indotim.net (Minggu, 21 Januari 2024) – Seorang warga Serang, Banten, bernama Rahmawati Salam (57) melakukan gugatan terhadap Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rahmawati Salam berharap agar Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus tata usaha negara hanya berlaku untuk warga negara, dan tidak dapat digunakan oleh pejabat tata usaha negara.
Pasal yang digugat adalah Pasal 132 ayat 1 UU PTUN yang berbunyi:
Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
“Menyatakan Pasal 132 ayat 1 UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat selama tidak ditafsirkan ‘Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya seseorang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung’,” demikian isi petitum Rahmawati Salam dalam gugatan yang diambil dari salinan yang dilansir website Mahkamah Konstitusi, pada Minggu (21/1/2024).
Latar belakang gugatan ini adalah Rahmawati Salam yang menggugat Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR). Rahmawati Salam berhasil menang melawan Menteri ATR di PTUN Serang, PTUN Jakarta, dan di tingkat kasasi. Namun, pada 19 September 2023, Menteri ATR mengumumkan akan melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Tindakan ini dinilai Rahmawati Salam sangat merugikan dirinya.
“Sungguh sangat merugikan hak konstitusional pemohon,” ujar Rahmawati Salam.
Warga di Serang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Mereka menuntut agar proses Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan oleh warga negara saja. Keputusan ini diambil karena PK yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Negara memiliki potensi untuk menciptakan ketidakadilan bagi Rahmawati Salam. Sebabnya, proses penyelesaian sengketa di bidang Tata Usaha Negara sudah sangat panjang dan pemeriksaan perkara juga berlangsung dengan sangat ketat. Pemerintah juga telah memberikan hak bagi negara untuk mengajukan banding dan kasasi apabila terbukti kalah dalam sengketa tersebut.
“Sehingga, menurut Rahmawati Salam, tidaklah adil jika dalam lingkungan PTN, badan atau pejabat TUN masih diberikan kesempatan untuk mengajukan PK,” tutur Rahmawati Salam.
Alasan lainnya, menurut Rahmawati Salam, adalah bahwa PK pejabat TUN berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.
Dalam praktiknya, pemerintah, dalam hal ini pejabat TUN seringkali menggunakan PK sebagai alasan untuk menunda atau memperlambat pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ungkap Rahmawati Salam.
Rahmawati Salam kemudian menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Peninjauan Kembali (PK) dalam ranah pidana. MK menyatakan bahwa jaksa tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Hal yang sama seharusnya juga diterapkan oleh MK dalam perkara Tata Usaha Negara (TUN).
“Oleh karena itu dipandang adil jikalau pengajuan Permohonan Kasasi (PK) dalam lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibatasi hanya bagi warga masyarakat, karena pejabat TUN dengan segala keistimewaan dan kewenangannya dalam proses administrasi, peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup,” tegas Rahmawati Salam.
Sebuah gugatan atas UU PTUN dilayangkan oleh sekelompok warga Serang. Mereka menuntut agar perkara ini hanya ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya boleh diakses oleh warga negara.
Gugatan ini telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi dan saat ini masih dalam proses di kepaniteraan.
Kesimpulan
Seorang warga Serang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), meminta agar Peninjauan Kembali (PK) hanya berlaku untuk warga negara dan tidak dapat digunakan oleh pejabat tata usaha negara. Gugatan ini didasarkan pada putusan Menteri Agraria dan Tata Ruang yang mengajukan PK setelah gugatan Rahmawati Salam berhasil menang di tingkat PTUN Serang dan PTUN Jakarta. Warga Serang berpendapat bahwa PK pejabat tata usaha negara berpotensi menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Mereka menuntut agar PK hanya dapat dilakukan oleh warga negara. Gugatan ini kini sedang dalam proses di Mahkamah Konstitusi.