indotim.net (Rabu, 17 Januari 2024) – Laporan World Population Review menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang paling bertanggung jawab atas deforestasi atau hilangnya hutan sejak tahun 1990 hingga 2020. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan sekitar 101.977 mil persegi hutan selama periode tersebut.
Namun, menurut data World Resources Institute Global, tingkat deforestasi di Indonesia telah mencapai titik terendah pada era pemerintahan Jokowi. Bahkan, data yang sama menunjukkan bahwa Indonesia secara global merupakan negara dengan penurunan deforestasi tertinggi sebesar 65% selama masa pemerintahan Jokowi.
Diketahui, Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi permasalahan deforestasi dan kebakaran hutan (karhutla). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara rutin melakukan pemantauan terhadap luas tutupan lahan hutan dan lahan tidak berhutan di seluruh Indonesia setiap tahunnya.
Pemantauan hutan dan deforestasi dilakukan di seluruh daratan Indonesia yang meliputi luas 187 juta hektar, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Proses pemantauan ini mengacu pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang terintegrasi dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP).
“Pemantauan ini dilakukan menggunakan data utama citra satelit landsat yang disediakan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (OR-PA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan diidentifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia,” ungkap KLHK dalam keterangan tertulis, Rabu (17/1/2024).
Berdasarkan hasil pemantauan hutan Tahun 2022, luas lahan berhutan di seluruh daratan Indonesia mencapai 96,0 juta ha atau 51,2% dari total daratan. Dari luas tersebut, sebanyak 92,0% atau sekitar 88,3 juta ha berada di dalam kawasan hutan.
Adalah fakta yang mengkhawatirkan bahwa deforestasi (netto) Indonesia pada tahun 2021-2022 mencapai 104 ribu hektar. Angka ini diperoleh dari deforestasi bruto sebesar 119,4 ribu hektar yang dikurangi dengan reforestasi sebesar 15,4 ribu hektar.
Luas deforestasi yang tertinggi terjadi pada kelas hutan sekunder, mencapai 105,2 ribu ha. Dari luas tersebut, sebanyak 71,3% atau sekitar 75,0 ribu ha berada di dalam kawasan hutan, sedangkan sisanya sekitar 30,2 ribu ha atau 28,7% berada di luar kawasan hutan.
Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan di Indonesia tahun 2020-2021 mengungkapkan bahwa deforestasi di Indonesia mencapai 113,5 ribu hektar (ha), yang berasal dari deforestasi bruto sebesar 139,1 ribu ha setelah dikurangi oleh reforestasi sebesar 25,6 ribu ha. Melihat hasil pemantauan tahun 2020-2021, kita dapat melihat adanya penurunan deforestasi di Indonesia sebesar 8,4% pada tahun 2021-2022.
Catat Sejarah, Angka Deforestasi Rendah Tercapai
Indonesia berhasil mencapai titik terendah dalam angka deforestasi di tahun 2021-2022, yaitu sebesar 104 ribu ha. Pada tahun sebelumnya, angka deforestasi Indonesia mencapai 113,5 ribu ha.
Indonesia telah melacak tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Ditemukan bahwa tingkat deforestasi tertinggi terjadi antara tahun 1996 hingga 2000, dengan luasan mencapai 3,5 juta ha per tahun. Pada periode tahun 2002 hingga 2014, luasan deforestasi mencapai 0,75 juta ha per tahun. Namun, pada tahun 2022 tercatat tingkat deforestasi mencapai titik terendah sebesar 104 ribu ha.
Jika melihat tren deforestasi dari data sebelumnya, penurunan jumlah hutan di Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan oleh KLHK telah memberikan hasil yang signifikan. Salah satunya adalah penerapan Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, serta upaya dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Pengendalian Kerusakan Gambut, Pengendalian Perubahan Iklim, dan Pembatasan perubahan Alokasi Kawasan Hutan untuk sektor non kehutanan (HPK).
Tak hanya itu, KLHK juga terus berupaya melakukan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Pengelolaan Hutan lestari, Perhutanan Sosial, serta melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Semua langkah ini sejalan dengan program Indonesia FOLU netsink 2030 yang sedang berlangsung.
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia
Data hotspot dan luas karhutla menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, jumlah hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) sebanyak 70.971 titik. Jumlah ini mengalami penurunan pada tahun 2016 sebanyak 3.844 titik, kemudian pada tahun 2017 menjadi 2.440 titik. Namun, tahun 2018 mengalami peningkatan menjadi 9.245 titik, dan pada tahun 2019 jumlah titik hotspot mencapai 29.341 titik. Pada tahun 2020, terjadi penurunan menjadi 2.568 titik hotspot dan pada tahun 2021 hanya terdapat 1.451 titik hotspot. Meskipun begitu, pada tahun 2022 jumlah hotspot kembali meningkat menjadi 1.297 titik. Pada tahun 2023, jumlah hotspot diperkirakan akan mencapai 10.673 titik. Data ini menunjukkan adanya upaya yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam mengendalikan deforestasi dan kebakaran hutan serta lahan di Indonesia. Meskipun terdapat fluktuasi dalam jumlah hotspot, namun dapat dilihat adanya penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Langkah-langkah pengendalian karhutla yang telah dilakukan oleh KLHK juga perlu diapresiasi. Upaya ini penting untuk menjaga kelestarian lingkungan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan melindungi ekosistem hutan di Indonesia. Diharapkan dengan terus ditingkatkannya upaya pengendalian karhutla, jumlah hotspot dan luas karhutla di Indonesia dapat terus berkurang, sehingga keuntungan bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat dapat diwujudkan.
Tren penurunan titik panas ini juga sejalan dengan luas area yang terbakar. Berdasarkan citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di-overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan oleh Manggala Agni, luas Kebakaran Hutan dan Lahan dari tahun 2015 hingga 2023 adalah sebagai berikut:
- Tahun 2015: 2.611.411 ha
- Tahun 2016: 438.368 ha
- Tahun 2017: 165.484 ha
- Tahun 2018: 529.267 ha
- Tahun 2019: 1.649.258 ha
- Tahun 2020: 296.942 ha
- Tahun 2021: 358.864 ha
- Tahun 2022: 204.896 ha
- Tahun 2023: 994.313 ha
Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan berhasil membawa dampak positif pada tahun 2023. Angka kebakaran hutan dan lahan turun sebesar 30,80% dibandingkan dengan tahun 2019, meskipun menghadapi pengaruh El-Nino yang hampir sama bahkan di tengah kondisi yang lebih kering.
Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai langkah yang dilakukan sejak awal tahun guna mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Kondisi ini menunjukkan keberhasilan upaya KLHK dalam mengendalikan deforestasi dan karhutla di Indonesia. Kenaikan jumlah hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya fenomena El Nino. Namun, Indonesia berhasil melakukan mitigasi terhadap dampak El Nino ini, sehingga jumlah hotspot dan luasnya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Dalam pertempuran melawan deforestasi dan kebakaran hutan (karhutla) di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian hutan.
Dalam hal karhutla, tahun 2019 menjadi tahun yang menegangkan bagi Indonesia. Dampak El-Nino menyebabkan kebakaran hutan merajalela di berbagai daerah. Namun demikian, jika dibandingkan dengan kondisi serupa yang diperkirakan akan terjadi tahun 2023, luas karhutla tahun itu diproyeksikan mengalami penurunan yang signifikan. Rencana program pencegahan dan penanggulangan karhutla yang telah dijalankan oleh KLHK sepertinya berdampak positif dalam mengendalikan kejadian seperti ini.
Di Indonesia, upaya untuk mengendalikan deforestasi dan kebakaran hutan (karhutla) khususnya di lahan gambut telah berhasil. Pada tahun 2015, luas karhutla di lahan gambut mencapai 891.275 hektar atau sekitar 34% dari total luas karhutla. Namun, angka ini telah menurun pada tahun 2019 menjadi 483.111 hektar atau sekitar 30% dari total luas karhutla. Bahkan, pada tahun 2023, luas karhutla di lahan gambut semakin berkurang menjadi 182.789 hektar atau sekitar 16,38% dari total luas karhutla.
Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 meter ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30%.
Data Pemerintah mencatat penurunan luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sejak tahun 2015 hingga Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015 (baseline), terjadi perubahan paradigma dalam pengendalian karhutla yang signifikan, sehingga luas karhutla di Indonesia mengalami penurunan sebesar 94% -37%.
Sebagai hasilnya, emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh Indonesia tidak lagi sebesar pada tahun-tahun sebelumnya seperti kondisi pada tahun 2015 dan 2019. Indonesia tidak lagi menjadi negara dengan tingkat emisi terbesar di dunia, bahkan pada tahun 2021 Indonesia berada pada peringkat kesembilan dengan penurunan emisi sebesar 890 juta Ton CO2eq.
Menurut data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) dari Uni Eropa, Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara penyumbang emisi terbesar dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal negara-negara maju seperti AS dan Kanada termasuk di dalam kelompok tersebut.
Meskipun begitu, pemerintah tetap konsisten dalam melaksanakan berbagai upaya untuk mencegah deforestasi dan kebakaran hutan (karhutla) di Indonesia. Upaya ini meliputi monitoring, penetapan kebijakan, pencegahan, serta penegakan hukum.
Pada tahun 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana untuk meningkatkan upaya mitigasi terhadap kejadian karhutla. Beberapa langkah yang akan dilakukan adalah meningkatkan patroli terpadu, menggunakan Teknologi Monitoring Cuaca (TMC), melakukan monitoring hotspot secara aktif, dan melakukan pemberdayaan masyarakat di daerah rawan karhutla.