indotim.net (Senin, 26 Februari 2024) – Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta mulai proses nonaktifkan sebanyak 94 ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga yang telah meninggal dunia atau tidak lagi tinggal di Jakarta setelah Pemilu 2024. Penonaktifan ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Komisi A DPRD DKI Jakarta.
“Memang ini hasil rekomendasi dari Komisi A DPRD DKI Jakarta pada saat kami paparan sosialisasi tahun lalu,” ujar Kepala Disdukcapil DKI Jakarta, Budi Awaluddin, Senin (26/2/2024).
Disdukcapil DKI Jakarta memastikan pihaknya telah berupaya melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat sejak September 2023. Dia mengatakan penduduk yang keluar Jakarta sebanyak 243.160, sedangkan penduduk datang ke Jakarta sebanyak 136.200 orang sepanjang 2023.
Sebanyak 94 ribu KTP yang akan segera dinonaktifkan. Jumlah tersebut terdiri dari 81 ribu KTP milik warga yang telah meninggal dunia, dan 13 ribu KTP warga yang sudah tidak tinggal di RT sesuai informasi yang tertera di KTP mereka.
Budi menjelaskan bahwa KTP warga yang dinonaktifkan di antaranya tercatat sebagai penduduk yang tidak lagi berdomisili secara de facto selama lebih dari setahun. Selain itu, juga termasuk penduduk yang wajib memiliki e-KTP namun tidak melakukan perekaman selama 5 tahun sejak usia wajib KTP, termasuk yang sudah meninggal dunia.
Selain itu, warga yang dicekal dari instansi/lembaga hukum terkait juga turut masuk dalam daftar dinonaktifkan. Begitu pula dengan penduduk yang mendapat keberatan dari pemilik rumah, kontrakan, atau bangunan.
“Tertib administrasi kependudukan perlu diberlakukan demi kepentingan masyarakat secara luas, mengingat keakuratan data dapat mempengaruhi proses pembangunan daerah serta kebijakan publik guna menciptakan keberadaban kehidupan masyarakat yang madani dan sejahtera,” jelasnya.
Penjelasan Komisi A DPRD DKI Jakarta
Komisi A DPRD DKI Jakarta merekomendasikan penundaan penonaktifan 94 ribu KTP warga hingga setelah Pemilu 2024. Langkah ini diambil agar tidak mengganggu Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tengah disusun.
Pasca pemungutan suara, sebanyak 94 ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) di DKI Jakarta akan dinonaktifkan. Keputusan ini diambil sebagai langkah pencegahan untuk menghindari potensi risiko terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Setelah pemilu, karena khawatir akan kemungkinan terjadinya kejadian yang tidak diinginkan terkait DPT, kami merekomendasikan perubahan waktu dari bulan Maret menjadi setelah pemilu,” ungkap Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Mujiyono, dalam sebuah wawancara telepon.
Mujiyono menyebut keputusan penundaan penonaktifan KTP warga telah ditetapkan dalam rapat kerja Komisi A DPRD bersama Disdukcapil DKI Jakarta akhir tahun sebelumnya.
Simak berita selengkapnya di halaman sebelumnya.
Saat Pemilihan Umum telah usai, sebanyak 94 ribu KTP di DKI Jakarta mulai dinonaktifkan. Kebijakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat.
Sebagai bagian dari proses pembersihan data kependudukan, pencabutan KTP yang sudah tidak aktif diharapkan dapat menyegarkan dan memperbaharui data kependudukan di ibu kota.
Selain itu, kebijakan dinonaktifkannya KTP juga bertujuan untuk menghindari potensi penyalahgunaan data kependudukan yang sudah tidak relevan secara hukum.
Hal ini menjadi perhatian serius karena penyalahgunaan data kependudukan dapat berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Mujiyono menilai penonaktifan KTP warga akan menimbulkan risiko tinggi sehingga harus dipersiapkan secara matang. Mengingat, penonaktifan KTP pasti berdampak ke sejumlah data administrasi kependudukan (adminduk), misalnya perbankan maupun jaminan kesehatan.
RT/RW melalui lurah pernah diperintahkan melakukan verifikasi terhadap data penduduk yang akan dinonaktifkan, namun tidak semua lurah berani melakukannya. Menonaktifkan NIK seseorang di KTP dianggap berbahaya. Salah satu risikonya adalah tidak bisa digunakan untuk urusan perbankan. Apabila NIK sudah dinonaktifkan dan orang tersebut melakukan transaksi di bank, sistem akan mendeteksinya, sehingga KTP tidak bisa digunakan,” jelasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi A Rio Dwi Sambodo menyoroti bahwa penonaktifan 94 ribu KTP DKI Jakarta pada bulan Maret dianggap terlalu cepat. Rio menekankan perlunya Pemprov DKI mempertimbangkan secara cermat dampak penerapan kebijakan ini agar tidak menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat.
“Keberatan warga atas penonaktifan yang dinilai terlalu cepat patut dipertimbangkan. Setiap kebijakan hendaknya juga memikirkan dampak negatif yang timbul. Sehingga tidak terjadi gejolak di masyarakat,” kata Dwi.
Dwi kemudian meminta agar Pemprov, melalui Dukcapil DKI, melakukan verifikasi ulang terhadap data penduduk yang KTP-nya telah dinonaktifkan. Selain itu, ia menyarankan agar program sosialisasi ditingkatkan agar masyarakat dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik.
Menurut sumber terpercaya, “Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Dukcapil rasanya belum maksimal, sehingga berpotensi menimbulkan berbagai dampak, bukan hanya masalah DPT Pemilu tetapi masalah administrasi lainya seperti rekening bank, BPJS Kesehatan hingga zonasi sekolah,” ujarnya.