Dilema Buruh Migran Thailand: Lari dari Kedukaan Menuju Harapan

indotim.net (Selasa, 23 Januari 2024) – Ekspresi kecemasan terlihat jelas di wajah Bowon Nonthasi saat dia menyusun barang bawaannya. Dalam beberapa hari ke depan, dia akan kembali meninggalkan desanya di Thailand untuk bekerja di Israel. “Ancaman kemiskinan di sini jauh lebih menakutkan daripada perang,” katanya kepada DW, yang diiyakan oleh anggota keluarganya.

Bowon berhasil selamat dari serangan teror Hamas pada tanggal 7 Oktober yang lalu. Dia bekerja di sebuah lahan pertanian dekat perbatasan Gaza dan berhasil menyelamatkan diri karena menyelesaikan pekerjaannya lebih awal di ladang, untuk kemudian melanjutkan pekerjaan sampingannya di tempat lain. Pada hari itu, setidaknya 12 orang meninggal dalam serangan di Kibbuz Holit.

“Bos saya di Israel ingin agar saya kembali bekerja di ladang,” kata pria 34 tahun itu dengan bangga. “Juga dia tidak punya pilihan lain,” lanjutnya. Di kawasan timur laut Thailand, keterbatasan finansial masih menjadi keseharian, terutama bagi buruh pertanian. “Saya memiliki dua anak perempuan, yang berusia lima dan delapan tahun. Selain itu, kami sedang membangun rumah yang saat ini belum selesai.”

Pemerintah Thailand telah berjanji memberikan bantuan sebesar Rp. 22 juta kepada buruh migran yang terpaksa pulang dari Israel. Namun, hingga saat ini baru sekitar Rp. 6 juta yang telah diterimanya. Di Israel, Bowon mendapatkan upah yang lebih dari tiga kali lipat dari tersebut. “Di sana, setiap bulan saya mendapatkan penghasilan sebesar 5.300 Shekel,” atau sekitar Rp. 22 juta.

Krisis pertanian di Israel

Bowon bukan satu-satunya buruh migran Thailand yang mempertimbangkan untuk kembali ke Israel. Sejak awal tahun, sekitar 2.500 buruh migran Thailand telah mendapatkan pekerjaan di sektor pertanian, seperti yang dilaporkan oleh LSM Kav LaOved kepada DW. Meskipun tidak jelas berapa banyak buruh migran yang telah kembali sejak perang meletus, yang pasti, saat ini Israel sedang mengalami kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian.

READ  Daerah Wisata Ski Eropa: Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim dengan Penuh Semangat

Sebagian besar lahan pertanian Israel terletak di wilayah perbatasan Gaza, yang juga dikenal sebagai lumbung sayur Israel karena menghasilkan 75 persen buah dan sayuran di negara tersebut. Namun, menurut lembaga survei MIGAL-Galilee, sebanyak 89 persen petani Israel mengalami kerugian besar akibat kekurangan tenaga kerja saat musim panen tiba.

Buruh Thailand dikirim ke Israel setelah pemerintah Israel mengusir buruh Palestina. Sejak terjadinya perang, sekitar 9.697 pekerja migran asal Thailand dipulangkan. Untuk memfasilitasi kepulangan pekerja tersebut, Duta Besar Israel untuk Thailand, Orna Sagiv, melakukan lobinya kepada anggota parlemen di Bangkok. Ia menjanjikan bahwa pemerintah Israel “sangat berkomitmen untuk menjamin keselamatan tenaga kerja asing.”

Trauma psikologis masih menghantui

Bagi Owat Suriyasrj, prospek kembali ke Israel masih memunculkan rasa takut dalam dirinya. Pria berusia 40 tahun itu pernah ditahan selama dua bulan oleh Hamas di Jalur Gaza. “Saya ingin kembali untuk membantu. Bos saya di Israel merupakan orang yang baik, tapi saya masih belum siap secara mental,” ujarnya kepada DW.

Pada tanggal 28 November, penderitaan Owat akhirnya berakhir setelah dia dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas. Namun, nasibnya tidak membaik di kampung halaman. Owat mengaku mengalami banyak hutang dengan bunga yang terus bertambah setiap harinya. “Sekarang saya tidak lagi mampu membayar angsuran mobil dan saya masih berutang pada abang saya,” ujarnya.

Pemerintah Israel memberikan bantuan senilai hampir Rp.40 juta sebagai uang ganti rugi. Sebagai korban perang, dia juga berhak menerima bantuan senilai hampir Rp. 30 juta setiap bulan selama enam bulan pertama. Namun kucuran uang terhenti tanpa alasan jelas.

Menurut Assia Ladizhinskaya dari LSM Kav LaOved yang mengadvokasi hak buruh migran, perang di Gaza menempatkan sistem jejaring sosial di Israel di ujung tanduk. “Banyak warga tidak berdosa yang masih menunggu solusi, uang ganti rugi, dan bantuan psikologis,” kata dia kepada DW. “Bantuan memang dikucurkan setiap hari, tapi belum bisa mencapai semua korban,” imbuhnya.

READ  Oxfam: Kekayaan Lima Individu Terkaya di Dunia Meningkat Pesat 114%

Di tengah perang yang tak kunjung usai di negara mereka, para buruh migran Thailand dihadapkan pada dilema antara hidup dalam kemiskinan atau menjadi korban dalam konflik berkepanjangan.

Situasi ini semakin menyulitkan mereka, terutama bagi pekerja migran yang merupakan kaum perempuan. Mereka tidak hanya harus mencari nafkah untuk keluarga mereka, tetapi juga berjuang melindungi diri dari ancaman kekerasan dan eksploitasi.

Meskipun para buruh migran ini mengetahui risiko yang ada, keputusan untuk bekerja di luar negeri tetap menjadi pilihan terbaik bagi mereka. Dengan penghasilan yang lebih tinggi, mereka dapat membantu menyokong ekonomi keluarga mereka di tengah krisis yang terjadi di negara asal.

Namun, kehidupan buruh migran di negara tujuan juga tidak mudah. Mereka seringkali menghadapi diskriminasi, kurangnya perlindungan hukum, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi. Selain itu, perang yang berkepanjangan hanya menambah risiko dan ketidakpastian dalam kehidupan mereka.

Pemerintah Thailand dan pihak terkait harus mengambil langkah-langkah yang lebih serius dalam memberikan perlindungan dan dukungan bagi buruh migran. Diperlukan upaya kolaborasi antara negara asal dan tujuan, serta organisasi internasional, untuk menjamin hak-hak mereka dan memastikan kondisi kerja yang layak.