indotim.net (Rabu, 28 Februari 2024) – Sebanyak 900 traktor dikerahkan oleh serikat petani untuk memblokade jalan-jalan utama di pusat kota Brussels, Belgia, menurut kepolisian setempat. Mereka berkumpul di depan kantor Dewan Eropa, di mana para menteri pertanian dari seluruh negara Uni Eropa sedang mengadakan pertemuan, pada hari Senin (26/2).
Kepulan asap membumbung dari seberang barikade kepolisian anti huru-hara, di mana petugas berusaha menghalau demonstran dengan tembakan meriam air dan gas air mata. Sejumlah traktor dikabarkan menerobos barikade dan memaksa kepolisian untuk menghindar. Buntutnya, Menteri Dalam Negeri Belgia Annelies Verlinden menuntut polisi menindak “para perusuh”.
Dalam kejadian yang mengejutkan beberapa waktu lalu, terjadi bentrok di Brussels antara petani Eropa yang sedang melakukan aksi protes terkait anjloknya pendapatan mereka. Pasar pertanian yang seharusnya menjadi sumber penghasilan utama bagi petani kini menjadi sumber masalah yang memprihatinkan.
“Hak berdemonstrasi bernilai tinggi dan sebabnya harus digunakan dengan rasa hormat,” tulisnya di X, dalam sebuah cuitan di platform Twitter.
Luapan amarah di Brussels bersahutan dengan aksi protes di tempat lain. Petani Polandia memblokade jalur perlintasan penting menuju perbatasan Jerman. Hingga Senin siang, traktor, truk hingga mesin panen berbendera Polandia dikerahkan menutupi jalan. Adapun di Madrid, petani dari penjuru Spanyol datang untuk berdemonstrasi sembari meniupkan pluit secara serempak.
Pada Hari Sabtu (24,2) yang lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengalami aksi protes saat akan membuka Festival Agrikultur Paris. Demonstrasi serupa juga terjadi di Belanda dan Bulgaria dalam beberapa pekan terakhir.
Regulasi lingkungan dan liberalisasi pasar
Kegelisahan petani terutama disebabkan oleh ketatnya regulasi lingkungan di tengah merosotnya harga pasar.
Prahara meningkat ketika pasar Eropa mulai dilanda gandum Ukraina dan produk pertanian dari luar UE. Pasalnya, produk pangan dari negara-negara berkembang seperti Brasil atau Maroko, yang tidak terikat pada regulasi Uni Eropa, mengalami keuntungan dari keringanan bea masuk dalam kerangka liberalisasi perdagangan. Hal ini menyebabkan petani Polandia turun ke jalan karena kesulitan menjual tanpa mengalami kerugian finansial.
Sebelumnya, petani Eropa melakukan protes besar-besaran di Brussels, menyuarakan ketidakpuasan terhadap anjloknya pendapatan mereka. Aksi ini menjadi bagian dari solidaritas bersama dalam menyikapi masalah tersebut.
“Aksi ini adalah bagian dari solidaritas bersama,” kata Adrian Wawrzyniak, juru bicara serikat buruh Polandia. “Baik petani Polandia atau Jerman tidak mengizinkan masuknya komoditas dari Ukraina ke pasar Eropa,” tambahnya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Berisi wawasan terbaru agar obrolan semakin menarik.
Anjloknya harga bahan pangan akibat banjir produk impor terjadi ketika Uni Eropa sedang giat memacu dekarbonisasi di sektor pertanian. Di Jerman, misalnya, petani memrotes pemotongan subsidi diesel agrikultur sebagai bagian dari komitmen iklim.
Secara umum, pengetatan regulasi menyaratkan kerja birokrasi yang semakin membebani petani.
Namun sejauh ini, aksi jalanan berhasil memaksa Uni Eropa mencoret sasaran pengurangan emisi dari sektor pertanian atau klausul yang membatasi penggunaan pestisida. Namun hal itu dianggap belum cukup.
“Kami memproduksi bahan pangan tapi kami tidak bisa hidup dari pekerjaan kami. Kenapa begitu?,” kata Morgan Ody dari serikat buruh Eropa La Via Campesina kepada Reuters. “Penyebabnya adalah perjanjian perdagangan bebas, deregulasi, dan karena harga makanan lebih rendah dari ongkos produksi.”
Mereka mendesak pemerintah Eropa untuk memberlakukan kebijakan yang melindungi petani dan mencegah penurunan pendapatan lebih lanjut. Protes ini merupakan bagian dari upaya untuk membangkitkan kesadaran akan kondisi ekonomi para petani di Eropa.
Solusi yang Segera dan Tepat
Di tengah kerumunan protes di Brussels, para menteri pertanian Uni Eropa bersatu untuk mencari solusi terbaik. Belgia selaku pemegang Kepresidenan Uni Eropa mengakui bahwa kemarahan petani dipicu oleh kebijakan lingkungan yang memberatkan, pemotongan subsidi pertanian, serta lonjakan impor gandum dari Ukraina sebagai dampak dari konflik Rusia.
Pada pertemuan yang diadakan di Brussels, Menteri Pertanian Belgia, David Clarinval, menyampaikan dukungan untuk para petani yang tengah kesulitan akibat anjloknya pendapatan. “Kami memahami betapa sulit situasinya bagi petani,” ujar Clarinval kepada para reporter.
Menanggapi hal ini, 27 negara anggota Eropa sepakat bahwa situasi tersebut tidak boleh dibiarkan memburuk. “Adalah penting untuk mengambil langkah cepat dan juga strategi jangka panjang di level Eropa,” tambahnya.
Menteri Pertanian Prancis Marc Fesneau juga menyuarakan sentimen serupa. Menurutnya, Dewan Eropa sebagai perwakilan pemerintahan UE “harus mengirimkan sinyal sesegera mungkin untuk meyakinkan petani bahwa perubahan sedang terjadi, tidak hanya untuk jangka pendek tapi juga untuk jangka menengah dan jangka panjang.”
Rekan sejawatnya dari Irlandia, Charlie McConalogue, menilai prioritas terbesar adalah memangkas hambatan administratif. Menurutnya, UE harus memastikan kebijakan yang diambil bersifat “langsung, proporsional dan sangat mudah untuk diimplementasikan oleh para petani,” kata dia. “Kami sangat menghormati pekerjaan penting yang dilakukan para petani setiap hari dalam memproduksi bahan pangan.”
rzn/hp (ap,rtr,dpa)
Segera dapatkan berbagai konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Jangan lewatkan kesempatan berlangganan newsletter mingguan “Wednesday Bite” secara gratis. Isi pengetahuan Anda di pertengahan minggu agar obrolan semakin menarik!
Peningkatan harga bahan bakar dan pupuk pertanian telah membuat petani Eropa semakin kesulitan. Mereka merasa kemarahan mereka tidak didengar oleh pemerintah. Isu ini memuncak dalam bentrok yang terjadi di Brussels.