Rencana Kontroversial Usir Jutaan Migran dari Jerman: Picu Debat Sengit

indotim.net (Selasa, 16 Januari 2024) – Kelompok ultrakanan dan neonazi di Jerman dilaporkan telah mengadakan pertemuan untuk membahas rencana deportasi massal jutaan migran, termasuk mereka yang sudah menjadi warga negara Jerman namun dianggap tidak pantas tinggal di negara tersebut. Pertemuan tersebut berlangsung secara tertutup di sebuah hotel dan dihadiri oleh pejabat partai kanan populis AfD serta beberapa anggota parlemen dari Uni Kristen Demokrat CDU.

Pertemuan tersebut bocor dan dilaporkan oleh kelompok jurnalisme investigatif Correctiv pada tanggal 10 Januari yang lalu. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, terungkap bahwa jumlah migran yang akan diusir bisa mencapai jutaan orang. Correctiv menyebutkan bahwa “pertemuan rahasia” tersebut berlangsung di hotel Landhaus Adlon, Potsdam pada tanggal 25 November 2023.

Pertemuan tersebut membahas apa yang oleh para peserta disebut sebagai “remigrasi”, yaitu pemulangan “migran” ke tempat asal mereka, baik secara paksa atau tidak, tanpa memandang status kewarganegaraan mereka. Remigrasi sebenarnya istilah dalam ilmu sosial yang berarti kembalinya imigran ke negara asalnya.

Menurut Correctiv, undangan pertemuan tertutup di Potsdam menyebutkan bahwa agenda politik yang dibahas adalah “konsep menyeluruh rencana induk”. Dalam konsep tersebut, para pencari suaka, migran yang memiliki izin tinggal, dan juga migran serta keturunannya yang telah menjadi warganegara Jerman, diusulkan untuk dideportasi ke negara asal mereka jika mereka “tidak beradaptasi dengan masyarakat mayoritas”.

“Mengingatkan pada sejarah tergelap era Nazi “

Laporan Correctiv tersebut langsung memicu kritik keras dari berbagai pihak dan memicu debat yang luas mengenai pelarangan AfD sebagai partai politik. Gagasan “remigrasi” tersebut dianggap melanggar hak-hak dasar yang tercantum dalam konstitusi Jerman, Grundgesetz, yang secara tegas menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh didiskriminasi berdasarkan asal usul, ras, bahasa, atau negara asalnya.

READ  Jerman Dalam Krisis Transportasi: Lufthansa Hari ini, Angkot Besok

“Rencana untuk mengusir jutaan orang mengingatkan kita pada masa kelam dalam sejarah Jerman,” tulis Christian Dürr, pemimpin fraksi Partai Demokrat Liberal FDP di parlemen. Dia merujuk pada masa Nazi dari tahun 1933 hingga 1945, ketika Jerman mengusir dan membunuh jutaan orang, terutama orang Yahudi.

Menurut Correctiv, pada bulan November 2023, diadakan pertemuan di “Landhaus Adlon” yang diselenggarakan oleh aktivis ultra kanan Gernot Mörig dan pengusaha Hans-Christian Limmer. Pertemuan ini dihadiri oleh beberapa tokoh AfD dan beberapa anggota Partai Kristen Demokrat CDU. Sekretaris Jenderal CDU, Carsten Linnemann, mengancam akan melakukan tindakan disipliner terhadap anggotanya yang menghadiri pertemuan tersebut.

Politisi AfD telah lama mengusung gagasan deportasi massal. Dalam manifesto mereka untuk pemilihan umum tahun 2021, mereka menyebutkan “agenda remigrasi” tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada 10 Januari lalu, AfD memposting pesan di platform X dengan sloga

Haruskah partai AfD dilarang?

Laporan yang dirilis Correctiv kembali memicu perdebatan mengenai pelarangan AfD. “Badan intelijen dalam negeri, Verfassungsschutz, telah lama mengawasi kegiatan AfD,” kata Thomas Ströbl dari partai CDU, Menteri Dalam Negeri di negara bagian Baden-Württemberg. “Jika Verfassungsschutz dan otoritas keamanan melihat cukup bukti di sini untuk meluncurkan prosedur pelarangan partai, maka hal ini harus dipertimbangkan,” ujarnya dalam wawancara dengan stasiun siaran publik SWR.

Di Jerman, keputusan untuk melarang partai politik dapat diambil oleh Mahkamah Konstitusi. Terakhir kali hal ini terjadi pada tahun 1956, ketika Partai Komunis Jerman (KPD) dilarang. Menurut Grundgesetz, sebuah partai hanya dapat dianggap anti-konstitusional jika mengancam eksistensi Republik Federal Jerman atau secara eksplisit berupaya menggulingkan fondasi demokrasi.

Pimpinan CDU Friedrich Merz menolak gagasan pelarangan AfD. “Kita harus melawan AfD dengan cara politik, dan bukan di pengadilan,” katanya kepada media. “AfD tidak boleh diberi kesempatan untuk menggambarkan dirinya sebagai korban dalam konteks proses pelarangan,” jelasnya lebih lanjut.

READ  Harga Bitcoin Tembus Rp 1 M, Diramal Naik Lagi!

Popularitas AfD saat ini memang sedang meningkat. Hasil jajak pendapat terbaru menempatkan AfD di peringkat kedua setelah CDU. Sementara partai koalisi pemerintah, yaitu SPD, Partai Hijau, dan FDP, mengalami penurunan yang signifikan. Bahkan, jajak pendapat di tiga negara bagian yang akan mengadakan pemilu regional pada bulan September, yaitu Sachsen, Thüringen, dan Brandenburg, menunjukkan AfD sebagai partai yang paling kuat dengan dukungan lebih dari 30% pemilih.

(hp/as)