Muslim di Jerman Alami Pelecehan Setelah Serangan Hamas: Waspada terhadap Keberagaman

indotim.net (Rabu, 17 Januari 2024) – Pada Minggu setelah peristiwa 11 September, terasa seperti sedang dibawa kembali ke momen tersebut,” ujar Suleman Malik, seorang Muslim yang tinggal di negara bagian Thüringen di bagian timur Jerman, saat ia mengingat serangan teror yang menimpa Amerika Serikat pada tahun 2001.

Seorang Muslim di Jerman mengalami perundungan setelah terjadi serangan oleh Hamas.

Menurutnya, ia sering merasa seperti “digiring ke arena sirkus dengan hidung yang diikat tali.”

Malik mengungkapkan bahwa umat Islam di seluruh Jerman mengalami diskriminasi baru-baru ini sejak dimulainya perang Israel melawan Hamas. Perempuan yang mengenakan jilbab sering kali menjadi korban perundungan, sedangkan komunitas Muslim secara keseluruhan menerima surat berisi ujaran kebencian.

“Yang hilang,” katanya kepada DW, “adalah orang-orang yang berkata, ‘kalian muslim seharusnya berada di sini bersama kami, kami akan melindungi Anda.'”

Pria kelahiran Pakistan berusia 35 tahun ini adalah seorang muslim dari komunitas Ahmadiyah yang terintegrasi dengan baik. Dia fasih berbahasa Jerman, bekerja sebagai konsultan personalia dan merupakan wakil walikota di Reith, dekat kota Erfurt. Selama beberapa tahun terakhir, dia juga terlibat dalam pembangunan masjid kecil di kawasan industri di pinggiran kota.

“Muslim wajib melindungi kehidupan Yahudi”

Malik mengatakan orang-orang yang merasakan dan mengungkapkan empati atas penderitaan warga sipil Palestina yang tidak bersalah di Gaza, “dianggap sebagai antisemit, meskipun tidak semua orang Yahudi menganggap pemerintah Israel melakukan hal yang benar.”

Seorang Muslim di Jerman mengalami perundungan setelah serangan Hamas terhadap Israel. Dalam situasi tersebut, dia mengutuk tindakan teror yang dilakukan oleh Hamas terhadap Israel. Dia juga mengambil ayat Alquran yang melarang serangan terhadap situs keagamaan orang lain sebagai justifikasinya.

READ  Rekor Penumpang TransJ: Tumbuh 47% Jadi 1,1 Juta per Hari pada 2023!

Seorang muslim di Jerman mengalami perundungan setelah serangan yang dilakukan oleh Hamas di Palestina. Dalam situasi ini, penting bagi kita untuk sepakat bahwa sebagai muslim, kita memiliki tanggung jawab untuk melindungi kehidupan orang Yahudi.

Masyarakat Jerman harus menganggap umat Islam sebagai mitra dalam upaya melawan antisemitisme. Malik juga berbicara kepada DW tentang negara bagian Thüringen dan aktivitas partai ultra kanan AfD, yang oleh badan intelijen dalam negeri Jerman disebut sebagai organisasi ekstremis sayap kanan.

“Di Jerman, terdapat satu partai yang secara terang-terangan menjadikan Islamofobia sebagai bagian dari program politiknya. Saat ini, partai ini bahkan mendapatkan persetujuan dari hampir sepertiga pemilih dalam jajak pendapat,” ujar dia. Dia juga melaporkan bahwa kelompok ekstremis ultrakanan melakukan protes di depan masjid komunitasnya setiap minggu.

Sentimen anti-muslim di Jerman

Pada Juni 2023, setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, para ahli mempresentasikan studi komprehensif bertajuk “Sentimen Anti-Muslim — Jerman Menarik Neraca”. Pemerintah federal Jerman menugaskan Dewan Pakar Independen Sentimen Anti-Muslim (UEM) untuk menyusun laporan tersebut setelah terjadi serangan bermotif rasial di kota Hanau. Pada Februari 2020, seorang ekstremis kanan membunuh sembilan orang berlatar belakang migran.

Sebuah studi menyoroti tingginya sentimen anti-Muslim di masyarakat Jerman yang sangat mengkhawatirkan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah tingkat kekurangpengetahuan kita tentang masalah ini. Selama ini, sering kali tindakan kebencian terhadap umat Muslim jarang dilaporkan sebagai kejahatan.

Laporan ini juga mengungkapkan bahwa “sentimen anti-Muslim bukanlah fenomena yang terjadi secara terpisah di masyarakat, melainkan tersebar luas di sebagian besar penduduk Jerman, dan tetap tinggi selama bertahun-tahun.”

Namun setelah serangan teror Hamas di Israel pada tanggal 7 Oktober 2023, di mana militan tersebut menewaskan 1.200 orang dan menyandera 240 orang lainnya, kejadian ini berdampak negatif pada Muslim di Jerman. Terlebih lagi, beberapa aksi massa di jalan-jalan Jerman merayakan serangan tersebut dan bahkan menolak hak Israel untuk hidup, sayangnya penelitian ini kurang mendapat perhatian yang cukup. Hasil penelitian ini bahkan tidak dibahas dalam “Konferensi Islam Jerman” yang diadakan oleh pemerintah federal di Kementerian Dalam Negeri pada bulan November yang lalu.

READ  Haryara Tambunan Berjanji Perjuangkan Kesejahteraan WNI di Luar Negeri

Malik mengungkapkan rasa frustrasinya karena minimnya statistik terkait serangan anti-Muslim di Jerman. Sebagai contoh, statistik terbaru yang melacak kejahatan anti-Muslim selama beberapa bulan terakhir tahun 2023 belum dirilis. Namun, staf di pusat informasi menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan yang signifikan.

“Terdapat komunitas Muslim yang besar di Jerman yang senang tinggal di sana dan memiliki nilai-nilai sosial yang sejalan dengan negara Jerman,” kata Suleyman Bag, seorang mantan jurnalis di Berlin. “Namun, kita telah kehilangan keadaan normal yang seharusnya ada.”

Jangan Tergesa dalam Mengenali Bentuk Diskriminasi Lainnya

Menurut Even Güvercin dari Alhambra Society, kita tidak boleh hanya fokus pada sentimen anti-Muslim, karena itu hanya mewakili salah satu bentuk kebencian. Meskipun sentimen anti-Muslim “memang merupakan masalah penting,” kita perlu menghindari “perlombaan sebagai korban,” di mana satu bentuk kebencian dapat membuat kita buta terhadap jenis kebencian dan diskriminasi lainnya.

Seorang narasumber menyatakan bahwa jika komunitas muslim tidak berani membahas masalah internalnya secara terbuka, seperti antisemitisme dan kebencian terhadap Yahudi, maka mereka tidak akan dapat melawan diskriminasi yang mereka alami.

“Politisi dan masyarakat harus lebih serius dalam menghadapi peningkatan rasisme,” katanya.

Itulah sebabnya laporan Sentimen Anti-Muslim serta temuan dan rekomendasi yang diberikan kepada para politisi sangat penting,” kata Even Güvercin. Ia menambahkan bahwa para politisi pada akhirnya harus menghadapi masalah rasisme dengan lebih serius daripada sebelumnya.

(rs/hp)

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Yuk, berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite secara gratis. Dapatkan pengetahuan terbaru di pertengahan minggu untuk membuat obrolan semakin menarik!