ambang batas parlemen berdampak pada konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR. Dalam pertimbangannya, hakim MK menyatakan bahwa suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR pada Pemilu 2009 mencapai 19.047.481 suara sah, atau sekitar 18% dari total suara sah nasional.
Pada Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7% suara sah nasional. Sedangkan pada Pemilu 2014, menurut kata hakim Mahkamah Konstitusi, terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2,4% dari suara sah nasional.
“Namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019, yaitu 10 (sepuluh) partai politik,” ujar MK.
Simak informasi lengkapnya pada halaman berikutnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa fakta tersebut menunjukkan bahwa hak konstitusional pemilih dapat terancam atau tidak diperhitungkan dengan alasan penyederhanaan partai politik guna menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kokoh, didukung oleh lembaga perwakilan yang efektif. Namun, MK menyoroti bahwa prinsip demokrasi seharusnya menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), “Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen,” ujar MK.
Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), penentuan ambang batas parlemen tanpa dasar metode dan argumen yang memadai telah menyebabkan ketidakproporsionalan hasil pemilu. MK menyatakan bahwa ambang batas parlemen dapat diterapkan dengan syarat tidak melanggar hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
“Sekalipun Mahkamah telah menyatakan dalil Pemohon yang pada pokoknya menghendaki ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami namun Mahkamah tetap pada pendirian bahwa ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang sepanjang penentuan tersebut menggunakan dasar metode dan argumentasi yang memadai, sehingga mampu meminimalisir disproporsionalitas antara suara sah dengan penentuan jumlah kursi di DPR, sekaligus memperkuat penyederhanaan partai politik,” ujar MK.
Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa ambang batas parlemen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perlu mendapat perubahan yang sungguh-sungguh, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) dirancang untuk keberlangsungan penggunaan jangka panjang;
(2) perubahan pada norma ambang batas parlemen, baik dalam penentuan angka maupun persentase ambang batas, harus tetap berada dalam kerangka untuk menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah terlalu besar jumlah suara yang tidak dapat diubah menjadi kursi DPR;
(3) perubahan harus dilakukan dalam upaya menyederhanakan struktur partai politik;
(4) perubahan harus diselesaikan sebelum tahapan pelaksanaan Pemilu 2029 dimulai; dan
(5) perubahan ini melibatkan semua pihak yang peduli terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik yang ikut serta dalam pemilu namun tidak memiliki perwakilan di DPR.
Namun, Mahkamah Konstitusi menolak petitum poin 2a pemohon dengan alasan hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan pembentuk Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi pun menyatakan bahwa Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 konstitusional bersyarat selama masih berlaku untuk hasil Pemilu DPR 2024.
“Norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitusional) sepanjang masih tetap diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2024 dan tidak diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya kecuali setelah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen,” ujar MK.