Menggapai Impian Swasembada Gula: Strategi Terbaik dan Peluangnya

Rata-rata harga gula konsumsi di seluruh Indonesia telah mencapai Rp 17.331 per kilogram (11 Desember 2023). Harga ini berpotensi terus naik menjelang Tahun Baru dan Lebaran 2024. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan Badan Pangan Nasional (BPN) yang mengatur penyesuaian Harga Acuan Pembelian dan Penjualan (HAPP) gula konsumsi melalui Peraturan Bapanas No 17 Tahun 2023 tidak mampu mengendalikan harga gula konsumsi. Peraturan tersebut menetapkan HAPP produsen sebesar Rp 12.500/kg untuk gula konsumsi; HAPP konsumen Rp 14.500/kg, dan khusus wilayah Indonesia Timur dan daerah Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan (3TP) sebesar Rp 15.500/kg. Kenaikan harga gula yang tinggi tidak lepas dari rendahnya produksi dalam negeri. Dalam satu dekade terakhir, produksi gula turun sebesar 1,16% dari 2,55 juta ton pada tahun 2013 menjadi 2,27 juta ton pada tahun 2023. Rata-rata produksi gula nasional hanya mencapai 2,2 juta ton per tahun. Meskipun luas penggunaan lahan tebu meningkat sebesar 7,4% dari 469.000 ha pada tahun 2013 menjadi 505.000 ha pada tahun 2023, tingkat produktivitas tebu malah mengalami penurunan sebesar 2,06%. Pada tahun 2013, produktivitas tebu mencapai 75,7 ton/ha, namun pada tahun 2023, hanya mencapai 61,5 ton/ha. Kendati rendemen hanya mengalami peningkatan 0,19% dalam 10 tahun dari 7,18% pada tahun 2013 menjadi 7,32% pada tahun 2023, kebutuhan gula nasional terus meningkat. Pada tahun 2023, kebutuhan gula mencapai 3,4 juta ton, meningkat sebesar 2,86% dari konsumsi pada tahun 2013 sebesar 2,16 juta ton. Kurangnya pasokan gula dari produksi dalam negeri semakin diperparah oleh keterlambatan impor gula ke Indonesia. Berdasarkan catatan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), kuota impor gula mentah pada tahun 2023 sekitar 990.000 ton dengan realisasi hanya mencapai 50% dari total kuota impor tersebut. Selain itu, terdapat juga kuota impor gula putih sebesar 215.000 ton. Sebanyak 107.500 ton di antaranya diperuntukkan bagi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Hingga saat ini, RNI telah merealisasikan 90% kuota impor gula mereka, sementara PTPN baru 30%. Akibatnya, pada akhir November 2023, stok gula hanya mencapai sekitar 946.348 ton, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 3 bulan. Importir yang telah mendapatkan persetujuan impor (PI) diharuskan untuk mempercepat realisasinya dan paling lambat dilakukan pada bulan Februari 2024, sesuai pernyataan dari BPN. Apalagi, saat ini harga gula di pasar internasional sedang turun, sehingga seharusnya impor dapat dilakukan dengan biaya yang lebih murah. Data Trading Economics (13/12/2023) menunjukkan bahwa harga gula berada di level US$ 22,50 per pound. Dalam sebulan terakhir, harga gula telah mengalami koreksi sebesar 18,80%. Jika dilihat dalam satu tahun terakhir, harga gula mengalami peningkatan sebesar 13,87%. Mengandalkan impor gula sangatlah berisiko. Negara-negara produsen gula seperti India dan Brasil pun mulai menerapkan langkah-langkah proteksi untuk menjaga ketahanan gula di dalam negeri mereka sendiri. Hal ini berpotensi menyebabkan harga gula di pasar internasional meroket. Kebijakan semacam ini semakin memperkuat pandangan Paul McMahon mengenai politik pangan di masa depan yang akan dipenuhi dengan persaingan dalam hal penyediaan makanan, sehingga setiap negara akan mempertimbangkan dengan cermat dalam memperkuat ketahanan pangan mereka sendiri. Selain itu, ketergantungan terhadap impor akan membuat negara kita semakin tidak mandiri dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kedepannya diperlukan agenda konkret dari pemerintah untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri. Menyadari pertumbuhan industri makanan dan minuman yang pesat, kebutuhan gula di masa depan diproyeksikan akan terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa penduduk Indonesia tumbuh sekitar 1,25% setiap tahun, sementara pertumbuhan industri makanan dan minuman diperkirakan mencapai 5-7% per tahun. Dengan perkiraan tersebut, kebutuhan gula nasional pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 9,8 juta ton. Bahkan, Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian pada tahun 2022 memproyeksikan konsumsi gula domestik pada tahun 2026 mencapai 6,86 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 2,83 juta ton. Untuk mewujudkan mimpi swasembada gula konsumsi pada tahun 2028 dan gula industri pada tahun 2030, beberapa langkah harus dilakukan secara serius. Pertama, Peraturan Presiden No 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Biofuel harus segera ditindaklanjuti dengan penyusunan road map gula nasional. Saat ini, tanggung jawab tersebut ada di tangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang diamanatkan untuk mengoordinasikan, mengevaluasi, dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian terhadap berbagai masalah dan hambatan yang dihadapi. Namun, Kementerian Pertanian sebagai leading sector juga harus terlibat aktif dalam upaya ini. Sejak ditetapkan pada 16 Juni 2023, tidak ada informasi mengenai kemajuan dalam penyusunan road map swasembada gula. Publik sangat berharap road map ini mampu menemukan solusi terhadap berbagai tantangan, seperti pergeseran tanaman tebu ke lahan kering, peningkatan penerapan teknologi modern yang efisien, dan penanganan masalah biaya produksi yang tinggi. Selain itu, perlu juga perhatian terhadap masalah penyelewengan Gula Kristal Rafinasi (GKR), yang tidak hanya berasal dari distributor, tetapi juga tersebar di industri makanan dan minuman kecil bahkan hingga rumah tang

READ  Panglima Jilah Minta Prabowo Percepat IKN dan Dukung Pengesahan Hutan Adat