indotim.net (Minggu, 25 Februari 2024) – Maria Evin (42) seorang warga Desa Golo Wune, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) telah tinggal selama belasan tahun di sebuah gubuk kayu sederhana tanpa listrik. Mama Maria, begitu dia biasa disapa, bersama dengan tiga orang anaknya tinggal di sana dalam keterbatasan yang mereka hadapi.
Mama Maria menjalani kehidupan yang penuh tantangan di pedalaman Nusa Tenggara Timur. Dengan penuh kesabaran, dia berhasil menghidupi keluarganya sendirian meskipun tinggal di gubuk sederhana tanpa listrik.
Kehidupan Mama Maria berubah ketika Menteri Sosial, Risma Triharini, datang berkunjung ke tempat tinggalnya. Rasa haru dan bahagia terpancar jelas dari ekspresi Mama Maria saat menerima kunjungan tersebut.
detikcom berkesempatan berkunjung bersama Mensos Risma ke tempat Mama Maria. Terlihat tungku kayu bakar sedang menyala di ruangan berukuran 2 x 3 meter. Asap bakaran pun membaur dalam satu ruang.
Sejak lama, Mama Maria telah menghadapi kenyataan pahit tinggal di gubuk kecil tanpa listrik di Nusa Tenggara Timur. Di ruang yang sempit itu, semua aktivitas keluarganya terpaksa dilakukan bersama.
Gubuk tempat dia dan ketiga anaknya berlindung pun nyaris ambruk. Dindingnya yang terbuat dari pelepah bambu telah lapuk dimakan usia.
Di salah satu sisi tembok gubuk Mama Maria sudah bolong karena dimakan usia. Atap yang seharusnya melindungi dari air hujan kini berlubang di berbagai bagian. Dalam kondisi seperti itu, mereka harus segera mencari tempat berlindung di rumah tetangga.
“Kalau malam ya dingin. Kalau hujan kan bareng sama angin, berarti kami lari ke rumah tetangga,” kata Maria pada Minggu (25/2/2024).
Kasur empuk mungkin menjadi barang mewah bagi Mama Maria dan ketiga anaknya. Selama ini, mereka berempat tidur beralas tikar usang, tanpa kapuk, tanpa busa, apalagi pegas.
Di sebuah sudut ruangan gubuk sederhana itu, Mama Maria duduk di atas tikar sambil mengaduk-aduk beras, satu-satunya lauk pauk yang dimiliki keluarga kecil ini. “Kekeringan dan keterbatasan listrik membuat kami harus bergantung pada sumber daya alam,” ujarnya sambil tersenyum penuh keikhlasan.
Dusun tempat Mama Maria tinggal kini telah dialiri listrik oleh negara, namun ia memilih untuk tetap hidup tanpa lampu. Keputusannya bukan karena tidak mau, tetapi karena keterbatasan biaya untuk memasang listrik di tempat tinggalnya.
Sejak suaminya merantau ke Kalimantan, Mama Maria tinggal sendirian dengan ketiga anaknya di gubuk kecil tanpa listrik. Setiap hari, ia berjuang untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarganya.
“Dia beristri lagi, tapi mereka tinggal di Kalimantan. Tahun 2015 tak ada kabar, dari situ mereka lepas tanggung jawab,” ujarnya.
Mama Maria menceritakan bahwa untuk makan sehari-hari, dia harus bekerja membersihkan kebun milik orang lain dengan upah Rp 30 ribu per hari. Dengan uang itulah Mama Maria membeli beras dan kebutuhan pokok lain untuk anak-anaknya.
Namun, tak setiap hari pemilik kebun meminta jasanya. Itu artinya, tidak setiap hari juga Mama Maria bisa membeli bahan pangan untuk mengisi empat perut di gubuk reyotnya.
Mama Maria terbiasa dengan kehidupan sederhana di desa terpencil ini. Meskipun tanpa listrik dan akses modern, ia tetap tabah.
“Kadang ada satu minggu (pekerjaan) kadang tidak. Kalau dalam satu minggu itu ada 1 kali. Syukur kalau ada 2 hari mencabut rumput,” ucapnya.
Kesimpulan
Mama Maria, yang tinggal di gubuk sederhana tanpa listrik di NTT, menginspirasi dengan ketabahan dan kesabaran dalam menghidupi keluarganya meskipun dalam keterbatasan. Meskipun dihadapkan pada kondisi yang sulit, Mama Maria tetap tabah dan bekerja keras untuk mencari nafkah bagi ketiga anaknya. Kisahnya mengajarkan tentang kekuatan dan keikhlasan dalam menghadapi keterbatasan hidup.