Fahri Hamzah Kritik Putusan MK: Apa Dampak Parliamentary Threshold Terhadap Demokrasi?

indotim.net (Jumat, 01 Maret 2024) – Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan perubahan syarat ambang batas DPR, atau Parliamentary Threshold (PT), menjadi 4% sebelum Pemilu 2024. Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, menilai bahwa selama ini syarat ambang batas telah mengganggu hak rakyat dan perlu dihentikan.

“Apabila kita mengkaji substansi dan argumentasi Mahkamah Konstitusi mengenai kedaulatan rakyat, maka seluruh proses demokrasi dan pemilu sejatinya adalah tentang kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, segala bentuk pembatasan yang mendorong munculnya perantara antara kekuasaan dan rakyat harus dihentikan,” ujar Fahri kepada wartawan pada Jumat (1/3/2024).

“Threshold, contohnya, telah menyebabkan perbedaan antara pilihan rakyat dan orang yang terpilih. Ini menyebabkan anggapan kuat bahwa wakil rakyat mewakili partai politik, bukan rakyat,” kata Fahri. Dia menegaskan bahwa suara rakyat yang dijamin oleh konstitusi memiliki kekuatan hukum tertinggi. Karenanya, pembatasan tersebut yang diatur oleh undang-undang seharusnya dihapuskan.

“Parliamentary Threshold dan segala jenisnya pada dasarnya mengganggu hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung karena terbatas oleh ketentuan yang kekuatannya lebih kecil dibanding suara rakyat. Suara rakyat memiliki bobot yang tinggi. Jadi, jika ada undang-undang yang mencoba membatasi dan mencabut hak fundamental rakyat, maka undang-undang tersebut harus dihapuskan,” ujarnya.

Di sisi lain, mantan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, juga mengungkapkan pendapatnya terkait syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Menurutnya, syarat ini seharusnya ditiadakan. “Jadi di masa mendatang tidak saja parliamentary threshold, sebenarnya presidential threshold juga harus dihapuskan karena itulah yang menyebabkan rakyat itu berjarak dengan apa yang harus dia pilih dan hak-hak yang melekat pada rakyat,” ujarnya.

Fahri Hamzah melanjutkan pemikirannya dengan mengajak semua pihak, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK) dan para pegiat demokrasi, untuk merenungkan ulang aturan-aturan yang dinilainya telah membatasi hak rakyat. “Dengan prinsip ini, kita perlu mengingatkan partai politik, MK, dan para pegiat demokrasi di Indonesia untuk fokus meneliti segala ketentuan yang berpotensi merusak kehendak suara rakyat. Baik itu dalam UU Pemilu maupun UU Partai Politik. Tujuannya agar kita membangun demokrasi yang autentik, yang bersumber dari rakyat, diperuntukkan bagi rakyat, dan dilaksanakan untuk rakyat,” tegasnya.

READ  Hasil Survei: 82% Responden Senang dengan Pemilu 2024, 79,3% Mendukung Jurdil

Mahkamah Konstitusi sebelumnya menilai bahwa ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional yang diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. MK memerintahkan agar ambang batas DPR tersebut diubah sebelum pelaksanaan Pemilu 2029.

Fahri Hamzah memberikan tanggapannya terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Parliamentary Threshold dalam perkara 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Proses sidang diketahui dipimpin oleh Ketua MK, Suhartoyo, yang menjadi sorotan publik atas keputusan yang dikeluarkan.

Secara tegas, Fahri Hamzah menilai bahwa keberlakuan Parliamentary Threshold dinilai telah menciderai hak rakyat dalam proses demokrasi. Meskipun demikian, MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pasal 414 ayat (1) dalam UU 7/2017 yang menetapkan ambang batas parlemen sebesar 4 persen masih dianggap konstitusional untuk diberlakukan pada Pemilu 2024. Namun, ambang batas parlemen ini tidak akan berlaku lagi pada Pemilu 2029.

Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Parliamentary Threshold, Fahri Hamzah menyatakan bahwa keputusan tersebut dapat mendistorsi hak rakyat.

Sebagai konsekuensi yuridisnya, MK menyatakan bahwa norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Norma ini tetap berlaku untuk hasil Pemilu DPR 2024, namun tidak akan diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya kecuali terjadi perubahan terhadap ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.

MK secara resmi mengeluarkan pertimbangan putusannya pada Kamis (29/2).

Sebagai bagian dari pembahasan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Parliamentary Threshold, Fahri Hamzah menyampaikan pandangannya. Menurutnya, keputusan tersebut dapat mengakibatkan distorsi terhadap hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh rakyat dalam proses pemilihan umum.

READ  Investigasi Dugaan Pelecehan Rektor Universitas Pancasila: Fakta Terbaru

Kesimpulan

Fahri Hamzah mengkritik pengaruh Parliamentary Threshold terhadap demokrasi, menyatakan bahwa pembatasan tersebut telah mengganggu hak rakyat dalam proses pemilihan umum. Dia menegaskan perlunya menghapus syarat ambang batas DPR dan pencalonan presiden, serta mengajak semua pihak untuk merenungkan ulang aturan-aturan yang dianggap membatasi hak rakyat. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menganggap ambang batas parlemen sah untuk Pemilu 2024, namun putusan tersebut tidak akan berlaku lagi pada Pemilu 2029. Keberlakuan parliamentary threshold dinilai dapat mendistorsi hak rakyat menurut Fahri Hamzah.