indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Para pakar ekonomi menyoroti penunjukan komisaris yang berasal dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. Penunjukan komisaris secara politis ini dinilai berpotensi mengganggu kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kritik tersebut diungkapkan oleh Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef). Menurutnya, dalam pemilihan komisaris BUMN, faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah kompetensi para calon komisaris.
“Menurut saya, penempatan harus disesuaikan dengan kompetensi agar komisaris BUMN dapat mengarahkan BUMN ke masa depan yang lebih baik,” ujar Esther kepada wartawan pada hari Kamis (29/2/2024).
Dia menegaskan pentingnya kejelasan dalam pemilihan komisaris BUMN. Menurutnya, komisaris harus dipilih berdasarkan kompetensi sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
“Sebagai BUMN tidak hanya sebagai agen pemerintah tapi juga harus menghasilkan profit agar BUMN tidak membebani negara,” ujarnya.
Dia menyatakan bahwa penunjukan komisaris dari pihak yang mendukung salah satu kubu dapat memengaruhi kinerja BUMN. Dia menekankan pentingnya menjaga kesehatan BUMN agar tidak memberatkan APBN.
“Iya mempengaruhi kinerja BUMN juga. Kalau BUMN sehat maka tidak menjadi beban APBN,” jelasnya.
Masalah ini semakin menarik perhatian publik terutama terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN. Menurut survei yang dilakukan beberapa waktu lalu, mayoritas masyarakat setuju bahwa penempatan komisaris harus didasarkan pada kompetensi yang dimiliki untuk mendukung kinerja perusahaan.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Bhima mengingatkan soal risiko penunjukkan komisaris secara politis.
“Hal itu membawa risiko-risiko tertentu. Salah satunya adalah potensi terganggunya prinsip meritokrasi di lingkungan BUMN atau Kementerian, di mana banyak pegawai yang berada di tingkat bawah, baik dari latar belakang birokrasi maupun kariernya, tiba-tiba melihat pimpinan mereka diangkat melalui political appointee atau proses pemilihan yang lebih berbasis politik. Hal ini dapat menggerus profesionalisme menjadi sekadar slogan semata,” ungkap Bhima.
Dalam konteks ini, Indef menyatakan keprihatinannya bahwa penunjukan kursi komisaris lebih cenderung pada kepentingan politik ketimbang peningkatan kualitas kinerja perusahaan.
“Ujungnya kan lebih ke kepentingan politik yang diakomodir. Dibandingkan benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan misalnya,” katanya.
“Hal-hal begini tentunya akan membuat profesionalitas BUMN banyak tertinggal ya,” sambungnya.
Indef, lembaga riset ekonomi, memberikan kritik terkait pembagian kursi komisaris BUMN kepada Tim Kampanye Nasional (TKN) pada Pilpres 2019. Menurut Indef, seharusnya penempatan komisaris tersebut disesuaikan dengan kompetensi yang dimiliki.
Sebelumnya, kritik serupa juga telah disampaikan oleh para akademisi. Mereka menilai penunjukan komisaris ini perlu ditahan terlebih dahulu sampai Pemilu 2024 selesai.
Dari UGM, terdapat pakar politik bernama Arya Budi yang menyampaikan pendapatnya. Menurut Arya Budi, pembicaraan mengenai pembagian jabatan masih terlalu dini pada saat ini karena Pemilu 2024 belum rampung.
Di sisi lain, Arya juga menilai, lawan politik dari Prabowo-Gibran juga masih mengawal hasil pemilu. Sehingga ini tak elok jika bagi-bagi kursi kekuasaan itu dilakukan sekarang. Dia menyarankan agar semua pihak, terutama yang diprediksi menang agar bisa menahan diri dan menghormati proses pemilu yang masih berjalan.
“Jadi paslon yang diproyeksikan menang harus menahan diri. Apalagi statemen yang muncul adalah ingin merangkul semua elemen, justru yang dilakukan adalah menahan diri untuk tidak mengeksploitasi potensi menang itu dengan bagi-bagi kursi atau victory speech karena sekarang proses masih berjalan di KPU meskipun ada data quick count yang cukup valid terkait dengan hasil perolehan suara,” kata pakar politik UGM, Arya Budi, kepada detikJogja, Rabu (28/2/2024).
Dari Universitas Islam Bandung (Unisba), dosen Fakultas Komunikasi Muhammad E Fuady menilai pengangkatan Prabu Revolusi sebagai Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) jangan sampai menjadi amunisi pemerintah untuk melawan kritik publik. Fuady mengatakan fenomena pengangkatan relawan atau timses menjadi komisaris sebetulnya hal yang sudah lama dilakukan.
“Dalam politik tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanya kepentingan. Dalam politik, hal yang biasa adalah menyerang dan sejauh mana seseorang dapat melihat peluang yang lebih menguntungkan dirinya baik secara personal maupun karier. Namun, dari sudut pandang publik, jika hal seperti itu terjadi, publik akan mengkritisi, menilai sebagai kutu loncat atau tidak loyal,” ujar Fuady dalam percakapan telepon dengan detikJabar.
Sebagai informasi, belakangan banyak tim sukses pendukung Prabowo-Gibran yang mendapat jabatan komisaris BUMN. Pertama, ada Siti Zahra Aghnia yang kini menjadi komisaris baru PT Pertamina Patra Niaga. Diketahui, Siti Zahra Aghnia adalah istri Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran, Muhammad Arief Rosyid Hasan.
Selain Siti, Prabu Revolusi yang diangkat sebagai Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), anak usaha PT Pertamina (Persero). Prabu sebelumnya merupakan Deputi Komunikasi 360 Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, kemudian berpindah mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.