indotim.net (Jumat, 01 Maret 2024) – PPLN Jeddah memberikan penjelasan terkait lonjakan jumlah daftar pemilih khusus (DPK) yang melebihi daftar pemilih tetap (DPT). Mereka menegaskan bahwa hal ini disebabkan oleh keberadaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal yang tidak mengikuti proses pendaftaran pemilih saat pemutakhiran DPT.
Masalah mencuat saat saksi dari Partai Gerindra, Mariyatno Jamim, mempertanyakan fenomena yang mengejutkan: jumlah Daftar Pemilih Khusus (DPK) mencapai 9.576 pemilih lebih banyak daripada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang hanya terdiri dari 1.916 pemilih. Mariyatno menilai bahwa perbedaan jumlah yang begitu signifikan ini tidaklah relevan.
“DPK-nya sangat besar, sebanyak 9.576, bagaimana prosesnya sampai akhirnya lebih banyak DPK daripada (DPT), bahkan jumlah DPK lebih banyak dari DPTb,” ujar Mariyatno dalam rapat rekapitulasi nasional di KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2024).
Ketua PPLN Jeddah, Yasmi Adriansyah, menjelaskan bahwa lonjakan jumlah Daftar Pemilih Khusus (DPK) saat proses pemungutan suara di Jeddah bukanlah hal baru, hal serupa juga terjadi pada Pemilu 2019. Yasmi menegaskan bahwa pihaknya telah berupaya sejak awal melakukan sosialisasi secara intensif dengan tujuan agar pemilih yang berada di Jeddah tidak termasuk dalam DPK.
“Memang ketika kami melihat pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya di PPLN Jeddah selalu DPK yang besar jumlahnya,” kata Yasmi.
Sementara itu, menurut pengamat politik, fenomena ini disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang perlu dipahami secara mendalam. Diperlukan langkah-langkah strategis agar permasalahan ini dapat teratasi dengan baik.
“Kami telah berupaya semaksimal mungkin selama penyuluhan, Coklit, sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan oleh KPU untuk mendaftarkan diri. Namun, prosesnya memang tidaklah mudah,” ungkap narasumber.
Sementara itu, Anggota PPLN Jeddah Siti Rahmawati menjelaskan bahwa salah satu penyebab meningkatnya jumlah penduduk keturunan Indonesia (DPK) di Jeddah adalah karena maraknya tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal. Menurut Siti, para TKI ilegal tersebut enggan mendaftarkan diri ke Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena takut terungkap bahwa mereka berada di luar status dokumen resmi dan berisiko untuk di-deportasi.
“Mayoritas dari mereka yang terdaftar sebagai DPK adalah pekerja tidak resmi, termasuk TKI ilegal. Awalnya, mereka enggan mendaftar karena takut akan dilaporkan kepada KJRI dan akhirnya dideportasi,” ungkap narasumber.
Siti menjelaskan bahwa para TKI ilegal akhirnya memilih untuk datang pada hari H pemungutan suara. Dengan begitu, mereka berharap tidak terdeteksi tidak memiliki dokumen resmi.
Menurut penjelasan dari PPLN Jeddah, banyak TKI lebih memilih untuk datang pada hari pendaftaran (H) dengan membawa SPLP atau paspor melalui proses pasporisasi. Mereka dikategorikan sebagai TKI yang tidak terdaftar resmi (undocumented) dan enggan mendaftar sebelumnya, sehingga baru muncul pada hari pendaftaran.
DPK adalah status yang diberikan kepada warga yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hal ini berarti pemilih yang berstatus DPK tetap diperbolehkan untuk memberikan suaranya saat pemilihan berlangsung.
Petugas tetap siap melayani pemilih DPK meskipun demikian. Proses pencoblosan pemilih DPK akan dilakukan setelah seluruh pemilih DPT dan DPTb menyelesaikan pencoblosan mereka.
Kesimpulan
Lonjakan jumlah Daftar Pemilih Khusus (DPK) di PPLN Jeddah disebabkan oleh keberadaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal yang enggan mendaftarkan diri ke Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena takut terungkap status ilegal mereka, sehingga mereka baru muncul pada hari pemungutan suara. Meskipun pihak PPLN telah melakukan sosialisasi intensif, fenomena ini menimbulkan dampak yang perlu penanganan strategis untuk memastikan keberlangsungan proses pemilihan yang adil.