indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Situasi politik dalam negeri belakangan ini menimbulkan kegelisahan, terutama setelah berlangsungnya pemungutan suara pada pemilu 14 Februari yang lalu. Ketidaknyamanan tersebut bukan semata karena pasangan calon presiden dan wakil presiden yang saya dukung tidak mendapat suara terbanyak menurut hasil quick count. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakmampuan dari penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam menyajikan informasi publik yang terpercaya terkait hasil suara pasangan calon melalui Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap).
Tujuan mulia KPU saat meluncurkan Sirekap adalah ingin meningkatkan keterbukaan informasi publik, transparansi, dan mencegah kecurangan selama proses perhitungan suara. Namun, upaya tersebut kandas karena adanya perbedaan data antara dokumen C1 dan data rekapitulasi suara dalam Sirekap.
Berbagai dugaan negatif mulai muncul akibat ketidaksesuaian tersebut, yang pada gilirannya menimbulkan kekhawatiran akan integritas pemilu.
Sejumlah tudingan dan keraguan muncul terkait jalannya proses pemilu yang melibatkan KPU.
Alat yang semula diluncurkan dengan niat mulia justru berubah menjadi alat untuk menyerang KPU yang mengancam kepercayaan publik dan legitimasi sebagai penyelenggara pemilu. Analisis media sosial oleh Drone Emprit tentang Sirekap menunjukkan bahwa percakapan warganet di berbagai platform media sosial didominasi oleh sentimen negatif. Sejumlah opini bermunculan, seperti kesalahan konversi data, ketidaksesuaian data, hingga dugaan pemanfaatan Sirekap untuk kepentingan pasangan calon nomor urut 02.
Tidak hanya dari warganet, tudingan lebih keras juga muncul dari tim pemenangan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden lain. Bahkan, Timnas Anis-Muhaimin menuding bahwa Sirekap sudah diatur sedemikian rupa. Dalam konferensi persnya, Anggota Dewan Pakar Timnas AMIN, Bambang Widjojanto, mengatakan hasil analisis dan kajian forensik terhadap server KPU, ditemukan algoritma yang sudah diatur untuk memenangkan paslon tertentu. Menurutnya, jika terdapat perbaikan data pada satu TPS, maka sistem tersebut akan mengubah hasil rekapitulasi pada TPS lain.
Selain itu, tudingan serupa juga disampaikan oleh TPN Ganjar-Mahfud. Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menyatakan bahwa Sirekap nampaknya condong memihak kepada salah satu pasangan calon. Mereka mengklaim telah menemukan berbagai bukti yang tersebar luas di platform media sosial yang menunjukkan adanya dugaan pelanggaran pemilu melalui pemanfaatan Sirekap tersebut.
Menanggapi kegaduhan Sirekap, Calon Wakil Presiden nomor urut 03, Mahfud MD, bahkan mendorong agar dilakukan audit forensik oleh lembaga independen. Dalam akun Twitter/X pribadinya, Mahfud mengatakan bahwa usulan audit tersebut terus mengalir dari sejumlah kelompok masyarakat agar KPU memenuhi usulan audit. Menurut Mahfud, hal itu perlu dilakukan untuk menjaga kredibilitas KPU sebagai penyelenggara Pemilu di tengah-tengah kegaduhan dan tudingan negatif akibat Sirekap.
Dalam proses pemilihan umum, transparansi adalah kunci penting untuk memastikan integritas dan kepercayaan masyarakat. Namun, seringkali KPU dan Sirekap dianggap kurang transparan dalam menjalankan tugasnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya sudah memberikan tanggapan dan membantah tuduhan-tuduhan yang disampaikan sebelumnya. Namun, respon yang diberikan KPU masih dianggap kurang transparan. Sebagai contoh, dalam merespons usulan untuk melakukan audit forensik terhadap Sirekap, KPU melalui salah satu komisionernya, Betty Epsilon Idroos, menjelaskan bahwa audit terhadap Sirekap telah dilakukan oleh “lembaga berwenang”. Meskipun mengacu pada Peraturan Presiden No 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), tetapi KPU tidak memberikan informasi yang memadai mengenai proses dan hasil audit Sirekap serta langkah yang akan diambil setelah audit tersebut dilakukan sebelum Sirekap digunakan.
Situasi yang terjadi pada Sirekap justru berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh Betty sebelumnya; Sirekap terkesan belum siap, diimplementasikan secara tergesa-gesa, dan menimbulkan kekacauan. Meskipun KPU telah menjelaskan bahwa keputusan akhir dari Pemilu Presiden tidak hanya berdasarkan pada Sirekap, melainkan juga pada perhitungan manual dari tingkat TPS hingga ke KPU RI, namun penting bagi publik untuk mengetahui dengan jelas bahwa suara yang mereka berikan di tempat pemungutan suara (TPS) dapat tercatat dengan benar dan sesuai dengan fakta. Oleh karena itu, transparansi dan akurasi data yang terdapat dalam Sirekap menjadi sangat penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik.
Contoh lainnya adalah penerapan teknologi yang berbeda dalam merekam hasil rekapitulasi Pilpres dan Pileg melalui Sirekap. KPU menjelaskan bahwa untuk pilpres, mereka menggunakan teknologi yang disebut Optical Mark Recognition (OMR). Sedangkan untuk pileg, KPU menggunakan teknologi Optical Character Recognition (OCR). Perbedaan dalam penggunaan teknologi ini memungkinkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan data pada Pileg, namun tidak pada pilpres.
Berkaitan dengan hal itu, tidak ada informasi alasan atau pertimbangan KPU menggunakan dua teknologi berbeda untuk pilpres dan pileg.
Artinya, satu lagi kekurangan dari KPU yang menghambat dalam upaya meningkatkan keterbukaan informasi publik dan transparansi proses pemilihan dan perhitungan suara.
Tanpa penjelasan yang komprehensif terkait perbedaan penggunaan teknologi tersebut, publik rentan terhadap spekulasi liar serta berpotensi timbulnya ketidakpercayaan terhadap KPU dan penyelenggaraan pemilu.
Contoh terakhir adalah ketika KPU mengadakan konferensi pers sebagai respons terhadap kekacauan yang terjadi terkait Sirekap. Upaya KPU untuk memberikan penjelasan secara mendetail mengenai mekanisme dan standar operasional prosedur Sirekap, serta usaha-usaha perbaikan data yang telah dilakukan untuk memastikan keakuratan, akhirnya ditutup tanpa memberikan kesempatan bagi para jurnalis untuk mengajukan pertanyaan.
Padahal, dengan memberikan kesempatan jurnalis bertanya, KPU akan mendapat ruang lebih luas untuk memberikan klarifikasi, menjawab kekhawatiran publik, dan memberikan pemahaman yang baik kepada publik terkait upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi persoalan yang terjadi.
Selain itu, menerima pertanyaan dari jurnalis juga menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, seperti yang disebutkan oleh Betty Epsilon Idroos selama konferensi pers berlangsung, KPU terus berupaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dalam situasi yang sensitif seperti ini, penting bagi KPU untuk membangun pola komunikasi responsif dan transparan. Komunikasi yang efektif akan menjaga kepercayaan publik dan legitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu. KPU harus tetap memastikan kepercayaan masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa proses rekapitulasi suara berjalan dengan adil dan jujur.
Indra Sanjaya, seorang penulis lepas yang pernah bekerja sebagai analis komunikasi publik pemerintah daerah, menekankan pentingnya transparansi dalam komunikasi sebagai pondasi utama untuk mempertahankan kepercayaan publik.