Sidang Isbat 1 Ramadan 1445 H: Sejarah dan Maknanya, Ikuti Perkembangan!

indotim.net (Minggu, 10 Maret 2024) – Sidang isbat untuk menetapkan awal Ramadan 1445 H akan diselenggarakan hari ini, Minggu (10/3/2024) oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Adib, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syatian (Urais Binsyar) Ditjen Bimas Islam, menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, sidang isbat melibatkan banyak pihak.

Seperti yang dilakukan oleh Tim Hisab dan Rukyat Kementerian Agama, hadir pula perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Sidang isbat dilakukan berdasarkan data hisab (informasi) dan hasil pemantauan rukyatulhilal (korfirmai) yang dilakukan Tim Kemenag pada 134 lokasi di seluruh Indonesia dan hasilnya disiarkan secara langsung kepada masyarakat.

Sidang isbat awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah telah menjadi momen yang dinantikan oleh masyarakat sejak era 1950-an. Sejarah dan maknanya dapat diungkap melalui penjelasan resmi dari Kementerian Agama Republik Indonesia.

Sejarah Sidang Isbat di Indonesia

Sebagai negara dengan mayoritas masyarakat beragama Islam, penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri mengalami berbagai perubahan.

Sebelum kemerdekaan Indonesia, penentuan awal puasa dan lebaran disepakati oleh kepala adat setempat sehingga sering kali berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 4 Januari 1946, Kementerian Agama mulai ditugaskan untuk menetapkan tanggal pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, keputusan tersebut tidak selalu diikuti oleh seluruh umat Islam.

Hingga akhirnya, sidang isbat pertama dilakukan pada jangka waktu sekitar 1950 hingga 1972-an. Proses sidang isbat diketahui sudah ada sejak masa Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 47 Tahun 1963 tentang Perincian Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.

READ  {Paylater Akulaku Bisa Beroperasi Setelah Sanksi OJK Dicabut}

Pada pasal 26, diuraikan 47 tugas Departemen Agama, yakni “menetapkan tanggal-tanggal hari raya yang ditetapkan sebagai hari libur.” Dengan begitu, mekanisme penetapan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha kemudian dilembagakan menjadi sidang isbat yang dilakukan Kementerian Agama dengan mengundang beberapa pihak yang berkaitan.

Pada hari yang ditentukan, Sidang Isbat 1 Ramadan 1445 H akhirnya digelar. Salah satu pihak yang turut ambil bagian dalam sidang tersebut adalah Badan Hisab Rukyat (BHR) yang telah dibentuk sejak 16 Agustus 1972.

Sejarah BHR tidak lepas dari lika-liku perjalanannya. Pernah di masa pemerintahan Presiden Gus Dur, BHR menghadapi cobaan besar ketika hampir dibubarkan. Namun, dengan tekad dan keuletan, BHR berhasil bertahan dan terus melanjutkan perannya dalam menentukan awal bulan Ramadan.

Penyebabnya karena dianggap tidak mampu memberikan pengaruh pada penyeragaman awal bulan Qamariyah dan pelaksanaan hari raya. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, BHR kembali difungsikan dengan penambahan anggota keparakan dari bidang astronomi.

Dalam perkembangan lanjutan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa No 2 Tahun 2004 mengenai Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Fatwa tersebut menandai penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan metode rukyah dan hisab yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama dan berlaku secara nasional.

Pelaksanaan penetapan tersebut melibatkan berbagai pihak, antara lain:

  • Pakar astronomi
  • Ahli ilmu falak dari berbagai ormas Islam
  • Duta Besar Negara Sahabat
  • Ketua Komisi VIII DPR RI
  • Perwakilan Mahkamah Agung
  • Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
  • Perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
  • Perwakilan Badan Informasi Geospasial (BIG)
  • Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
  • Perwakilan Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB)
  • Perwakilan Planetarium Jakarta
  • Pakar Falak dari Ormas-ormas Islam
  • Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama
  • Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam dan Pondok Pesantren
READ  Ma'ruf soal Kang Quraish Shihab dan Shinta Wahid: Mengajak Kawal Keutuhan Bangsa

Seluruh pihak akan melakukan musyawarah yang hasilnya akan ditetapkan dan diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri Agama agar mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani masyarakat.

Sebelumnya, Adib menjelaskan bahwa praktik isbat tidak hanya dilakukan di Indonesia. Negara-negara Arab juga mengadakan isbat setelah menerima laporan rukyat dari lembaga resmi pemerintah atau perorangan yang sudah diverifikasi dan diakui keabsahannya oleh Majelis Hakim Tinggi.

Indonesia memiliki perbedaan dalam menggunakan mekanisme musyawarah dengan seluruh peserta sidang isbat. Berbeda dengan negara lain, Indonesia bukanlah negara agama maupun negara sekuler. Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak dapat sepenuhnya menyerahkan urusan agama kepada perseorangan atau golongan.

Makna Isbat dan Hilal dalam Sidang Isbat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), isbat berarti penetapan dan penentuan. Sehingga, sidang isbat berarti sidang yang dilakukan untuk menetapkan atau menentukan awal bulan dalam kalender Hijriyah.

Sidang ini terkait dengan hasil rukyatul hilal, tetapi apa sebenarnya rukyatul hilal itu? Menurut arsip, Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) menjelaskan bahwa hilal adalah salah satu dari lima fase bulan, yakni bulan baru.

Pada tahap ini, posisi bulan dan matahari sama-sama berada di satu garis edar, menciptakan fenomena bulan baru dalam penanggalan Hijriah. Bulan baru inilah yang menjadi penanda pergantian bulan pada hari berikutnya.

Untuk membedakan hilal dengan bulan biasa dapat terlihat melalui bentuk bulan itu sendiri. Jika bulan berbentuk huruf u dengan posisi menghadap titik matahari itu bisa dipastikan hilal. Tetapi jika bentukan cahaya terlihat seperti huruf n atau dengan posisi miring berarti bulan biasa.

Agar dapat ditetapkan sebagai awal Ramadan, hilal harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu ketinggian 3 derajat, elongasi 6,4 derajat, dan umur 8 jam. Penetapan ini dilakukan melalui kesepakatan Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021.

READ  Jokowi Ungkap Potensi IKN di Hadapan Pengusaha Brunei: Magnet Ekonomi Baru yang Memikat