Menguasai Dukungan Rakyat: Mengenal Pentingnya Partisipasi Warga

indotim.net (Selasa, 27 Februari 2024) – Rakyat Indonesia telah melaksanakan hak pilihnya pada tanggal 14 Februari 2024. Meskipun demikian, di beberapa daerah Tanah Air dilakukan pemungutan suara susulan akibat bencana, contohnya di Demak, Jawa Tengah.

Antusiasme rakyat dalam menyalurkan hak pilihnya patut diacungi jempol. Pemilu berlangsung relatif aman dan damai tanpa adanya kekisruhan yang berarti. Bahkan, pemilu yang termasuk salah satu yang paling kompleks dan rumit di dunia ini bisa dilaksanakan dalam suasana yang tenang, menjauh dari konflik dan goncangan sosial politik.

Pentingnya antusiasme warga dalam partisipasi ke tempat pemungutan suara (TPS) harus diimbangi dengan kesadaran dan upaya bersama dalam mengawal suara mereka, terutama untuk melawan praktik kecurangan yang terjadi. Kita perlu memahami bahwa terdapat berbagai motif kecurangan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab selama proses perhitungan suara, dengan tujuan untuk menguntungkan calon tertentu secara elektoral.

Jika dilihat dari data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tahun 2019, terdapat 10 kasus pidana pemilu yang mendapat vonis terbanyak. Di antaranya adalah kasus politik uang sebanyak 69 kali, pemberian suara lebih dari satu kali (65), penggelembungan suara (43), pencoblosan dengan mengaku sebagai orang lain (35), kepala desa yang tidak netral (30), perubahan rekapitulasi penghitungan suara (28), penghilangan berita acara pleno (16), hingga manipulasi dokumen sebanyak (11).

Maka jelas, pesta demokrasi tidak berakhir di tempat pemungutan suara. Komponen masyarakat juga harus memastikan bahwa suara mereka terlindungi dari praktik curang dalam politik pemilu, sehingga pilihan yang mereka buat di bilik suara dapat benar-benar diterjemahkan menjadi dukungan nyata bagi para wakil rakyat dan presiden yang mereka pilih. Segala proses, mulai dari perhitungan hingga rekapitulasi suara, dari tingkat lokal hingga nasional, sangat penting untuk diawasi. Peluang pelanggaran seringkali mendapat momen di sinilah.

READ  Ke Sritex, Gibran Berkeinginan Menyelesaikan Tumpang Tindih Aturan demi Pertumbuhan Industri

Berdasarkan data Bawaslu di Pemilu 2019, terdapat 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, serta 1.475 pelanggaran hukum lainnya selama Pemilu 2019. Diantara pelanggaran tersebut, ada yang terkait dengan “pencurian” suara selama proses rekapitulasi suara. Praktik pencurian suara dapat berupa mencoblos surat suara cadangan.

Surat suara cadangan sebanyak dua persen di setiap TPS dipersiapkan oleh KPU untuk mengantisipasi kemungkinan jika ada surat suara yang rusak digunakan oleh pemilih, atau dalam situasi pemilih pindahan atau dalam kategori daftar pemilih khusus. Pemungutan suara menggunakan surat suara cadangan sering dilakukan oleh petugas penyelenggara, calon, maupun partai politik. Pada Pemilu 2019, surat suara cadangan bahkan dimanfaatkan sebagai strategi untuk memenangkan calon tertentu, terutama jika terdapat selisih suara yang tipis dengan pesaingnya.

Selain itu, elit atau partai juga dapat memanfaatkan suara golput atau suara yang tidak digunakan untuk meningkatkan perolehan suara secara manipulatif, seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya. Praktik tersebut bisa dilakukan melalui jual-beli suara golput, pemalsuan identitas pemilih golput, ataupun pemilih yang absen saat pencoblosan.

Setia Mengawal

Pemanipulasi surat suara juga sangat rentan saat dilakukan rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Terlebih lagi di daerah yang TPS-nya berjauhan dengan kantor kecamatan atau daerah yang sulit dijangkau, seperti daerah pedalaman atau terisolasi.

Dengan adanya jeda waktu rekapitulasi surat suara yang bisa berlangsung beberapa hari, tangan-tangan nakal memiliki kesempatan untuk “bermain” dan memanipulasi formulir DAA1 yang berisi hasil C1 dari seluruh TPS desa atau kelurahan demi kepentingan calon tertentu.

Maka itu, saksi partai politik atau calon, termasuk para jurnalis, kelompok pemantau independen harus teliti dalam mendokumentasikan salinan formulir rekapitulasi suara yang dipegang oleh Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) sebagai data pembanding yang dapat digunakan untuk proses pengaduan atau sengketa. Kemungkinan besar terjadi bahwa jumlah suara calon versi DAA-1 dan DA-1 dapat berbeda saat proses input di komputer.

READ  Anies Resmi Kunjungi Tapteng Sumut, Disambut Hangat Oleh Edy Rahmayadi dan Mantan Bupati

Para pemilih diharapkan tetap setia mengawal proses penghitungan suara di TPS masing-masing, termasuk dalam mendokumentasikan proses tersebut dengan mencatat, memfoto, atau memvideokan jika ditemukan adanya indikasi kecurangan. Namun, pada beberapa wilayah yang terkena hujan saat pemungutan suara kemarin, antusiasme rakyat untuk mengawal proses penghitungan suara bisa mengalami penurunan.

Karenanya, kehadiran para saksi sangat penting dalam mengawasi proses perhitungan suara terutama saat surat suara diangkut atau dibawa ke kecamatan. Tidak hanya saksi internal dan eksternal, tetapi keberadaan saksi individu dari masing-masing calon juga harus diperkuat. Berdasarkan pengalaman, loyalitas saksi individual lebih kuat daripada saksi partai politik dalam mengawasi perhitungan suara calon.

Intinya, suara rakyat dalam pemilu terutama pasca-pemungutan suara harus dikawal dengan sungguh-sungguh agar potensi pembajakan suara rakyat tak terjadi. Ruang transaksi untuk memperjualbelikan suara rakyat tentu sangat luas untuk dikapitalisasi. Para pemburu suara-suara “siluman” pasti akan bergentayangan untuk memperdagangkan suara rakyat. Apalagi kecenderungan kecurangan dalam proses pemilu dari hulu hingga hilir sangat besar di tahun ini.

Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) (3-5 Desember 2023), sebanyak 17,1% responden menilai bahwa partai politik paling berpeluang melakukan kecurangan pada pemilu, disusul tim sukses capres-cawapres sebesar 15,9%, dan penyelenggara pemilu 13,6%. Responden yang menilai Presiden Jokowi berpeluang curang pada Pemilu 2024 hanya 2,3%.

Sedangkan 4,2% responden menganggap calon presiden dan calon wakil presiden sebagai pihak yang patut dicurigai melakukan kecurangan. Di sisi lain, entitas yang paling sedikit dicurigai meliputi pemerintah daerah, pemerintah pusat, Polri, TNI, dan lainnya, dengan presentase di bawah 5%. Namun demikian, tetap ada kemungkinan kesalahan dalam praktiknya.

Berkaca pada pemilu sebelumnya, tindakan pembajakan dan manipulasi suara rakyat sangat merugikan kedaulatan rakyat serta mengancam masa depan demokrasi kita. Pilihan politik rakyat yang seharusnya mencerminkan harapan akan masa depan yang lebih baik dapat rusak akibat praktik pemilu curang yang meragukan demokrasi (Ulaan, dkk, 2022).

READ  3 Layanan Kereta Api Baru Mulai Beroperasi Besok, Mudahnya Liburan dengan Kereta!

Delegitimasi demokrasi melalui praktik tersebut tidak hanya mempengaruhi pilihan politik rakyat, tetapi juga kesulitan lahirnya pemimpin nasional dan wakil rakyat yang demokratis, legitimen, dan berkomitmen untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk mengawal suara rakyat secara ketat.

Umbu TW Pariangu adalah seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana, Kupang.