BMKG Jelaskan Fenomena di Rancaekek, Bukan Tornado

indotim.net (Rabu, 28 Februari 2024) – Di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, baru-baru ini terjadi angin kencang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa kejadian tersebut tidak termasuk dalam kategori angin tornado.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa angin yang terjadi di Rancaekek pada tanggal 21 Februari 2024 memiliki kecepatan mencapai 65 km/jam. Menurut beliau, kejadian tersebut dapat dikategorikan sebagai angin puting beliung.

Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, fenomena yang terjadi di Rancaekek bukanlah tornado.

“Kemarin, kecepatan rata-ratanya belum mencapai 100 Km/jam. Jadi masih jauh. Kemarin, kecepatan rata-ratanya hanya sekitar 65 km/jam. Tornado memiliki kecepatan minimum 100 km/jam, namun tidak menutup kemungkinan bisa meningkat,” kata Dwikorita dalam jumpa pers dengan wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa (27/2/2024).

“Alhamdulilah kemarin bisa berhenti cuma 4 menit. Jika terus berlanjut karena adanya awan yang terlalu banyak, bisa menyebabkan kejadian tersebut menjadi lebih kuat. Kita hanya bisa berdoa semoga kejadian serupa tidak terulang kembali,” ungkap Dwikorita.

Sebelumnya, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa fenomena yang terjadi di Rancaekek bukanlah tornado.

Lalu, dia juga mengimbau warga untuk berhati-hati jika melihat awan yang gelap. Dwikorita menyarankan masyarakat agar berlindung di bangunan yang kokoh.

“Fenomena ini dipicu oleh awan-awan. Karena distribusi awan yang merata, hal ini bisa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk selalu waspada. Apabila kita melihat awan gelap, disarankan untuk segera mencari perlindungan. Tempat yang paling aman adalah di dalam bangunan yang kokoh, hindari berada di bawah pohon. Kilat petir dapat terjadi antara awan, sehingga risiko terkena petir saat berada di bawah pohon atau di luar sangat besar. Lebih baik berlindung di dalam rumah atau bangunan yang kokoh,” jelas Dwikorita.

Akibat Lahan Hijau jadi Kawasan Industri

Fenomena puting beliung kencang terjadi di daerah Rancaekek, Bandung, pada 21 Februari lalu. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap fenomena ini disebabkan oleh alih fungsi lahan hijau.

Profesor Riset dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, menjelaskan penyebab terjadinya puting beliung kencang tersebut. Dia menjelaskan bahwa Rancaekek merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah Pulau Jawa bagian barat.

READ  Muslim di Jerman Alami Pelecehan Setelah Serangan Hamas: Waspada terhadap Keberagaman

Kawasan tersebut awalnya adalah zona hijau yang ditandai oleh banyaknya pepohonan, menunjukkan lingkungan yang masih cukup bersih. Namun, saat ini kawasan tersebut telah berubah fungsi menjadi zona industri. Daerah seperti ini umumnya rentan terkena pusaran angin.

“Dengan penjelasan yang disampaikan tadi, jelas terlihat bahwa yang terjadi adalah perubahan tata guna lahan dari semula hutan jati menjadi kawasan yang kini dipenuhi oleh bangunan-bangunan beton,” ujar Eddy dalam pernyataan tertulisnya yang dikutip dari laman resmi BRIN pada Jumat (23/2).”

Menurut Eddy, industri banyak menghasilkan gas emisi. Gas ini tidak dapat leluasa kembali ke atmosfer akibat efek rumah kaca.

Dengan lama penyinaran matahari (LPM) lebih dari 12,1 jam, kawasan ini sangat panas pada siang hari dan relatif dingin pada malam hari.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa terdapat perbedaan suhu yang signifikan antara kondisi malam dan siang di kawasan tersebut. Tanpa disadari, Rancaekek secara tiba-tiba berubah menjadi zona bertekanan rendah. Situasi seperti ini telah terjadi sejak 19 Februari 2024.

Proses tersebut berlangsung selama kurang lebih 24-48 jam. Dimulai dengan munculnya awan-awan cumulus (dikenal sebagai Pre-MCS) yang kemudian perlahan membesar membentuk kumpulan awan cumulonimbus (Cb) yang siap diputar hingga membentuk pusaran besar yang dikenal sebagai puting beliung.

Pada kesempatan tersebut, Eddy menjelaskan, “Walaupun mekanisme agak kompleks untuk dijelaskan secara rinci, dugaan kuat pusaran ini terjadi akibat adanya pertemuan dua massa uap air, dari arah barat dan timur, lalu diperkuat dari arah selatan Samudra Indonesia. Ketiganya berkumpul di satu kawasan yang memang telah mengalami degradasi panas yang cukup tajam.”

Sebelumnya, BMKG telah memberikan penjelasan terkait fenomena alam yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat. Meskipun beberapa orang mengaitkannya dengan tornado, namun BMKG menegaskan bahwa fenomena tersebut bukanlah tornado.

Menurut BMKG, fenomena yang terjadi di Rancaekek lebih cenderung merupakan angin kencang diikuti hujan lebat. Hal ini didukung oleh analisis meteorologi yang dilakukan oleh BMKG.

Masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan waspada terhadap kondisi cuaca ekstrem. BMKG terus memantau perkembangan cuaca di Rancaekek dan wilayah sekitarnya.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan baca selengkapnya di halaman selanjutnya.

READ  Cerita Jokowi yang Membingungkan Saat Pemimpin Dunia Memuji Istana Jakarta

BRIN: Perbedaan Microscale Tornado dan Puting Beliung

Pada tanggal 21 Februari, Rancaekek, Bandung diguncang oleh puting beliung dengan kekuatan yang sangat besar. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti perbedaan antara puting beliung dan microscale tornado.

Sebelumnya, peneliti BRIN, Didi Satiadi, mengklaim bahwa peristiwa di Rancaekek adalah hasil dari cuaca ekstrem yang menunjukkan ciri-ciri puting beliung yang sangat kuat.

Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa mengkategorikan fenomena tersebut sebagai tornado tidaklah tepat.

Sementara itu, Kepala Stasiun Geofisika Bandung Dedi Kusnadi Widodo menjelaskan, fenomena yang terjadi di Rancaekek bukanlah tornado, melainkan puting beliung. Dia menegaskan bahwa peristiwa ini dapat dibedakan dari tornado berdasarkan luasnya area terdampak serta intensitasnya yang sangat kuat. Kerusakan yang terjadi mencakup bangunan yang rusak parah, kendaraan yang terguling, dan dampak lainnya.

Dalam literatur meteorologi internasional, puting beliung umumnya dikenal dengan istilah microscale tornado atau tornado skala kecil. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena di Rancaekek tersebut sesuai dengan deskripsi dan karakteristik dari puting beliung.

“Fenomena tornado menggambarkan suatu kolom udara yang berputar sangat cepat, mulai dari awan badai hingga mencapai permukaan tanah, dan biasanya berbentuk seperti corong,” ujar Didi dalam keterangan tertulis di laman BRIN, Jumat (23/2).

Didi menjelaskan, dari hasil analisis awal, terungkap bahwa kejadian puting beliung di Rancaekek diduga disebabkan oleh adanya konvergensi angin dan uap air di daratan sekitar wilayah tersebut pada sore hari.

Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan awan cumulonimbus yang sangat cepat dan meluas.

Proses pembentukan awan membebaskan panas laten yang selanjutnya meningkatkan updraft (aliran udara ke atas).

Sebaliknya, updraft yang semakin kuat akan menyebabkan lebih banyak awan terbentuk. Siklus umpan balik positif ini mengakibatkan updraft menjadi semakin kuat dan dapat berputar karena adanya windshear (perbedaan arah/kecepatan angin). Kolom udara yang berputar dengan kekuatan yang meningkat dapat mencapai permukaan tanah dan menghasilkan puting beliung.

Pada kesempatan itu, Didi memberikan penjelasan yang sangat informatif mengenai perbedaan mendasar antara tornado dan puting beliung. Salah satu poin penting yang dijelaskan adalah bahwa tornado biasanya terjadi dalam awan badai yang terbentuk sepanjang front, yaitu batas antara dua massa udara yang berbeda, atau dalam awan badai supersel.

READ  Megawati Bongkar Rahasia Pembagian Sembako, Bukti Duitnya Dari Mana?

Pada kasus di Rancaekek, yang terjadi bukanlah tornado seperti yang banyak dikhawatirkan masyarakat. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena tersebut lebih cenderung merupakan puting beliung. Hal ini terjadi akibat dari proses konveksi lokal di dalam awan badai dan biasanya terkait dengan downburst/microburst (aliran udara ke bawah) yang memiliki kekuatan signifikan.

Secara umum, tornado memiliki skala yang lebih besar dan kekuatan yang lebih dahsyat dibandingkan dengan fenomena puting beliung. Tornado memiliki angin yang lebih kencang dan diameter yang lebih luas.

Kecepatan Angin di Rancaekek

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengklarifikasi bahwa angin yang melanda wilayah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Sumedang sebenarnya merupakan angin puting beliung, bukan tornado. Penegasan ini diberikan karena kecepatan angin minimum antara angin puting beliung dan tornado memiliki perbedaan yang signifikan.

Dikutip dari detikJabar, BMKG menyimpulkan bahwa fenomena di Rancaekek bukanlah tornado berdasarkan data kecepatan angin yang diperoleh dari Catatan Automatic Weather Station (AWS) di Jatinangor. Berdasarkan catatan AWS, kecepatan angin mencapai 36,8 kilometer per jam. Sedangkan, tornado memiliki kecepatan minimum di atas 70 kilometer per jam.

Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Bandung Teguh Rahayu menjelaskan bahwa berdasarkan indikator kecepatan angin pada kejadian Rabu kemarin, dapat disimpulkan bahwa bencana yang terjadi merupakan puting beliung, bukan angin tornado seperti yang banyak diperdebatkan.

“Kalau di kita menggunakan satuan km/jam itu satuan untuk kecepatan angin. Kalo misalnya itu yang dihebohkan sebagai tornado, ya pastinya dia (kecepatannya) jauh lebih tinggi dari 70 ke atas, bahkan (bisa) ratusan km/jam,” ucap Rahayu saat dikonfirmasi, Jumat (23/2).

BMKG menegaskan bahwa apa yang terjadi di Rancaekek bukanlah tornado. “Yang jelas kalau tornado kita lihat mungkin mobil juga terangkat, bisa terbang-terbang, itu baru tinggi (kecepatannya)” sambungnya.

Rahayu memastikan bahwa kecepatan angin saat terjadinya bencana yang menyebabkan kerusakan cukup parah beberapa hari yang lalu, tidak melebihi data yang tercatat dari AWS. Ayu, begitu ia disapa, berharap agar masyarakat tidak lagi memperdebatkan mengenai kemungkinan puting beliung dan tornado.

“Iya, itulah catatan dari alat pengukur kami yang terletak di Jatinangor. Kami mengambil referensi dari data yang terekam, yakni 36,8 km per jam, dan ini merupakan data yang valid,” jelas perwakilan BMKG.