Menggali Masalah Pungutan Liar di Penjara Markas Antikorupsi

indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Keironisan terjadi di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika terungkap adanya praktik pungutan liar (pungli) di dalamnya. Pertanyaan mendasar pun muncul, bagaimana hal ini dapat terjadi dan bagaimana pula praktik ilegal tersebut dapat berlangsung dengan leluasa selama bertahun-tahun?

Pada bulan Juni 2023, saat konferensi pers, Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Albertina Ho mengungkapkan dugaan praktik pungutan liar (pungli) terjadi pada para tahanan di rutan-rutan KPK. Albertina Ho menyebutkan bahwa kasus pungli ini diperkirakan terjadi mulai Desember 2021 hingga Maret 2022, dengan jumlah uang yang terkumpul akibat pungli mencapai Rp 4 miliar.

“Jumlah sementara mencapai Rp 4 miliar,” ujar Albertina pada waktu itu.

Perlu dicatat bahwa Dewas KPK hanya menangani aspek etika. Sejalan dengan itu, Dewas KPK bekerja sama dengan pimpinan KPK dalam hal permasalahan pidana. Hal ini disebabkan rutan KPK bukan hanya dikelola oleh internal KPK, tetapi melibatkan pihak lain seperti Pegawai Negeri yang Dipekerjakan (PNYD) dari instansi lain seperti Kementerian Hukum dan HAM.

Masalah Pungutan Liar di Rutan KPK Sudah Terjadi Sejak 2018

Penemuan mengenai praktik pungutan liar (pungli) di Rutan KPK terus dalam proses penyelidikan. Mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, mengungkapkan bahwa sejatinya dugaan pungli ini pertama kali diungkap oleh penyidik KPK sendiri pada tahun 2018, namun dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK namun tidak mendapatkan tindak lanjut yang memadai. Permintaan komentar dari Novel mengenai hal ini dibantah oleh Dewas KPK.

“Saat menerima laporan tersebut, Dewas tidak melakukan langkah lanjutan dengan melaporkan kasus itu secara pidana kepada penegak hukum yang berkompeten. Sebab, petugas rutan bukan objek hukum KPK. Respons Dewas baru muncul setelah saya sampaikan hal ini pada podcast saya,” ungkap Novel pada 20 Juni 2023.

“Tanggapannya sama seperti yang disampaikan kemarin oleh Dewas,” ujar Albertina di hari yang sama saat dimintai pendapat mengenai pernyataan Novel.

Terlepas dari itu, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergegas untuk tampil di hadapan publik. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, pada 21 Juni 2023 mengungkapkan permintaan maaf secara terbuka.

“KPK memahami bahwa insan KPK merupakan manusia yang memungkinkan salah. Oleh karena itu, kami membangun integritas KPK secara kelembagaan atau institusional, bukan secara personal. Meskipun setiap insan KPK memiliki potensi untuk melakukan kesalahan, akan tetapi kami menjamin bahwa setiap pelanggaran tersebut akan kami proses sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” papar Ghufron dengan tegas.

Pada awal tahun 2018, terungkap kasus yang memilukan. Menyelidiki insiden ini tidak semata-mata masalah kekurangan bukti, atau kekosongan tersangka. Bahkan, tersangka telah tersebar,” ungkap Ghufron.

Saat ini, terdapat 2 proses yang tengah berlangsung terkait kasus pungutan liar (pungli) di Rutan Markas Antirasuah. Pertama, terdapat proses mengenai etika yang sedang diselidiki oleh Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, terdapat proses hukum pidana yang sedang diusut langsung oleh KPK. Proses-proses ini telah berjalan selama beberapa bulan.

READ  Airlangga Membantah Kabar Dana Luar Negeri ke Bendahara Golkar, Tidak Ada Satu Sen Pun!

Kemudian, setelah berbulan-bulan berlalu, terdapat perkembangan terkait kedua proses yang sedang berlangsung ini. Perkembangan ini menimbulkan kejelasan baru dalam kasus tersebut.

Bagaimana perkembangannya?

93 Individu Diduga Terlibat

Pada bulan Januari 2024, Albertina Ho mengungkapkan bahwa sebanyak 137 orang yang pernah bekerja di Rutan KPK telah menjalani pemeriksaan dari Dewas KPK. Meski demikian, tidak semua dari mereka kemudian ditindaklanjuti secara etis.

“Dari jumlah total 137 petugas yang pernah bertugas di rutan tersebut, sebanyak 93 dianggap memiliki cukup bukti untuk dibawa ke sidang etik. Sementara 44 orang lainnya tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik,” ungkap Albertina.

Dari total 93 orang yang dicurigai terlibat dalam praktik pungutan liar di Rutan KPK, salah satunya adalah Achmad Fauzi yang menjabat sebagai Kepala Rutan atau Karutan. Menurut penjelasan Albertina, seluruh pelaku sedang dalam proses pemeriksaan etik.

“Tindakan pungutan liar bukan hanya dilakukan oleh pihak penerima. Sebagai pemimpin, dia seharusnya memberikan pembinaan yang baik. Hal ini juga termasuk aspek etika, berbagai hal harus diperhatikan,” ujar sumber dalam wawancaranya.

Proses investigasi terhadap 93 orang terkait kasus pungli tersebut telah dibagi menjadi 9 berkas, dengan rincian 6 berkas untuk 90 orang dan sisanya 3 berkas untuk 3 orang lainnya. Nilai total dugaan pungli yang sebelumnya disebut sebesar Rp 4 miliar kini mengalami penambahan. Menurut Albertina, jumlah pungli yang berhasil diungkap mencapai Rp 6,148 miliar.

“Ketika kita merujuk pada uang yang diterima, jumlah minimum penerimaan adalah Rp 1 juta, sedangkan yang tertinggi mencapai Rp 504 jutaan lebih. Itu merupakan jumlah maksimum yang pernah diterima,” ungkap Albertina.

Praktik Pungli di KPK Menjurus pada Kemaluan

Selain laporan dari Dewas KPK, perkembangan terbaru terkait kasus pungli juga terkuak dari pihak KPK. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, pada tanggal 25 Januari 2024, mengungkapkan bahwa kasus ini telah berada dalam tahap penyidikan yang mengindikasikan adanya nama tersangka yang terlibat.

“Kami telah menyetujui bahwa kasus pungli di rutan tersebut akan naik ke tahap penyidikan dan akan diungkap,” ujar Alexander.

Bahkan ternyata periode pungli tersebut telah terjadi sejak tahun 2016, atau tepatnya 8 tahun lalu. Sungguh memalukan.

Menurut Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, “Bahkan sejak tahun sebelumnya 2016-2017 sudah (ada pungli). Mulai kemudian terstruktur sejak akhir 2018-2019 itu sudah mulai terstruktur.”

Dia mengungkap bahwa dalam penyelidikan KPK terungkap adanya pembagian peran di antara pelaku pungli. Peran tersebut dikenal dengan sebutan ‘koordinator’ hingga ‘pengepul’.

Sanksi Etik Dikenakan, Namun Hanya Permintaan Maaf yang Dilontarkan

Akhirnya, pada tanggal 15 Februari 2024, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar sidang putusan etik untuk 90 dari 93 individu yang tersangkut dalam kasus pungutan liar (pungli), yang dibagi ke dalam 6 berkas. Berikut adalah daftar nama 90 individu beserta jumlah uang yang terlibat dalam praktik pungli:

Beberapa nama yang terlibat dalam kasus pungutan liar (pungli) di Rutan Markas Antirasuah adalah:

  • Deden Rochendi: Rp 425.500.000
  • Agung Nugroho: Rp 182.000.000
  • Hijrial Akbar: Rp 111.000.000
  • Candra: Rp 114.100.000
  • Ahmad Arif: Rp 98.600.000
  • Ari Teguh Wibowo: Rp 109.100.000
  • Dri Agung S Sumadri: Rp 102.600.000
  • Andi Mardiansyah: Rp 101.600.000
  • Eko Wisnu Oktario: Rp 95.600.000
READ  Gempa Nias Selatan: Kronologi dan Dampak Bencana Alam

Kasus ini semakin menguatkan upaya pemberantasan pungli di lembaga penegak hukum demi terwujudnya pelayanan publik yang bersih dan transparan.

Sebagaimana diungkap dalam investigasi, dari 90 orang yang terlibat, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) hanya memberikan sanksi kepada 78 orang. Sementara 12 orang lainnya diserahkan ke Sekretariat Jenderal (Setjen) KPK karena tindakan pungli dilakukan sebelum Dewas KPK terbentuk.

Apa saja hukuman yang diberlakukan terhadap pelaku pungli di dalam rutan tersebut?

“Semua terkait dengan Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas No 3/2021. Apa artinya? Yaitu tindakan penyalahgunaan wewenang, jabatan, dan/atau kedudukan yang dimiliki, termasuk penyalahgunaan pengaruh sebagai anggota Komisi dalam menjalankan tugas demi kepentingan pribadi,” ujar Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

“Menyimpulkan dengan memberikan sanksi tegas kepada para terperiksa, yang termasuk permintaan maaf secara terbuka secara langsung,” ujar Tumpak.

Hal ini berarti Dewas telah mengenakan sanksi berupa permintaan maaf kepada 78 orang yang terlibat dalam kasus tersebut. Sementara 12 orang lainnya telah dikembalikan ke Setjen KPK untuk dilakukan proses lebih lanjut.

Tetapi Mengapa Hanya Permintaan Maaf?

Sikap tersebut kemudian menjadi sorotan tajam di masyarakat. Terlebih lagi, disampaikan bahwa permintaan maaf tersebut hanya terjadi di lingkup internal KPK. Menurut Tumpak, selaku Ketua Dewas KPK, sanksi yang diberikan dianggap sebagai sanksi paling berat. Mengapa hal ini terjadi?

Menurut Tumpak, sejak pegawai KPK berubah status menjadi ASN pada 1 Juni 2021, sanksi etik yang dapat diterapkan hanyalah berupa sanksi moral, seperti permintaan maaf. Sanksi terberat adalah meminta maaf secara terbuka dan langsung.

“Setelah bergabung menjadi ASN, hukuman yang diterima tidak lain adalah sanksi moral. Sanksi etik bagi ASN merupakan sanksi moral,” tandasnya.

Masih ingat dengan pernyataan Tumpak terkait mekanisme sanksi di KPK sebelum pegawai menjadi ASN? Menurutnya, dulu Dewas memiliki kewenangan untuk memberikan hukuman berupa pemecatan. Namun, saat ini, pemecatan hanya dapat dilakukan jika pegawai KPK melanggar aturan disiplin ASN. Sanksi disiplin ASN tidak lagi menjadi kewenangan Dewas KPK, melainkan menjadi tanggung jawab Sekjen KPK.

“Disiplin Pegawai Negeri Sipil ini bukanlah kewenangan Dewan Pengawas untuk mengadilinya, melainkan akan ditangani oleh Sekretaris Jenderal ke bawah termasuk Inspektorat juga,” jelasnya.

“Jadi, jika ingin diberhentikan, dipecat, dan sebagainya, keputusan akan diambil berdasarkan pelanggaran disiplin sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021,” tambah narasumber.

Tak terkecuali, Dewas KPK masih menyelesaikan proses etik bagi 3 orang tersangka lainnya yang dijadwalkan untuk menjalani sidang etik pada bulan Maret 2024, termasuk figur ‘Hengki’ yang diidentifikasi oleh KPK sebagai dalang di balik praktik pungutan liar.

“Hengki sebelumnya bekerja sebagai pegawai KPK di bagian PNYD, yaitu pegawai negeri yang ditempatkan dari Kemenkumham. Ia juga pernah bertugas sebagai koordinator keamanan dan ketertiban di Rutan KPK, namun saat ini tidak lagi berada di sini. Saya tidak mengetahui keberadaannya sekarang, kabarnya sudah di pemerintah daerah DKI,” ungkap Tumpak.

Dari informasi yang berhasil dihimpun, Hengki sebelumnya bertugas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Jakarta sebelum akhirnya dipindahkan ke KPK RI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: SEK.2-44.KP.04.04 Tahun 2018 tertanggal 22 Februari 2018.

READ  Firli Diperiksa Lagi dalam Kasus Pemerasan SYL, Apa Kabar?

Seiring promosi Hengki sebagai Pemimpin Nasional Yang Darmawan (PNYD) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini sejak tahun 2022 Hengki telah bergabung sebagai pegawai di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Tumpak dengan tegas menyebut nama Hengki sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam pengaturan penarikan uang dari tahanan di rutan yang disebut sebagai ‘lurah’. Selain itu, para tahanan di rutan juga dikendalikan oleh sosok senior yang akrab disapa dengan sebutan ‘korting’.

Pungutan liar yang terjadi di rutan memiliki berbagai modus. Albertina Ho menyinggung bahwa para tahanan yang mencoba menyelundupkan ponsel ke dalam rutan harus merogoh kocek sebesar Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Tidak hanya itu, untuk sekadar mengisi ulang daya baterai ponsel, para tahanan pun harus membayar sejumlah uang kepada pihak terkait.

“Sekitar Rp 10-20 juta mungkin, selama dia terus menggunakan HP itu, tapi kelihatannya ada pembayaran bulanan yang harus dia lakukan,” ujarnya.

“Biaya untuk mengecas HP-nya sekitar Rp 200 hingga Rp 300 ribu per satu kali,” ungkapnya.

Lebih dari 10 Orang Menjadi Tersangka

Persidangan kini tengah fokus pada aspek hukum pidana. Badan Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan bahwa lebih dari 10 individu telah resmi menjadi tersangka dalam kasus ini, termasuk nama terkenal Hengki.

“Yang berada di Rutan KPK kemarin adalah seorang dengan inisial H yang juga telah disebutkan oleh Dewan Pengawas KPK. Kami memastikan bahwa ini juga merupakan bagian dari proses yang telah saya sampaikan sebelumnya terkait dengan lebih dari 10 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri, dalam konferensi pers pada Jumat (23/2/2024).

Sayangnya, KPK masih merahasiakan identitas tersangka dalam kasus pungutan liar di rutan. Namun, Ali menjelaskan bahwa tidak semua pihak yang terlibat dalam skandal tersebut dapat dituntut secara pidana.

“Tidak semua individu yang akhirnya dihukum secara etik merupakan pelaku kejahatan. Di KPK, seseorang dapat dihukum secara etik jika atasan langsungnya, meskipun tidak ikut serta dalam memperoleh hasil dari tindakan kriminal, namun tidak melakukan pengawasan terhadap bawahannya. Namun, apakah tindakan tersebut dapat dipidana? Umumnya, menurut logika, hal tersebut tidak mungkin,” ungkap Ali.

Kabar terbaru mengungkapkan bahwa KPK telah melakukan penggeledahan terkait kasus kontroversial ini. Serangkaian penggeledahan dilakukan di berbagai rutan yang dikelola langsung oleh KPK, antara lain rutan di gedung Merah Putih KPK, rutan di Pomdam Jaya Guntur, dan rutan yang terletak di gedung ACLC atau pada bangunan lama KPK.

Dari hasil penggeledahan, tim penyidik KPK berhasil menemukan dokumen-dokumen yang terkait dengan penerimaan sejumlah uang. Barang bukti tersebut kemudian disita dan dianalisis secara teliti untuk menjadi bagian penting dalam proses penyusunan berkas perkara.

Tim penyidik berhasil menemukan serta mengamankan sejumlah bukti, termasuk berbagai dokumen catatan terkait dengan penerimaan uang,” ungkap Ali.

Perkembangan kasus pungutan liar ini terus menjadi sorotan. Kita semua menanti dengan antusias untuk mengetahui apakah Komisi Pemberantasan Korupsi akan kembali memberikan kejutan terkait pemeriksaan kasus pungli yang terjadi di lingkungan kantornya sendiri.