indotim.net (Kamis, 07 Maret 2024) – Belakangan ini, kepiting tapal kuda kembali menjadi sorotan di berbagai platfrom media sosial. Kepiting tapal kuda ini memiliki darah biru secara harfiah, bukan hanya sebagai metafora. Dipercaya memiliki beragam manfaat yang sangat baik untuk kesehatan tubuh.
Dalam artikel ini, akan dibahas terkait kepiting tapal kuda, mulai dari taksonomi hingga keistimewaan dan manfaatnya. Yuk, simak informasinya secara lengkap!
‘Fosil Hidup’ Lebih Tua dari Dinosaurus
Melansir dari sebuah artikel yang dipublikasikan oleh National Wildlife Federation, kepiting tapal kuda telah menghuni bumi selama lebih dari 300 juta tahun. Kemampuan adaptasinya selama periode yang sangat panjang ini menjadikannya dianggap sebagai ‘fosil hidup’. Hal tersebut menempatkan kepiting tapal kuda ini sebagai makhluk yang lebih tua dari dinosaurus.
Kepiting ini terlihat mirip kepiting prasejarah, tetapi sebenarnya lebih dekat hubungannya dengan kalajengking dan laba-laba. Kepiting tapal kuda memiliki kerangka luar yang keras dan 10 kaki, yang digunakan untuk berjalan di dasar laut.
Kepiting tapal kuda betina memiliki ukuran sekitar sepertiga lebih besar dari kepiting jantan, mencapai panjang 18 hingga 19 inci (46 hingga 48 sentimeter) dari kepala hingga ekor. Sementara kepiting jantan hanya mencapai 14 hingga 15 inci (36 hingga 38 sentimeter).
Taksonomi Kepiting Tapal Kuda
Melansir informasi dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, kepiting tapal kuda dikenal dengan berbagai nama. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai horseshoe crab, sementara masyarakat lokal mengenalinya dengan sebutan mimi, belangkas, kepiting ladam, mintuna, dan kepiting bulan.
Zoologi mengenal hewan laut bernama kepiting tapal kuda, atau dalam bahasa ilmiahnya Portunus pelagicus, sebagai fosil hidup dengan darah berwarna biru. Kepiting ini memiliki peranan penting dalam ekosistem laut dan juga bermanfaat bagi manusia. Berdasarkan informasi dari Jurnal Protobion, Volume 9 Nomor 2 Tahun 2020 yang berjudul Morfometri Belangkas Tachypleus gigas di Kawasan Pesisir Batu Ampar, Kalimantan Barat oleh penulis Sutan Syahrir dkk dari Prodi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, terdapat beberapa jenis dan spesies kepiting tapal kuda yang perlu dipahami.
Hewan ini termasuk dalam filum Arthropoda dan famili Limulidae. Kepiting tapal kuda ini terbagi menjadi 3 genus di dunia, yaitu Limulus, Carcinoscorpius, dan Tachypleus.
Spesies Kepiting Tapal Kuda, yaitu Tachypleus gigas, Tachypleus tridentatus, dan Carcinoscorpius rotundicauda, dapat ditemukan di wilayah Asia. Makhluk ini biasa hidup di perairan pesisir yang tenang serta muara sungai yang memiliki dasar berpasir atau berlumpur. Sementara Kepiting Tapal Kuda jenis Limulus polyphemus, habitat alaminya terdapat sepanjang Pantai Atlantik mulai dari Teluk Taunton di Amerika Utara hingga Semenanjung Yucatan, Meksiko, seperti yang dilaporkan oleh Smithsonian Institute.
Darah Biru yang Bermanfaat dan Mahal
Keistimewaan utama dari kepiting tapal kuda terletak pada darahnya. Tak seperti hewan lain yang memiliki darah berwarna merah, kepiting tapal kuda memiliki darah dengan warna biru cerah. Menurut laman Unair, warna darah biru ini lantaran kepiting tapal kuda di dalam tubuhnya tidak mengandung hemoglobin melainkan mengandung hemocyanin. Kandungan ini berfungsi mengangkut oksigen dan mengandung unsur tembaga yang mengakibatkan warna darah kepiting tapal kuda menjadi biru. Darah kepiting tapal kuda juga mengandung unsur amebosit yang berfungsi sebagai pertahanan organisme untuk melawan patogen.
Mengutip American Association for the Advancement of Science, kepiting ini memiliki darah biru yang berharga karena mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL), digunakan dalam uji kelayakan obat dan vaksin medis.
Kepiting tapal kuda, atau dalam bahasa Latin Horseshoe Crab, merupakan makhluk laut yang memiliki keunikan tersendiri. Tak hanya sebagai ‘fosil hidup’ dengan evolusi yang telah berlangsung jutaan tahun, kepiting ini juga terkenal dengan darahnya yang berwarna biru.
Dari informasi yang dikutip dari CNN Indonesia, sebelum penemuan LAL, para ilmuwan menghadapi kesulitan dalam mengetahui apakah vaksin atau alat medis terkontaminasi bakteri, seperti E coli atau salmonella. Pada masa itu, para ilmuwan harus menyuntikkan vaksin ke sejumlah besar kelinci dan menunggu munculnya gejala sebagai tanda bahwa terjadi kontaminasi.
Ditemukan bahwa kandungan LAL pada kepiting tapal kuda dan disetujui untuk digunakan pada tahun 1970 telah meningkatkan efektivitas dan efisiensi uji vaksin yang terkontaminasi bakteri. LAL akan membungkus semua bakteri gram negatif dalam kepompong jeli ketika peneliti menjatuhkan LAL dalam jumlah kecil ke perangkat medis atau vaksin. Meskipun tidak dapat membunuh bakteri, segel jeli tersebut berperan sebagai alarm yang memperingatkan adanya infeksi yang berpotensi mematikan serta mencegah penyebarannya.
Senyawa LAL ini juga mendeteksi adanya endotoksin bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada mata. Kepiting tapal kuda telah memberikan kontribusi besar pada produksi steril dan aman bagi produk kesehatan mata, seperti lensa kontak dan obat tetes mata. Dilansir dari laman Unair, manfaat lain dari LAL ini yaitu sebagai bahan baku pembuatan vaksin. Sedangkan pada bagian cangkang selain mengandung chitosan juga dapat diolah menjadi aneka produk seperti lensa kontak, krim kulit, dan penambal luka jahitan di kepala.
Kepiting tapal kuda bahkan pernah menjadi salah satu hewan yang dijadikan sebagai bahan uji coba pembuatan vaksin ketika pandemi COVID-19 seperti yang dimuat dalam sebuah artikel CNN Indonesia pada tahun 2020.
Oleh karena itu, darah biru kepiting tapal kuda menjadi salah satu sumber daya termahal di dunia. Produk darah ini bisa dihargai sekitar US$60 ribu atau sekitar Rp885,8 juta per galon.
Selain itu, kepiting tapal kuda juga membantu menjaga keseimbangan ekosistem pantai dengan menjadi makanan bagi burung migran dan hewan laut.
Ancaman Overeksploitasi
Karena kebermanfaatannya yang luar biasa, kepiting tapal kuda kini mengalami masalah overeksploitasi dan kelangkaan. Rich Gorman dari Sussex University, yang melakukan penelitian terbaru tentang kepiting tapal kuda, menyatakan bahwa kepiting ini sekarang berada di bawah tekanan evolusi yang sangat berat, yang mengakibatkan penurunan drastis dalam jumlah populasi mereka, terutama di pesisir timur Amerika.
Ratusan ribu kepiting ini dipanen untuk darahnya, menyebabkan kematian dan penurunan jumlah populasi terutama di daerah berkembang biak utama seperti Delaware Bay di New Jersey. Berita ini dilansir dari Guardian pada awal Maret 2024 lalu.
Penurunan ini juga memiliki konsekuensi ekologis yang lebih luas. Penurunan besar populasi burung, seperti burung simpul merah rufa, kini tercatat setelah penurunan populasi burung tapal kuda.
Melansir dari CNN Indonesia, setiap tahun, industri medis menangkap sekitar 600.000 kepiting tapal kuda untuk menguras 30 persen dari darahnya, yang menyebabkan banyak kepiting tersebut mati. Berdasarkan informasi dari Nation of Change, sekitar 50 ribu kepiting kehilangan nyawa saat proses tersebut berlangsung.
Pada tahun 2016, Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam memasukkan kepiting tapal kuda Amerika ke dalam daftar merah, satu tahap di bawah terancam punah. Populasi kepiting tapal kuda di AS bisa terus menurun, sebanyak 30 persen selama 40 tahun ke depan. Hewan ini telah masuk ke dalam daftar merah IUCN (The International Union for Conservation of Nature) dengan status data deficient atau kurangnya informasi dan perlu diperbaharui lagi. Di Indonesia, kepiting tapal kuda merupakan salah satu biota yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi demikian dilansir dari laman Marine Diving Club Undip (MDC Undip).