indotim.net (Senin, 15 Januari 2024) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedang melakukan langkah-langkah eksekusi hingga PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) memenuhi kewajibannya sesuai dengan isi putusan pengadilan. Tindakan ini dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap putusan pengadilan mengenai kasus perdata kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) oleh PT JJP pada tahun 2015 yang menghanguskan luas 1.000 hektar (ha).
Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van geuwijsde) didasarkan pada Putusan MA No. 728 PK/PDT/2020 Jo. Putusan MA No. 1095 K/PDT/2028, Jo. Putusan PT DKI Jakarta No. 727/PDT/2016/PT/PT.DKI dan Jo. PN Jakarta Utara Bo. 108/Pdt.D/2015/PN/. JKT. Utr.
Pelaksanaan eksekusi terkait Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap PT JJP akan segera dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan tersebut dikeluarkan pada tanggal 9 Juni 2016 dengan nomor perkara 108/Pdt.G/2015/PN. Jkt.Utr, yang berisi:
Mahkamah Agung memutuskan untuk menghukum PT JJP dengan membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 7.196.188.475,00 melalui rekening Kas Negara.
Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa Pengadilan Negeri Bogor telah memutuskan PT JJP sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan. Putusan tersebut menyatakan bahwa PT JJP harus melakukan tindakan penanggulangan dan pemulihan lingkungan untuk lahan yang terbakar seluas 120 hektare.
Sebagai tindakan pemulihan, PT JJP diwajibkan untuk mengeluarkan biaya sebesar Rp 22.277.130.853,00. Dengan biaya tersebut, diharapkan lahan yang terbakar dapat kembali difungsikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PT JJP telah mengajukan upaya banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 108/Pdt.G/2015/PN. Pada tanggal 10 Maret 2017, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memutus perkara No. 727/PDT/2016/PT/PT.DKI dengan amar putusannya sebagai berikut:
Mengenai putusan perdata terkait kasus Karhutla, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera menuntaskan eksekusi. Putusan tersebut memerintahkan PT JJP untuk membayar ganti rugi materiil sejumlah Rp 491.025.500.000,00.
Jumlah tersebut terdiri dari ganti rugi materiil sebesar Rp 119.888.500.000,00 dan tindakan pemulihan lingkungan senilai Rp 371.137.000.000,00.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan segera menyelesaikan eksekusi putusan perdata terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menimpa PT JJP. Sesuai putusan, PT JJP harus melakukan tindakan pemulihan lingkungan dan membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 25.000.000,00 per hari sebagai sanksi atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tersebut.
Dari putusan pengadilan Tinggi DKI Jakarta, PT JPP telah melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya pada tanggal 28 Juni 2018, Majelis Hakim Mahkamah Agung memutus perkara No.1095/K/PDT?2028 dengan amar putusannya menolak permohonan kasasi PT JPP.
Kemudian, PT JJP melanjutkan dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung No. 1095 K/PDT/2018 kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Namun, upaya hukum tersebut tidak berhasil, karena Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan PK yang diajukan oleh PT JJP pada tanggal 19 Oktober 2020 melalui putusan No. 728 PK/PDT/2020.
Untuk melanjutkan keputusan Mahkamah Agung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan eksekusi, yang meliputi:
Pada tanggal 26 Oktober 2021, telah diajukan permohonan surat keterangan berkekuatan hukum tetap kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan tersebut telah ditindaklanjuti dengan Surat Nomor: W10-U4/8915/HK.02/10/2021.
Pada tanggal 27 April 2022 hingga 14 September 2022, KLHK telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk menindaklanjuti putusan perdata terkait kasus karhutla PT JJP. Selama pelaksanaan pemberian teguran (aanmaning) oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, PT JPP tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara patut.
Sayangnya, pada tanggal 1 September 2022, PT JPP mengajukan upaya hukum PK yang kedua ke Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hal ini menunjukkan bahwa PT JPP masih melakukan tindakan hukum untuk menghindari eksekusi putusan perdata tersebut.
Pada tanggal 22 Oktober 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan permohonan sita eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Direktur Jenderal Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengungkapkan bahwa absennya PT JPP dalam menerima teguran (aanmaning) dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, serta pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang kedua oleh PT JPP kepada Mahkamah Agung (MA), menunjukkan bahwa PT JPP tidak berkomitmen untuk melaksanakan isi putusan pengadilan secara suka rela. Menurutnya, hal ini menunjukkan tindakan perlawanan hukum dari pihak PT JPP.
“Kami telah memerintahkan kepada Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup untuk melakukan percepatan pelaksanaan eksekusi berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan instansi terkait lainnya antara lain Kementerian ATR/BPN untuk mendapatkan data dukung aset yang akan dilakukan sita eksekusi, hingga PT JJP memenuhi semua kewajibannya dalam memenuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk mengambil langkah-langkah untuk mempercepat sita eksekusi,” dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin (15/1/2024).
“Komitmen dan konsistensi KLHK dalam penegakan hukum, termasuk melalui gugatan perdata, sangat jelas. Kami tak akan berhenti berjuang melawan kejahatan lingkungan dengan semua instrumen yang tersedia, baik administratif, perdata, maupun pidana. Semua putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap akan kami jalankan, guna mengembalikan kerugian lingkungan,” ujar Rasio Sani.
Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, sekaligus Kuasa Hukum Menteri LHK, Jasmin Ragil Utomo, menjelaskan bahwa dari 19 kasus serupa, 8 di antaranya telah menyetor dana ke kas negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan jumlah yang mencapai triliunan.
“Dari 19 kasus perkara perdata lingkungan hidup yang telah inkracht, terdapat 8 kasus yang sudah menyetor ke kas negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sejumlah Rp 351.973.592.810,00. Saat ini, terdapat 11 perkara yang sudah inkracht dan sedang dalam proses eksekusi,” ujar Ragi.