indotim.net (Kamis, 07 Maret 2024) – Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam konteks pendidikan kini tidak dapat dihindari, termasuk dalam penggunaan chatbot AI seperti ChatGPT yang tengah hangat diperbincangkan di kalangan siswa dan mahasiswa. Penting bagi para pendidik untuk melihat hal ini sebagai suatu peluang positif daripada sekadar ancaman.
Pandangan tersebut disampaikan oleh dosen Prof. David J. Malan, Gordon McKay Professor, Practice of Computer Science Harvard University, dalam pembukaan rangkaian seminar tatap muka “Digital Skill Bagi Guru” di Gedung D Kompleks Kemendikbudristek, Jakarta, pada Kamis (7/3/2024).
“Penting untuk memperkuat pemahaman tentang kapan dan bagaimana kita sebaiknya menggunakan teknologi ini, saya melihat ini sebagai kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh para guru,” ujar narasumber.
Dijelaskan bahwa dalam sebuah kelas dengan 30 siswa, guru tidak mungkin memberikan pendidikan secara personal satu per satu kepada setiap siswa dan menjawab semua pertanyaan di kelas. Chatbot AI dapat membantu siswa untuk mencari informasi tambahan setelah mereka belajar di kelas.
Di sisi lain, Menurut Malan, guru juga bisa mengetahui kebutuhan siswa di kelas dan meningkatkan metode pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi AI atau perangkat lunak yang kini banyak tersedia.
Dalam pandangannya, tidaklah tepat apabila sekolah memutuskan untuk melarang atau memblokir penggunaan alat AI di lingkungan pendidikan.
“Saya percaya bahwa penting untuk memperkuat kemampuan guru dengan berbagai tools yang tersedia. Melarang penggunaan chatbot sepenuhnya tidaklah tepat, sebagai contoh, dengan menggunakan firewall seperti ChatGPT. Kita juga perlu mempertimbangkan kemajuan teknologi seperti VPN yang membuat siswa lebih canggih di bidang ini,” ungkap Malan.
Sebagai narasumber, Dosen Harvard menyampaikan, “Jangan takut, ini kesempatan. Software saat ini sangat membantu para guru.”
Guru RI Mengikuti Program CS50x Harvard University
Profesor Malan sendiri akan memberikan pengetahuan langsung kepada 272 guru terpilih di Indonesia yang menerima beasiswa Microcredential CS50x Indonesia-Harvard University 2024 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta LPDP. Mereka mengikuti workshop keterampilan digital di Jakarta Intercultural School (JIS) pada 8-9 Maret 2024.
Sebelumnya, para guru yang mengikuti program CS50x belajar selama 22 minggu hingga Maret 2024 mengenai algoritma, struktur data, encapsulation, manajemen sumber daya, keamanan, software engineering, hingga pengembangan web.
Harapan dari penggunaan chatbot AI di sekolah adalah agar para guru dapat mengembangkan pola pikir algoritmik dan menyelesaikan masalah secara lebih efisien, terutama dalam pembelajaran bagi siswa. Misalnya, dengan mengembangkan website pembelajaran khusus untuk mata pelajaran tertentu yang dapat digunakan oleh guru dan siswa, diharapkan proses belajar mengajar menjadi lebih menyenangkan.
Dosen Harvard, Malan, juga menyatakan bahwa guru memiliki kemampuan untuk mengembangkan proyek-proyek yang melibatkan teknologi AI untuk siswa.
Menurut mereka, “Pihak industri sendiri harus mendorong percepatan soal AI (di sekolah) ini. Sementara menunggu, saya pikir guru pun bisa turut mengembangkannya,” ujar narasumber.
AI sebagai Pendukung Pembelajaran Interaktif bagi Guru dan Siswa
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan bahwa kecerdasan buatan (AI) memiliki peran penting dalam mendukung guru dan siswa di lingkungan pendidikan. Contohnya, guru dapat memanfaatkan AI untuk mengembangkan metode pengajaran yang menyenangkan, seperti dalam pengajaran astronomi.
“Kemungkinan di masa depan, ketika penggunaan chatbot AI semakin meluas, siswa juga akan mampu mempelajari kesalahan mereka dan belajar dari AI. Hal ini akan membantu guru yang harus menghadapi 30 siswa dalam satu kelas. Meskipun saat ini mungkin masih menghadapi beberapa halangan, tapi di masa depan ini akan menjadi harapan,” ujar Nadiem.
Ia menekankan bahwa perkembangan AI mendorong para pelaku pendidikan global untuk mencari strategi baru dalam mengukur pemahaman siswa. Hal ini bukan sekadar seputar soal ujian yang rentan dicurangi melalui bantuan chatbot AI.
“Ini bukan hanya soal Indonesia, tetapi bersifat global. Tidak masalah. Meskipun membingungkan, namun membuka pikiran kita untuk ujian lebih dari sekadar menjawab soal,” ujarnya.
Nadiem pun mempertimbangkan kemungkinan besar AI dalam mendukung guru serta siswa sebagai mitra yang menciptakan bersama daripada hanya menjadi pengguna AI.
“Kami melihat penggunaan chatbot AI di sekolah sebagai langkah luar biasa. Meskipun rasa takut wajar, namun penting untuk memahami bahwa AI bisa menjadi alat yang membantu, bukan musuh. Jika dilihat sebagai musuh, kita tidak akan pernah maju. Jangan ragu untuk melibatkan siswa dalam penggunaan teknologi ini,” ungkap narasumber.
Nadiem menjelaskan bahwa kehadiran AI di lingkungan sekolah memberikan tantangan tambahan bagi para guru untuk mengembangkan kreativitas di dalam kelas. Dengan keberadaan AI, peran guru menjadi lebih penting karena harus terus mendorong siswa untuk meningkatkan minat belajar mereka.
“Tidak perlu memiliki jaringan terbaik atau orang tua yang mampu menyewa tutor. Banyak informasi yang tersedia melalui alat-alat AI. Hal ini menjadikannya alat yang kuat dalam menyeimbangkan peluang bagi setiap siswa,” jelasnya.
“Ketika menggunakan chatbot, penting untuk mengajarkan agar tidak curang, namun ini juga membawa risiko produk. Hal yang dapat dilakukan adalah mendorong siswa untuk menyukai belajar sehingga menjadi pembelajar sepanjang hayat, dan dapat mengelola informasi yang diperoleh dengan baik,” demikian disampaikan.