indotim.net (Selasa, 05 Maret 2024) – Industri tekstil di Indonesia masih mengalami kesulitan. Berdasarkan rilis Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dipublikasikan oleh Kementerian Perindustrian pada bulan Februari, sektor tekstil masih terus mengalami kontraksi.
Menyikapi situasi ini, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja angkat bicara. Menurutnya, salah satu alasan utama di balik lesunya industri tekstil adalah tingginya jumlah produk impor murah yang membanjiri pasar dalam negeri.
Masuknya barang impor murah secara massal ke Indonesia menjadi faktor utama yang membuat industri tekstil dalam negeri mengalami lesu. Hal ini disebabkan oleh kondisi global yang masih belum membaik,” ungkap sumber pada Selasa (5/3/2024).
Kemerosotan kondisi global belakangan ini menjadi sorotan utama dalam dunia industri tekstil. China, yang dikenal sebagai produsen tekstil dan produk TPT terbesar di dunia, mulai membidik negara-negara dengan kebijakan trade barrier yang cenderung lemah.
Menurut pengusaha, salah satu faktor yang membuat produsen tekstil dan produk tekstil terbesar dunia seperti China mencari pasar yang lemah adalah trade barrier yang rendah.
Dari sisi dalam negeri, pengusaha menyatakan bahwa daya beli masyarakat masih belum pulih sepenuhnya. Utilisasi fasilitas industri di sektor tekstil juga masih menunjukkan angka yang rendah.
Menurut pengusaha tersebut, selain daya beli masyarakat Indonesia yang masih belum pulih, utilisasi industri juga masih rendah sehingga pemanggilan karyawan untuk dipekerjakan kembali belum terjadi.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif menyatakan bahwa salah satu sektor yang mengalami kontraksi adalah industri tekstil. Meskipun tengah dalam periode kontestasi pemilu, sektor industri tekstil sepertinya tidak mampu mendapatkan dorongan yang signifikan.
“Kenapa kok industri tekstil, sebenarnya kan kalau pemilunya di bulan Februari harusnya produksi naik di bulan Desember, produksi dilakukan di Desember. Mungkin barangkali industri tekstil dan TPT (tekstil dan produk tekstil) mungkin menghabiskan stoknya juga begitu, sehingga Februari mereka produksinya turun,” ungkapnya dalam konferensi pers rilis IKI di Gedung Kemenperin, Jakarta Selatan, Kamis (29/2/2024).
Menurut pengusaha, penurunan permintaan dari luar negeri turut berdampak pada kondisi industri tekstil. Febri menjelaskan bahwa situasi ini turut menyebabkan sub-sektor tekstil mengalami kontraksi dengan penurunan di bawah 50 poin.
Menurut Febri, pesanan produk tekstil dari pasar global dan beberapa negara mengalami penurunan pesat. Hal ini menjadi alasan utama mengapa industri tekstil terus melemah dan berada di bawah angka 50, bahkan mengalami kontraksi.
Kesimpulan
Industri tekstil di Indonesia mengalami kesulitan akibat dampak produk impor murah dari China yang membanjiri pasar dalam negeri. Tingginya jumlah produk impor tersebut, ditambah dengan kondisi global yang belum stabil, membuat daya beli masyarakat masih rendah dan utilisasi fasilitas industri tekstil masih terbilang rendah. Hal ini menyebabkan industri tekstil terus mengalami kontraksi dan kesulitan untuk pulih, ditunjukkan dengan penurunan permintaan dari luar negeri serta kontraksi dalam sub-sektor tekstil.