indotim.net (Rabu, 17 Januari 2024) – Pamitnya Maruarar Sirait atau Ara dari PDI Perjuangan (PDIP) sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Hanya masalah waktu. Sejak beberapa waktu terakhir, dia memang telah dikucilkan atau dipinggirkan dari barisan elit PDIP (Megawati). Tidak jelas apa dosanya sebenarnya. Namun, saya menduga masih ada kaitannya dengan penyusunan Kabinet Kerja I pada masa Presiden Jokowi, 2014-2019.
Ketika itu beredar kabar yang cukup santer bahwa Ara akan menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Ia bahkan sudah berada di lingkungan Istana dengan mengenakan kemeja putih yang merupakan seragam yang dikenakan oleh para calon menteri yang akan diumumkan oleh Presiden Jokowi. Namun, harapan Ara untuk menjadi menteri pupus karena tak ada restu dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Selain itu, kabar yang menyebutkan bahwa Ara yang berambisi menjadi menteri tersebut dianggap mbalelo alias tidak koordinasi dengan baik dengan Teuku Umar juga ikut berkembang dan menimbulkan nada sumbang.
Setelah tidak berhasil menjadi menteri, Ara yang telah mengenal Jokowi sejak masih menjabat sebagai wali kota Solo tetap menunjukkan kesetiaannya. Dalam penyelenggaraan Piala Presiden, dia dipercaya sebagai Ketua Steering Committee Piala Presiden 2015-2019. Selanjutnya, Ara ditunjuk sebagai ketua Satgas Anti Mafia Bola yang menerima arahan langsung dari Jokowi melalui PSSI.
Sementara itu, di internal PDIP, Maruarar Sirait menghadapi tantangan terkait kesetiaan politiknya. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2019, Maruarar, yang selama Pemilu 2004, 2009, dan 2014 memiliki basis konstituen di Jawa Barat IX (Sumedang, Majalengka, Subang), dipindahkan ke Jawa Barat III (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur). Ia ditempatkan pada posisi kedua setelah Rieke Dyah Pitaloka. Dengan hasil ini, bisa disimpulkan bahwa Maruarar gagal meraih kursi di Senayan.
Toh begitu dia masih berupaya bertahan dan tetap menunjukkan loyalitasnya. Ketika nama Ganjar Pranowo ditetapkan sebagai calon presiden dari PDIP, dia menyokong penuh dan ikut mengkampanyekannya ke sejumlah daerah di Jawa Barat. Ara bersama keluarga besar Sabam Sirait menyumbang ratusan ribu kaus untuk kampanye Ganjar. Namun pada pertengahan Oktober 2023, tanpa alasan yang jelas Ganjar menghapus foto kebersamaannya dengan Ara di akun Instagramnya.
Maruarar Sirait memutuskan untuk pamit dengan alasan teknis. Jika memang faktor teknis menjadi penyebabnya, maka solusinya sangatlah sederhana yaitu mengunggah ulang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh Ganjar karena mungkin ada kekuatan yang sebenarnya tidak menghendaki. Bagi Ara, jika Ganjar saja tidak memiliki kekuatan dalam masalah pribadi dan tidak memiliki kemampuan untuk menampilkan jati dirinya, maka apa yang bisa diharapkan terkait dengan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar?
Maruarar Sirait alias Ara lahir di Medan, 23 Desember 1969. Ayahnya, Sabam Sirait, adalah pendiri dan Sekjen pertama PDI. Sabam juga yang beberapa kali mempengaruhi Megawati agar mau bergabung dengan PDI yang dipimpin oleh Soerjadi di pertengahan tahun 1980-an.
Ara bergabung ke PDIP setelah menyelesaikan kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung pada tahun 1999.
Di kampus ini, dia aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan resimen mahasiswa kampusnya.
Di PDI Jawa Barat, Ara dipercaya menjadi wakil bendahara pada periode 1999-2000, lalu menjadi bendahara pada periode 2000-2005.
Dari Jawa Barat, dia ditunjuk menjadi Ketua Bidang Pemuda, Mahasiswa, dan Olahraga DPP PDIP pada periode 2005-2010.
Bagi PDIP, peristiwa hengkangnya kader bukanlah hal baru. Di awal reformasi, ada Prof. Dimyati Hartono yang kemudian mendirikan Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA) pada Februari 2002. Pada bulan Juli di tahun yang sama, giliran Erros Djarot yang pamit dan kemudian mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Meskipun PITA gagal ikut Pemilu 2004, PNBK berhasil meraih 1,16% suara.
Pasca pemilu dan Pilpres langsung pertama itu, giliran Roy BB Janis, Laksamana Sukardi, Noviantika Nasution, dan Didi Suprianto yang hengkang dari PDIP. Mereka kemudian mendeklarasikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) pada bulan Desember 2005. Di Pemilu 2009, partai tersebut hanya berhasil meraih 0,86% suara.
Dari kasus mereka, terlihat bahwa kharisma Megawati yang memimpin PDIP terlalu kuat untuk dihadapi. Akibatnya, karier politik mereka meredup dan akhirnya menghilang dari dunia politik nasional. Kasus yang sama-sama tragis dialami oleh Rustriningsih, perempuan pertama dari PDI Perjuangan yang berhasil menjadi kepala daerah pada awal reformasi. Meskipun dia lahir pada 3 Juli 1967, penampilannya selalu tenang dengan pencapaian yang luar biasa.
Loyalitas, prestasi, dan popularitasnya menjadikan Maruarar Sirait sebagai ikon Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Jawa Tengah. “Rustri adalah Srikandi saya,” begitu Megawati pernah memuji. Namun Rustri harus meninggalkan kursi bupati sebelum masa bakti keduanya berakhir. Sebagai petugas partai, dia patuh saat diminta mendampingi mantan Pangkostrad Letjen Bibit Waluyo dalam memimpin Jawa Tengah.
Tetapi ketika Rustri bercita-cita untuk naik kelas dan menggantikan Bibit, ia tidak mendapatkan restu. Pada tahun 2013, Megawati justru memberikan posisi itu kepada Ganjar Pranowo tanpa memberikan penjelasan yang memadai. Rustri merasa kecewa dan sakit hati. Ia tidak menerima bahwa loyalitasnya, prestasinya, dan popularitasnya dianggap seolah-olah tidak berarti lagi.
Saat Partai Demokrat mengundangnya untuk ikut Konvensi Calon Presiden, Rustri masih tahu diri. Dia dengan tegas menolak tawaran tersebut. Namun, di kemudian hari, ada keputusan politik yang menggemparkan, yaitu Rustri memilih untuk mendukung duet Prabowo-Hatta Rajasa dalam kampanye Pilpres 2014. Padahal, yang direstui oleh Megawati bersama PDIP adalah pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Akibatnya, nama Rustri perlahan memudar dan dilupakan oleh orang banyak.
Ketika kita melihat kasus Maruarar Sirait, kita dapat melihat bahwa hingga saat ini dia belum menyatakan pindah ke partai lain atau mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden mana yang akan diusung di Pilpres 2024. Namun, dari alasan yang dia sampaikan terkait pamornya dari PDIP, dapat dengan mudah kita tebak bahwa alasan tersebut adalah untuk “Tegak Lurus dengan Jokowi”.
Apakah Maruarar Sirait akan mengalami nasib seperti Rustriningsih atau para politisi senior yang telah lebih dulu meninggalkan? Kisahnya mungkin akan berbeda. Karena langkah politik yang diambilnya memiliki dukungan yang berbeda dengan mereka. Siapakah dia? Tentu saja Jokowi, presiden yang pada akhir masa pemerintahannya tetap memperoleh tingkat kepuasan dari rakyatnya, berada di kisaran angka 70 persen.
Di tengah perseteruan terbuka antara Jokowi dan Megawati, Maruarar Sirait adalah salah satu yang mempercayai keyakinan para pengamat politik bahwa PDIP tidak akan mampu mencetak hat trick lagi. Jokowi-lah yang akan menjadi King Maker dalam Pilpres 2024. Itu berarti ada peluang bagi Maruarar untuk berperan lebih besar dan lebih luas jika ikut mendukung Jokowi. Meskipun tidak mendapatkan posisi di lingkaran kekuasaan, dia masih dapat fokus berpartisipasi dalam membangun Ibu Kota Nusantara bersama dengan para konglomerat papan atas.
Sudrajat. Seorang wartawan.