Penyebab Selfie Kontroversial di Berlin

indotim.net (Sabtu, 02 Maret 2024) – Apakah Anda suka berswafoto atau selfie? Ternyata, ada tempat yang ketika Anda melakukannya akan disoroti oleh banyak mata dan dianggap aneh. Di Berlin, Jerman, di mana privasi, tren kehidupan saat ini, dan juga budaya tandingan sangat dihargai, berswafoto menjadi kegiatan yang dianggap egois dan tidak bermanfaat.

Saat itu pukul 01:00 malam waktu setempat. Meski cuaca hujan dan suhu udara mencapai dua derajat Celcius, Kafe Luzia tetap ramai.

Bar di kawasan Kreuzberg yang modern di Berlin, Jerman, itu dipenuhi para pengunjung yang mengenakan mantel besar.

Mereka berbicara dengan suara keras di depan cermin yang dicoret-coret dan diam-diam menyalakan rokok menggunakan lilin-lilin yang menyala.

“Ayo kita berswafoto!” ajak seorang gadis di ujung meja kami, sambil mengulurkan tangannya.

Dia berasal dari Paris dan ini kali pertamanya datang ke ibu kota Jerman. Kami tertawa dan menurutinya, bersiap-siap untuk mengambil gambar.

Kembali ke posisi masing-masing, seorang teman yang telah tinggal di sini selama bertahun-tahun berkata, “Lucu sekali, di sini, di Berlin, tidak ada gunanya berswafoto.”

Ini bukan pertama kalinya saya mendengar hal ini sejak datang ke Berlin enam bulan lalu.

Di sini, saya melihat semakin sedikit orang yang berpose dengan kamera ponselnya di depan umum. Swafoto dianggap sebagai tindakan yang egois dan seenaknya sendiri.

Di kampung halaman saya di Sydney, dengan pelabuhannya yang terkenal di dunia dan pantai-pantai memikat yang tak terhitung jumlahnya, swafoto untuk media sosial terasa seperti kegiatan yang menyenangkan dalam keseharian.

Namun, hal itu tidak berlaku di ibu kota Jerman, Berlin. Di sana, selfie di tempat umum sering dianggap aneh dan diwarnai dengan sentimen egois. Menarik untuk diungkap, bukan?

Di Berlin, fenomena selfie tampaknya menuai polemik yang cukup signifikan. Sebagian masyarakat lokal menilai kegiatan ini sebagai sesuatu yang aneh dan egois.

Bukan rahasia lagi bahwa orang Jerman memiliki penghormatan yang tinggi terhadap privasi mereka. Menurut penelitian tahun 2017 dari Universitas Hohenheim tentang sikap, perilaku, dan privasi, penduduk Jerman “sangat jarang” dalam membagikan informasi pribadi mereka.

Dan ketika mereka membagikan foto selfie mereka di media sosial, seperti swafoto di Instagram, para peneliti menemukan bahwa “hanya sedikit orang Jerman” yang melihat tindakan tersebut bermanfaat.

Persentase tertinggi ditemukan di antara peserta termuda, yakni sebesar 7%, sesuai dengan laporan tersebut.

Selfie, atau foto diri sendiri, telah menjadi tren yang sangat populer di seluruh dunia. Namun, di ibu kota Jerman, Berlin, fenomena selfie sering dianggap kontroversial dan dianggap aneh serta egois oleh sebagian orang.

Banyak warga Berlin merasa terganggu dengan perilaku selfie yang dianggap mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Terutama di tempat-tempat umum seperti taman, museum, atau tempat wisata terkenal.

Meskipun banyak orang yang menilai selfie sebagai bentuk ekspresi diri dan kegiatan yang menyenangkan, namun bagi sebagian penduduk Berlin, selfie dianggap sebagai tindakan yang mengganggu dan tidak menghormati lingkungan sekitar.

Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa selfie juga mencerminkan individualisme yang berlebihan dan keserakahan akan perhatian. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Berlin terkait keberadaan fenomena selfie.

Jadi, meskipun selfie telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya media sosial kita, namun di ibu kota Jerman, fenomena ini menimbulkan debat hangat mengenai etika dan tata krama dalam berfoto diri.

Di Berlin, jarang sekali orang berpose dengan ponselnya di depan umum (Getty Images)

Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Jerman yang lebih menghargai privasi dan space personal. Mereka cenderung menjaga batas antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik dengan lebih ketat. Kebiasaan untuk tidak terlalu menonjolkan diri atau mencari perhatian berlebihan sangat dihargai.

Hingga Tembok Berlin runtuh pada 1989, Berlin terpecah menjadi Republik Demokratik Jerman (GDR) di timur dan Republik Federal Jerman (FRG) di barat.

Pembagian kota ini membawa sejarah panjang yang masih terasa hingga saat ini. Meskipun Berlin kini menjadi satu kesatuan, tapi bekas puing-puing sejarah terlihat jelas di setiap sudutnya.

Oleh karena itu, penduduk Berlin, serta penduduk GDR lainnya, menjadi sasaran pengawasan yang menyeluruh oleh Kementerian Keamanan Negara yang juga dikenal sebagai Stasi. Ini tentu menciptakan suasana ketidaknyamanan bagi warga sehari-hari, terutama dalam hal privasi dan kebebasan individu.

Sejarah ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa timbulnya kekhawatiran di kalangan masyarakat saat ini terkait dengan privasi online negara.

READ  Aktivis Kreatif Bangun Rumah Pohon Tolak Ekspansi Pabrik Tesla di Jerman

Masalahnya tidak semata pada masalah privasi dan keamanan data. Orang-orang di Berlin juga merasa bahwa selfie di tempat umum adalah sebuah tindakan yang egois. Mereka merasa bahwa dengan melakukan selfie di tempat umum, seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Hal ini dianggap sebagai sikap yang tidak menghormati orang lain dan cenderung ingin menonjolkan diri sendiri.

Berbagai penduduk Berlin yang saya wawancarai mengungkapkan bahwa larangan berswafoto juga tercermin dalam kehidupan malam di klub-klub terkenal.

Klub malam ini berusaha menjaga kerahasiaan dari dunia online dan mendorong orang-orang yang berpesta untuk fokus bersenang-senang.

Seiring perkembangan teknologi dan media sosial, praktik selfie telah menjadi bagian dari budaya masa kini. Namun, di Ibu Kota Jerman, selfie dianggap sebagai perilaku yang aneh dan egois oleh sebagian masyarakat setempat.

Saya terkejut ketika pertama kali tiba di kota dan melihat tanda-tanda dilarang memotret di hampir semua klub yang saya kunjungi.

Meskipun asalnya saya berasal dari Indonesia, saya tidak akan pernah berpikir bahwa selfie bisa menjadi perhatian besar di sebuah kota di Eropa, terutama di ibu kota Jerman.

Namun, kini saya sudah terbiasa dan menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa mengambil foto di dalam klub. Saya harus menyimpan ponsel pintar atau menempelkan stiker di lensanya.

Jelas, aturan ini membuat sebagian orang merasa kesal dan kecewa. Mereka berpendapat bahwa selfie merupakan salah satu cara untuk menyimpan kenangan saat sedang bersenang-senang bersama teman.

Hal ini disebabkan oleh budaya klub di Berlin yang tidak hanya menjadi tempat bagi beberapa musik tekno terbaik di dunia, tetapi juga tempat di mana orang bebas berperilaku tanpa terlalu memikirkan norma sosial yang berlaku di tempat umum.

Klub ini khusus sebagai tempat untuk menikmati gerakan budaya alternatif, termasuk oleh komunitas LGBTQI+.

Berghain (yang secara luas terlihat memperjuangkan aturan larangan berfoto) dan Sisyphos, adalah klub paling terkenal yang tidak menyukai adanya fotografi di Berlin.

Selain kedua klub tersebut, sikap anti-selfie juga dipegang teguh oleh sebagian besar penduduk lokal di Berlin. Mereka merasa bahwa mengabadikan momen dengan selfie di tempat-tempat umum, terutama yang dianggap sebagai simbol budaya dan sejarah, adalah tindakan yang kurang sopan dan tidak menghargai lingkungan sekitar.

Contoh menonjol lainnya adalah KitKat, klub yang menganut prinsip sex-positive di Mitte. Para tamu di sini didorong untuk mengenakan pakaian kulit paten, glamor, ataupun pakaian dengan fetish tertentu, dan lain sebagainya. Mereka juga diperbolehkan untuk berhubungan seks di lokasi tersebut.

“Ini bukan misteri besar,” ungkap akun resmi KitKat saat dihubungi melalui Instagram terkait kebijakan larangan foto di dalam tempat tersebut, kecuali untuk acara-acara tertentu.

Dalam konteks sebuah klub malam di ibu kota Jerman, keputusan untuk melarang selfie dapat dipahami dengan baik. Seorang juru bicara klub menjelaskan, “Larangan ini di satu sisi merupakan perlindungan terhadap tamu kami, dan perlindungan terhadap atmosfer dan konsep klub. Tanpa larangan tersebut, sebagian besar orang mungkin akan berperilaku berbeda.”

Dalam pandangan banyak orang, mengambil selfie di tengah-tengah Ibu Kota Jerman bukanlah sekadar tindakan biasa. Hal ini dipandang aneh dan dianggap sebagai tindakan yang egois.

Singkatnya, selfie di tempat tersebut dianggap sebagai cara bagi individu untuk memenuhi keinginan pribadinya tanpa memperhitungkan dampak dari lingkungan sekitar.

Sebenarnya, fenomena selfie di Ibu Kota Jerman tidak sepenuhnya merespons positif. Meskipun di satu sisi aksi selfie menjadi bagian dari kebiasaan di era digital ini, namun di sisi lain, banyak yang menganggapnya aneh dan dianggap sebagai bentuk pengekspresian diri yang terlalu egois.

Sebuah survei kecil yang dilakukan oleh sebuah lembaga riset menunjukkan bahwa mayoritas warga Berlin merasa risih dengan fenomena selfie, terutama ketika dilakukan di tempat-tempat umum yang ramai pengunjung. Mereka berpendapat bahwa seharusnya lebih memperhatikan orang di sekitarnya daripada hanya fokus pada diri sendiri.

Hal ini menimbulkan perdebatan di masyarakat, antara mereka yang menganggap selfie sebagai media untuk berbagi momen dan mereka yang melihatnya sebagai tindakan egois yang menunjukkan kurangnya kesadaran akan lingkungan sekitar.

Marta Lodolr, seorang seniman pertunjukan, yang sudah sembilan tahun menjadi penduduk Berlin, mengatakan ia percaya bahwa untuk sebuah kota besar di Eropa, Berlin terasa seperti kota kecil dengan “tingkat kebebasan yang tinggi” untuk menikmati momen di ruang kolektif.

“Ada begitu banyak hal yang bisa dialami di luar dunia online,” kata Jessica sambil mengernyitkan dahi. “Saya lebih suka menyaksikan keindahan alam dan arsitektur secara langsung daripada sibuk selfie di mana-mana.”

READ  Keindahan dan Perbedaan Edelweis Rawa yang 'Dirusak' di Ranca Upas dengan Edelweis Gunung yang Menakjubkan

Dia menambahkan bahwa bukan hanya klub yang meminta pelanggannya untuk tidak mengambil foto. “[Di] tempat lain juga, ini demi menghormati orang yang masuk, atau demi menghormati tempat itu sendiri, swafoto tidak diperbolehkan.”

Sejauh pandangan mata memandang, keinginan untuk merayakan momen terus terlihat jelas di berbagai sudut kota tersebut.

Dalam kunjungan rutin saya di musim panas, untuk berjemur di pinggir kolam Badeschiff yang populer di Sungai Spree, saya melihat tanda di pintu masuk yang melarang fotografi.

Meskipun sebagian besar pengunjung menghormati aturan ini, ada beberapa turis yang tetap mengambil gambar selfie dengan latar belakang kota Berlin. Fenomena ini menuai kontroversi di antara warga lokal dan wisatawan lainnya.

Lalu, berbeda dengan acara musik di banyak kota lain, di Berlin hampir tidak pernah terlihat kerumunan orang memamerkan kameranya untuk merekam penampilan musisi saat konser berlangsung.

Selain itu, meskipun tidak ada larangan langsung, Berlin adalah rumah bagi ruang-ruang pasca-perang yang sangat khidmat seperti Peringatan Orang Yahudi Eropa yang Dibunuh di Mitte di mana fotografi dianggap sangat tidak pantas, bahkan dilarang.

Wisatawan di Berlin

Selfie telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat modern. Namun, di ibu kota Jerman, Berlin, selfie dianggap sebagai perilaku yang aneh dan egois oleh sebagian orang. Mengapa hal ini terjadi?

Di tengah kemeriahan kehidupan di ibu kota Jerman, Berlin, terdapat sebuah paradoks yang menarik perhatian. Meskipun kota ini kaya akan tempat bersejarah pasca Perang Dunia, namun selfie di lokasi-lokasi ini justru dianggap kontroversial.

Beberapa masyarakat lokal mengkritik tindakan selfie di area bersejarah sebagai bentuk perilaku yang tidak hormat terhadap masa lalu yang kelam. Mereka berpendapat bahwa mengabadikan momen di lokasi-lokasi bersejarah seharusnya dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa hormat, bukan sebagai alat untuk eksibisionisme dan pencitraan diri semata.

“Di London, saya melihat lebih banyak orang yang mengunggah foto tentang kegiatan sehari-hari,” kata Claudia Hampton, seorang fotografer dan pembuat film dokumenter yang tinggal di Berlin dan berasal dari London.

Saat ditanya mengenai fenomena selfie yang dianggap aneh dan egois di ibu kota Jerman, Claudia menjelaskan, “Berdasarkan pengamatan saya, masyarakat Berlin cenderung lebih menekankan pada kehidupan sehari-hari dan interaksi sosial yang lebih dalam. Selfie mungkin dianggap aneh karena dianggap sebagai tindakan mengutamakan diri sendiri secara berlebihan.”

Dia berpendapat bahwa kebiasaan mendokumentasikan diri dalam kehidupan sehari-hari di Berlin dianggap kurang bermanfaat, berbeda dengan praktik yang terjadi di ibu kota Inggris.

“Saat [seorang teman] berada di pub dengan segelas bir [di Inggris], atau bersama anjingnya, Anda akan melihatnya di story Instagram mereka. Tapi, saya jarang melihatnya [di Berlin].”

Hampton juga menyatakan bahwa selain pandangan bahwa penduduk Berlin akan merasa tidak pantas atau sangat egois jika mengunggah aktivitas sehari-hari mereka, berswafoto di sini juga bisa terasa canggung.

“Orang-orang akan berpikir itu buruk tapi kadang-kadang saya melakukannya.”

Selfie, fenomena yang mungkin telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi banyak orang. Namun, di ibu kota Jerman, Berlin, selfie dianggap sebagai perilaku yang aneh dan egois oleh sebagian masyarakat lokal maupun wisatawan yang lebih concern terhadap etika sosial.

Saya kemudian mulai mempertanyakan apakah konsep privasi dan kebebasan dalam fotografi di Berlin mulai terkikis akibat meningkatnya tekanan yang dirasakan oleh para profesional yang aktif berkecimpung di dunia online di kota-kota lain?

“Pada dasarnya saya berpikir bahwa kota ini menjadi lebih [seperti] kota-kota Eropa lainnya,” kata Lodolr, mengacu pada apa yang dilihatnya sebagai pergeseran bertahap dari sikap anti-kapitalis di Berlin.

Sebelumnya, tingkat kebebasan seperti ini, katakanlah, tersebar dalam hal harga, harga sewa, dan komunitas. Semakin banyak investor yang tertarik membeli bangunan di kota.

Wisatawan berswafoto di Gerbang Brandenburg, Berlin.

Selfie atau swafoto telah menjadi budaya populer di seluruh dunia, termasuk di ibu kota Jerman, Berlin. Namun, mengapa tindakan selfie di Berlin seringkali dianggap aneh dan dihubungkan dengan sikap egois?

Wisatawan berswafoto di Gerbang Brandenburg, Berlin (Getty Images)

Selfie telah menjadi aktivitas yang umum dilakukan oleh banyak orang di berbagai tempat, termasuk saat sedang berlibur. Namun, di beberapa destinasi wisata tertentu, selfie dapat dianggap sebagai perilaku yang aneh dan egois.

READ  Nikaragua Gugat Jerman ke ICJ: Bantuan 'Genosida' Israel

Memang, menurut Masur, masalah privasi di Jerman semakin sejalan dengan negara-negara lain.

“Salah satu asumsi saya adalah hal ini ada hubungannya dengan kemajuan globalisasi. Kita lebih terpapar dengan orang lain, yang berarti [konvergensi] pada tingkat tertentu.”

Memahami budaya dan norma sosial suatu tempat sangat penting saat melakukan perjalanan ke luar negeri. Salah satu contoh yang menarik adalah fenomena selfie di ibu kota Jerman yang dianggap oleh sebagian orang sebagai perilaku aneh dan egois.

Masih di tengah polemik seputar budaya selfie, Amelie Stanescu, seorang influencer sosial fesyen dan pengusaha perempuan yang berbasis di Berlin, seringkali menuai kontroversi dengan kebiasaannya mengunggah swafotonya ke 64.000 pengikut di Instagram-nya.

“Orang-orang di Berlin banyak yang memandang [dia saat berswafoto],” katanya kepada saya sambil minum kopi di kafe Prenzlauer Berg yang trendi, saat kami berbincang tentang perbedaan sikap sosial terhadap swafoto antara kota tempat dia tinggal selama sembilan tahun dan kampung halamannya di Italia.

Menurutnya, budaya swafoto di Berlin sangat berbeda dibandingkan dengan di Italia. Orang-orang di Berlin cenderung melihatnya sebagai perilaku yang aneh dan egois. Hal ini membuatnya merasa sedikit terasing meskipun sudah lama tinggal di sana.

Dia menjelaskan, Berlin masih berada pada fase di mana mengambil foto diri di tempat umum masih dianggap sebagai perilaku yang tidak lazim.

“Menurut saya mereka memandang Anda saat swafoto bukan karena Anda melakukan sesuatu yang buruk. Saya pikir mereka hanya menatap untuk melihat apa yang Anda lakukan.”

Namun, meskipun ada kecanggungan, narasumber tetap berswafoto di depan umum untuk akun media sosial pribadinya dan demi sukses dalam pekerjaannya.

“Saya melakukannya untuk pekerjaan dan saya menikmatinya,” katanya. “Pada titik hidup dan karier saya saat ini, saya tidak dapat memikirkan atau mempertimbangkan perasaan orang lain ketika saya bekerja.”

Ini adalah sikap yang dapat dimengerti dan praktis di dunia yang semakin internasional, yang sering kali memerlukan keterbukaan diri secara visual untuk mencapai kesuksesan.

Dalam budaya Jerman, selfisasi dianggap sebagai bentuk individuisme berlebihan yang cenderung egois. Hal ini dikarenakan sikap untuk membuat segala hal menjadi tentang diri sendiri dan mengabaikan kebersamaan dalam komunitas.

Jadi, apakah perubahan ini akan menghilangkan keengganan kota ini untuk berswafoto?

Saya harap tidak.

Meskipun selfie telah menjadi bagian dari budaya populer di berbagai belahan dunia, namun di Ibu Kota Jerman, Berlin, praktek ini justru dianggap kontroversial karena dianggap sebagai tindakan yang aneh dan egois. Banyak pendapat yang berpendapat bahwa fenomena selfie di tempat-tempat bersejarah dan berbudaya, seperti Berlin, seharusnya dihindari karena dianggap tidak menghormati nilai dan keaslian dari tempat tersebut.

Saya semakin menyukai sikap Berlin dalam memandang kebebasan.

Memang, Berlin adalah tempat yang unik di mana setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang kebebasan pribadi. Namun, ketika tren selfie mulai merebak di ibu kota Jerman ini, muncul pandangan yang bertentangan dengan nilai kebebasan yang selama ini diyakini.

Saya tidak lagi merasakan adanya tekanan untuk mendokumentasikan acara malam apapun yang saya hadiri.

Memang, zaman sudah berubah. Tidak ada lagi kebutuhan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa saya juga bisa bersenang-senang.

Atau, apakah hal itu hanya dilakukan untuk sekadar membuktikan kepada orang lain bahwa saya sedang benar-benar menikmati momen tersebut?

Sebaliknya, waktu-waktu saya, terutama malam-malam, menjadi momen berharga untuk menciptakan kenangan yang tak terlupakan, bukan hanya sebagai tempat untuk mengabadikan gambar.

Versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul The European city where selfies are ‘awkward’ dapat Anda baca di BBC Travel.

Salah satu fenomena menarik yang muncul di ibu kota Jerman adalah anggapan bahwa selfie di sana dianggap aneh dan egois. Para turis yang berkunjung sering kali merasa canggung saat mengambil foto diri sendiri di berbagai sudut kota.

Berfoto selfie merupakan tren populer di seluruh dunia, tetapi di Berlin, ibu kota Jerman, tindakan ini dianggap kontroversial. Banyak penduduk lokal merasa terganggu dengan turis yang terlalu sering ber-selfie di lokasi publik.

Sebagian besar orang Jerman menganggap berfoto selfie sebagai tindakan individualistik yang terlalu fokus pada diri sendiri. Hal ini bertentangan dengan budaya kolaboratif dan menghargai kerja tim yang sangat dihargai di Jerman.

Para kritikus juga menyoroti bahwa ber-selfie di tempat-tempat penting seperti Monumen Holocaust di Berlin dianggap tidak pantas dan kurang menghargai sejarah yang kelam.