Jepang dan Korea Utara Berupaya Pertemuan Antar Pemimpin di Pyongyang

indotim.net (Jumat, 01 Maret 2024) – Jepang dan Korea Utara mulai mendekat dalam upaya mempertemukan kedua kepala negara, Kim Jong Un dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida. Perkembangan ini diumumkan oleh Kishida dalam sidang Parlemen Jepang pada awal bulan Februari. Ia mengungkapkan keinginannya untuk menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi dengan pemimpin otoriter tersebut dan menyatakan telah memberikan instruksi untuk memulai pembicaraan di tingkat pemerintah antara Tokyo dan Pyongyang.

Pertemuan tersebut akan menjadi yang pertama setelah mantan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi mengunjungi Pyongyang pada bulan Mei 2004. Saat itu, Koizumi mencapai kesepakatan dengan almarhum Kim Jong Il, ayah dari Kim Jong Un, terkait pembebasan lima warga Jepang yang diculik oleh agen rahasia Korut.

Setelah hampir 20 tahun, Kim Jong Un dan Kishida berharap dapat saling memetik keuntungan politik dari satu sama lain. Para analis telah memberikan peringatan tentang tingginya hambatan politik yang mungkin menghambat terlaksananya pertemuan ini.

Kishida berupaya untuk membebaskan 12 warga negara Jepang yang diculik oleh Korea Utara pada tahun 1970-an dan 1980-an. Meskipun begitu, angka tersebut diperdebatkan oleh aktivis hak asasi manusia yang meyakini bahwa jumlah sandera tersebut mencapai lebih dari 100 orang.

Bagi Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, pembebasan sandera Jepang di Korut bukan hanya menjadi isu kemanusiaan, namun juga memiliki dampak politis yang signifikan. Hal ini diyakini dapat memperkuat elektabilitasnya jelang pemilihan umum nasional yang akan digelar setahun dari sekarang.

Komunikasi langsung dua arah

Pertemuan dengan Kim Jong Un diharapkan bisa menciptakan jalur komunikasi langsung antara Tokyo dan Pyongyang. Tautan diplomatik tersebut dinilai berguna bagi Jepang untuk lebih memahami ambisi nuklir Korut.

READ  Kelakar Ganjar: Bikin BUMN Nggak Penting Kalau Swasta Bisa

Pertemuan ini memberikan peluang bagi Kishida untuk menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin nasional di panggung global dan membuat kemajuan diplomatik untuk Jepang,” kata Robert Dujarric dari Institut Studi Asia Kontemporer di Universitas Temple di Tokyo. “Daripada terus-menerus dikritik karena skandal keuangan yang membuat partainya terjebak oleh urusan domestik saat ini,” imbuhnya.

“Secara realistis, beberapa dari korban penculikan telah meninggal dunia dan tidak akan pernah kembali lagi. Kishida mungkin membenci apa yang dilakukan Korea Utara, namun besar manfaatnya jika kita terhubung langsung dengan Kim,” kata Dujarric kepada DW.

Upaya Kishida untuk bertemu Kim mendapat dukungan dari keluarga korban. Pertemuan asosiasi kerabat orang hilang di Tokyo pada Minggu, (25/2), mengeluarkan resolusi yang akan mendukung Jepang untuk mencabut sanksi terhadap Korea Utara jika hal itu berarti para korban penculikan diizinkan untuk pulang.

“Ambisi Kim dalam setiap pertemuan sangat berbeda,” kata Toshimitsu Shigemura, seorang peneliti Korea Utara di Universitas Waseda, Tokyo.

“Posisi Korea Utara rumit,” ujarnya. “Mereka sangat berharap bahwa Donald Trump memenangkan pemilu AS pada bulan November karena berharap dia akan mencabut sanksi terhadap Korut. Tapi, sebelumnya mereka ingin menunjukkan kemampuan bernegosiasi dengan Jepang dan membangun hubungan dengan negara yang selama ini mereka katakan memusuhi Korea Utara.”

Kelonggaran Sanksi?

“Jika Korut kembali mendekat dengan Jepang, artinya Kishida akan mencabut sejumlah sanksi terhadap Pyongyang,” kata Shigemura. Pencabutan sanksi paling ringan adalah mengizinkan kapal feri Korea Utara untuk kembali beroperasi antara Wonsan di pantai timur Korea Utara dan kota Niigata di Jepang utara.

Dalam upaya mendukung diplomasi antara Jepang dan Korea Utara, Sekretaris Jenderal PBB, Stéphane Dujarric, menyarankan bahwa ada motif lain di balik keterbukaan Korea Utara dalam menyambut kunjungan perdana Menteri Luar Negeri Jepang, Fumio Kishida.

READ  Jerman Dikepung oleh Protes Massal Menentang Kelompok Ultrakanan: Keharmonisan di Tepi Jurang

Menyusul kehadiran perdana menteri Jepang di Korea Utara, timbul dugaan bahwa Korea Selatan mungkin tidak setuju dengan langkah tersebut.

Ada kecurigaan bahwa Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara, berencana untuk mempermainkan hubungan antara Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Untuk menghindari kecurigaan di Seoul, Kishida harus bertemu dengan Presiden Yoon Suk-yeol setelah dari Pyongyang. Sebaliknya, AS telah menyatakan akan “menerima” dialog antara Jepang dan Korea Utara, dan bahwa Washington akan melanjutkan upaya membangun komunikasi langsung dengan Pyongyang, meskipun ditolak dengan tegas oleh Korea Utara.

Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara) dan Jepang sedang berupaya menjadwalkan pertemuan antarpemimpin di Pyongyang untuk membahas sejumlah isu penting. Kedua negara ini telah lama memiliki hubungan yang tegang, namun langkah ini diharapkan dapat membuka jalan menuju kerjasama yang lebih baik di masa depan.

Upaya untuk pertemuan antarpemimpin antara Jepang dan Korea Utara sedang digencarkan, dengan harapan agar pertemuan tersebut dapat terlaksana di Pyongyang.

Langkah ini merupakan bagian dari upaya diplomasi untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara yang telah terhenti selama beberapa waktu.

Kedua pihak telah menunjukkan kesediaan untuk duduk bersama dalam sebuah pertemuan, yang diharapkan dapat membuka jalan menuju kerja sama yang lebih baik di masa depan.

Selain itu, pertemuan antarpemimpin ini diharapkan dapat membuka peluang dialog yang lebih luas untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan memperkuat hubungan bilateral.