indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Saat menjelang Pemilu 2024, muncul berbagai narasi, sinyalemen, tuduhan, framing, dan istilah lainnya yang mengenai potensi kemerosotan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini terkait dengan berbagai fenomena yang dianggap melanggar etika, moral, hukum, kepantasan, nepotisme, politik dinasti, kecurangan, ketidaknetralan pejabat publik, penyalahgunaan infrastruktur kekuasaan, dan sejumlah istilah yang menggambarkan seolah-olah pemerintahan saat ini tidak memiliki kebaikan sama sekali.
Kritik-kritik pedas tersebut sempat membangkitkan kesan bahwa para elite pemerintahan negara sekarang ini tidak memiliki moral atau mereka sebut dengan istilah pemerintahan nir-etika (pemerintahan yang tak punya etika).
Hal tersebut seolah memunculkan wacana baru tentang perlunya pembangunan ‘negara peradaban’ di Indonesia. Konsep ‘negara peradaban’ ini diperlukan sebagai pondasi utama dalam menjalankan roda pemerintahan agar tercipta tata kelola yang baik dan etis.
Jika kritik seperti ini diungkapkan dalam situasi yang umum, orang akan cenderung dapat berpikir dengan jelas untuk kemudian mencari solusi terbaik agar mencapai kebaikan dan kemajuan bersama. Namun, ketika kritik tersebut diperbesar dan disuarakan pada masa kritis pasca-pemilu saat terjadi persaingan dan adu kekuatan di antara politisi, kritik tersebut bisa berubah menjadi alat untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politik.
Logika untuk mencari jalan keluar demi kebaikan bersama tidak lagi menjadi konsiderasi bersama. Kondisi ini merupakan lonceng bahaya, bukan tanda kebahagiaan. Pentingnya menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan mulai hilang. Hal ini berpotensi mengarah pada upaya pemakzulan terhadap presiden saat ini dan meragukan proses serta hasil Pemilu 2024 yang akan datang.
Jika situasi tersebut terjadi, maka ancaman konflik, kekacauan, dan disintegrasi bangsa akan menjadi kenyataan. Apabila hal ini terjadi, kemunduran dalam kemajuan bangsa akan tak terhindarkan. Hal ini mencerminkan bahwa banyak individu yang kehilangan kendali, yang pada akhirnya mengorbankan masa depan bangsa dan negara.
Padahal sebetulnya persoalan etika semacam itu sudah lama dirasakan bersama, bukan muncul tiba-tiba menjelang Pemilu 2024.
Tata Moral
Semua diskusi yang sedang berlangsung pada akhirnya menuduh bahwa bangsa dan negara ini tampaknya telah kehilangan dasar budaya sebagai sumber moral, etika, norma, dan hukum.
Lepas dari kebenaran atau ketidakbenaran wacana tersebut, serta seberapa besar defisit etika budaya yang ada, penting untuk mempertimbangkan bagaimana agar bangsa kita tidak terjerumus dalam defisit moral yang dapat memicu pelanggaran etika, norma, hukum, serta berbagai permasalahan bangsa yang mengikutinya.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu menetapkan dan merevitalisasi tata moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan pijakan bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kebingungan dalam penafsiran nilai-nilai moral dalam masyarakat.
Diperlukan penegasan standar dan tata moral yang jelas mengenai nilai-nilai baik-buruk, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, budaya malu, dan lainnya. Nilai-nilai ini harus dijadikan sebagai sikap, etika, dan kewajiban moral yang diakui secara luas dalam kehidupan berbangsa. Tata moral merupakan fondasi yang tak bisa diremehkan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa, moral merupakan seperangkat prinsip dan nilai-nilai yang mengatur perilaku individu dan masyarakat dalam interaksi mereka satu sama lain sebagai komunitas bangsa. Tata moral memiliki beberapa peran penting, di antaranya adalah memelihara tertib sosial.
Nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan saling menghormati membantu memelihara ketertiban sosial dan mengurangi konflik antar individu serta kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kedua, penguatan identitas kebangsaan.
Hal ini penting untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan bangsa Indonesia menuju arah yang lebih maju dan berkemajuan. Dengan membangun fondasi ‘negara peradaban’ yang kokoh, kita dapat menjaga harmoni dan kerukunan antar warga negara dengan landasan moral dan etika yang kuat.
Nilai-nilai moral yang dijaga dan diamalkan secara bersama-sama dapat memperkuat rasa persatuan dan kebanggaan nasional.
Kemudian, pembentukan karakter kebangsaan juga menjadi kunci penting. Tata moral memainkan peran yang signifikan dalam membentuk karakter individu, dan kemudian karakter masyarakat secara keseluruhan serta memberikan dasar bagi praktik etika dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan karakter yang baik, seperti integritas, tanggung jawab, dan altruisme, membantu membangun masyarakat yang lebih baik dan berkeadilan.
Keempat, pengaturan kehidupan politik dan hukum. Tata moral juga punya peran penting dalam menciptakan sistem politik dan hukum yang berkeadaban.
Pada satu titik, nilai-nilai moral sering kali tercermin dalam konstitusi, undang-undang, dan kebijakan publik, yang mengatur perilaku pemerintah dan warga negara untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, tanpa standar tata moral maka kehidupan individu dan komunitas bangsa akan mengalami goncangan.
Menggagas Civilization-state dan Tata Moral Kebangsaan
Apa hubungan antara tata moral kebangsaan dengan konsep negara peradaban (civilization state)? Negara peradaban merupakan konsep di mana sebuah negara mengenali dirinya tidak hanya sebagai entitas geopolitik, tetapi juga sebagai entitas peradaban yang berkomitmen untuk menjaga dan mewariskan nilainya secara terus-menerus.
Konsep “Negara Peradaban” menekankan pentingnya kekayaan budaya, sejarah, dan peradaban suatu negara sebagai aset yang harus dijaga dengan baik. Negara peradaban menonjolkan identitas budaya dalam ranah politik baik domestik maupun internasional, serta menggunakan fondasi budaya untuk memperkuat kedudukan negara tersebut.
Di dalam negara peradaban ini, moral kebangsaan yang bersumber dari budaya bangsa menjadi faktor substantif dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Hal ini terjadi karena tata moral merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari budaya.
Moral mencakup seperangkat prinsip dan nilai-nilai yang mengatur perilaku individu dan interaksi sosial berdasarkan pada konsep apa yang benar dan salah, baik dan buruk, kejujuran, keadilan, kesetiaan, empati, kebersamaan, dan sebagainya. Budaya, di sisi lain, mencakup seperangkat nilai, norma, keyakinan, tradisi, dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia modern, Pancasila telah diakui secara luas sebagai sumber nilai-nilai moral dan hukum yang mendasar bagi kehidupan bangsa dan negara. Bung Karno sendiri mengakui bahwa Pancasila bersumber dari kekayaan budaya Indonesia. Sebagai bagian integral dari proses konstruksi kebudayaan, Pancasila memainkan peran krusial dalam memperkuat kedudukan Indonesia sebagai nation-state dan memandu perjalanan menuju civilization-state.
Kehadiran negara bangsa terbukti lebih tangguh dan berkelanjutan jika didukung dengan pondasi budaya yang kuat. Tanpa dasar budaya yang kokoh, sebuah negara bangsa bisa menjadi rapuh dan terancam keberlanjutannya.
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa negara yang dibangun sebagai civilization-state jauh lebih kokoh dan berkelanjutan, seperti yang terlihat di Republik Rakyat Tiongkok dan Jepang. Kedua negara ini memiliki basis kebudayaan yang terakar kuat dalam kehidupan politik dan sosial mereka. Indonesia, sebagai negara kesatuan, memiliki potensi untuk menjadi civilization state jika fondasi kebudayaannya diperkuat. Meskipun memerlukan waktu dan proses, langkah pertama harus diambil untuk memulai transformasi ini.
Sebagaimana diketahui, awalnya pusat-pusat kekuasaan di Nusantara didasarkan pada negara etnik seperti contohnya Kerajaan Sriwijaya yang didominasi oleh suku Melayu, Kerajaan Mataram dan Majapahit yang berbasis etnik Jawa, Kerajaan Aceh yang berpusat pada suku Aceh, Kerajaan Goa yang berasal dari suku Makassar, dan sebagainya. Konsep kelompok etnik ini merupakan suatu konsep alami yang lebih bersifat keluarga, yakni didasarkan pada hubungan kekerabatan.
Dalam sejarah Indonesia, kerajaan-kerajaan yang berbasis etnik ketika berkembang menjadi kekuatan politik yang besar kemudian melakukan ekspansi ke kelompok etnik yang lain seperti yang dilakukan oleh Majapahit, Sriwijaya, Aceh, dsb. Ekspansi yang dilakukan oleh negara-negara etnik ini selanjutnya menyebabkan lahirnya multi-ethnic state. Majapahit adalah contoh yang nyata dari multi-ethnic state dalam sejarah Indonesia.
Multi-ethnic state adalah bentuk negara yang terdiri dari beragam etnik tanpa kohesi internal yang kokoh. Kondisi ini rentan memunculkan chauvinisme etnis yang berpotensi mengarah pada gerakan separatisme dan pemberontakan, yang dapat melemahkan kekuatan, persatuan, dan integrasi negara. Risiko perselisihan antar etnik dan bahaya pecahnya konflik berskala besar menjadi ancaman yang nyata. Konflik antaretnik telah merongrong stabilitas pada masa kejayaan Majapahit.
Konfigurasi nation-state Indonesia modern saat ini sebenarnya mirip dengan zaman Majapahit, hanya berbeda pada cita-cita bersama sebagai perekat di antara anak bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok etnik di Indonesia yang mungkin belum ditemui pada masa kekuasaan Majapahit.
Tanpa ikatan bersama untuk meraih masa depan yang gemilang (merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur) sebagaimana termaktub dalam konstitusi maka nation-state Indonesia akan rapuh.
Jika ikatan itu hilang, atau tidak segera dicapai, atau tidak tercapai maka akan dengan mudah Indonesia berubah dari nation-state menjadi multi-ethnic state dan selanjutnya bisa terjerumus ke dalam ethnic-state.
Jika dilihat dari kekuatan kolonialisme Belanda, akhirnya kekuatan tersebut menghancurkan sisa-sisa negara multi-etnis dan negara etnis yang ada di kepulauan Indonesia. Semua dijadikan sebagai jajahan dan diperintah oleh pemerintahan kolonial Belanda. Di tengah penjajahan ini, muncul kesadaran untuk bersatu demi mengusir penjajah dan berdirinya negara bangsa baru yaitu Indonesia yang terdiri dari warga negara multi-etnis. Jadi, lahirnya negara bangsa Indonesia bukan karena persamaan tetapi justru karena kesadaran atas perbedaan untuk membangun kebersamaan dalam mencapai cita-cita bersama.
Indonesia pada awalnya diidamkan sebagai negara-bangsa yang terbentuk di tengah situasi kolonialisme. Di sini terlihat bagaimana konsep negara-bangsa merupakan hasil rekayasa dan bukanlah sesuatu yang alami.
Ini sesuai dengan pandangan Benedict Anderson yang menyatakan bahwa negara adalah “imagined community.” Meskipun memiliki perbedaan, individu-individu membayangkan diri mereka sebagai bagian dari satu kesatuan kolektif, kemudian mengaitkan diri dengan sejarah, karakteristik, kepercayaan, dan sikap yang sama. Kolonialisme Belanda menjadi pemicu lahirnya negara-bangsa Indonesia.
Mereka ingin bersatu menjadi satu bangsa untuk mengusir penjajah dan mendirikan satu negara-bangsa yaitu Indonesia. Proses pembentukan nation-state Indonesia ini sesuai dengan konsep Ernest Renan bahwa bangsa merupakan “Sebuah kelompok orang yang mempercayai diri mereka sebagai bangsa”. Yang mengikat rasa kebangsaan bukanlah kesamaan keturunan, sejarah, budaya, dan lain sebagainya, tetapi adalah cita-cita bersama. Dalam konteks Indonesia sebagaimana terlihat dalam UUD 1945: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Civilization State sebagai Basis Nation State untuk Indonesia
Di samping kekuatan dan sustainability nation-state terletak pada orientasi masa depan, yaitu pewujudan cita-cita negara-bangsa sebagai termaktub dalam UUD 1945, kekuatan sebuah nation-state akan ditentukan oleh basis kebudayaan sebagai sebuah civilization state. Contohnya RRC dan Jepang yang merupakan civilization state yang sudah berumur ribuan tahun tetapi masih tetap eksis, sedangkan negara-negara etnik di Nusantara dan beberapa nation-state di dunia hanya berumur pendek.
Tanpa basis “civilization state” maka nation state akan lemah dan selalu terancam dengan persoalan disintegrasi bangsa. Ini terjadi karena konsep negara-bangsa ini membayangkan tentang adanya bangsa yang homogen yang diatur oleh negara yang berdaulat. Ide ini hampir tidak pernah tercapai padahal Indonesia merupakan negara multi-etnik dan bahkan multi-ras, serta multi-kultural.
Negara-bangsa adalah sebuah entitas politik yang dibangun secara sosial, bukan diberikan oleh alam. Oleh karena itu, pembentukan negara-bangsa yang pada awalnya merupakan hasil rekayasa sosial-politik harus diperkuat melalui konstruksi dan rekayasa budaya. Untuk itu, konsep negara-bangsa perlu didukung dengan pembentukan dan penguatan sebagai civilizational-state. Hal ini berarti negara-bangsa Indonesia merupakan hasil rekayasa sosial-politik, sehingga aspek kebudayaannya pun seharusnya mengalami rekayasa yang serupa.
Jika basis budaya (yang dalam hal ini sudah dikristalisasi dalam Pancasila) dilupakan, maka NKRI tidak akan memiliki basis budaya yang kuat, dan hanya tinggal menunggu kehancurannya.
Dalam konteks ini, basis negara peradaban yang berupa basis kebudayaan tidak hanya berpusat pada sejarah seperti yang terjadi pada negara-negara peradaban seperti Jepang dan RRC yang memiliki akar peradaban berusia ribuan tahun, tetapi juga pembangunan kebudayaan sebagai landasan untuk memperkuat kohesi kebangsaan dalam negara bangsa di masa depan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pergeseran etnis dari satu daerah ke daerah lain merupakan hal yang lazim, seperti yang terjadi pada masa Kerajaan Majapahit. Dalam konteks negara peradaban, Pancasila menjadi fondasi yang sangat vital bagi Indonesia sebagai negara bangsa. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan sinergi antara negara sebagai peradaban dan negara sebagai bangsa agar memiliki landasan kebudayaan yang kokoh. Dengan demikian, masalah-masalah moral yang dihadapi bangsa ini tidak akan menjadi hal yang rumit. Semoga.
Prof Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. adalah seorang Guru Besar Universitas Diponegoro yang juga merupakan pemerhati masalah integrasi bangsa serta menjabat sebagai Ketua Presidium Forum Guru Besar Indonesia.