Media Sosial: Memerangi Fanatisme Politik dengan Interaksi Aktif

indotim.net (Selasa, 23 Januari 2024) – Media sosial telah menjadi platform yang mengungkapkan berbagai peristiwa terkait dengan Pilpres 2024. Melalui media sosial, masyarakat dapat mengetahui apa yang terjadi di balik layar. Berbagai konten yang disebarkan melalui media sosial dirancang secara sengaja untuk mendukung atau menjatuhkan pasangan calon.

Tim pendukung dan simpatisan suka membagikan konten yang berisi prestasi maupun kejelekan pasangan calon. Mereka memberikan komentar untuk memberikan dukungan atau menghujat pesaing mereka. Perbedaan pilihan dianggap tidak lagi wajar. Siklus lima tahunan ini memperkuat perilaku masyarakat yang pro dan kontra karena perbedaan pilihan.

Media sosial menjadi salah satu platform yang sangat populer dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam dunia politik. Banyak ahli berpendapat bahwa media sosial memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat bagi demokrasi yang positif, membantu generasi muda dalam menyuarakan pendapat mereka, dan mengorganisir gerakan sosial untuk kelompok yang terpinggirkan. Namun, di sisi lain, media sosial juga tidak bisa lepas dari masalah disinformasi dan penyebaran berita hoaks.

Apa yang saat ini kita lihat adalah tim pendukung dan simpatisan lebih sering mencari dan menyebarkan hal-hal buruk dari lawannya dibanding menyebarkan visi misi dan keunggulan program kerja calon yang diusungnya.

Persatuan dan kesatuan mengalami tantangan akibat polarisasi yang terjadi di masyarakat akibat pemilu. Salah satu contohnya adalah pertengkaran antara “cebong” dan “kampret” selama Pilpres 2019. Fenomena polarisasi politik ini terjadi karena masyarakat mudah terpecah belah. Selain itu, peran media sosial juga dapat terus melemahkan pandangan kita dalam memaknai perbedaan.

Kendati memiliki keunggulan, media sosial juga memiliki sisi negatif yang dapat mengancam demokrasi. Salah satu ancaman tersebut adalah munculnya gelembung konten berita palsu yang terus menerus mempengaruhi dan mengarahkan sikap serta perilaku masyarakat.

READ  Prabowo Tutup Kampanye dengan Joget Gemoy di Bangka Belitung

Algoritma media sosial yang didukung oleh rekaman database pengguna secara cerdas menampilkan konten-konten yang menarik penggunanya, termasuk pandangan politik mereka. Hal ini dapat memperkuat pandangan dan memicu fanatisme politik di kalangan masyarakat.

Pandangan tersebut diperkuat saat masyarakat hanya mengikuti dan melihat hal-hal yang disukai. Sistem rekomendasi media sosial cenderung menyajikan konten yang sejalan dengan pandangan politik pengguna media sosial. Fenomena filter bubbles ini menyebabkan informasi yang tersebar di media sosial disaring sesuai dengan pandangan pengguna itu sendiri.

Jerat media sosial tak dapat menampik adanya fanatisme dalam pandangan politik masyarakat. Para pengguna media sosial cenderung mencari konten yang sesuai dengan pandangan mereka, daripada yang bertentangan. Hal ini sejalan dengan mekanisme kurasi konten yang disediakan oleh media sosial. Dengan mudahnya media sosial menyajikan informasi dan berita yang sejalan dengan pandangan pengguna, hal ini menyebabkan polarisasi masyarakat yang semakin meningkat karena fanatisme dalam pandangan politik yang mereka anut.

Kontrasnya, media sosial juga merangsang pembenaran terhadap pandangan politik yang dipegang. Dalam mencari kebenaran, seringkali pengguna media sosial lebih memilih untuk membenarkan pandangan mereka dengan mencari konten yang mendukung pandangan tersebut. Ini dapat memperkuat keyakinan dan fanatisme dalam pandangan politik mereka.

Kita saat ini sedang berada dalam Era Misinformasi di mana berita palsu, tuduhan yang tidak berdasar, dan sindiran dapat dengan mudah menarik perhatian masyarakat terhadap suatu berita (O’Connor dan Weatherall, 2020). Dalam Era Misinformasi ini, kita hidup seakan berada di dalam gua digital atau gelembung konten berita palsu yang berpotensi mempengaruhi sikap dan perilaku kita. Batas antara fakta dan opini semakin kabur ketika masyarakat cenderung bersikeras pada pasca-kebenaran (post-truth).

Pola pikir post-truth dapat menjadi kenyataan ketika orang lebih banyak mengidentifikasi diri mereka dengan informasi palsu, kebohongan, dan “fakta alternatif” dibandingkan dengan gagasan kebenaran berdasarkan bukti empiris yang dapat diverifikasi. Kebenaran dalam post-truth sama halnya memaksa seseorang untuk mempercayai sesuatu, baik ada bukti kuat maupun tidak.

READ  Jejak Sejarah Penemuan Rafflesia Arnoldii: Keajaiban di Nusakambangan

Iklim sosial politik menjelang pilpres rentan terhadap post-truth karena objektivitas dan rasionalitas mudah dikalahkan oleh emosional. Akhirnya hoaks mudah menyebar. Masyarakat perlu menjadi lebih kritis terhadap wacana-wacana politik yang berkembang tanpa harus menjadi fanatik.

Ada beberapa tantangan yang perlu kita hadapi untuk mengembangkan sikap kritis dan tidak terjebak emosi dalam menghadapi tahun politik 2024. Pertama, kita harus telusuri sumber informasi atau berita yang kita dapatkan. Kedua, berhati-hatilah terhadap headline berita atau konten yang bersifat sensasional. Ketiga, penting untuk melakukan fact-checking atau verifikasi fakta sebelum mempercayai informasi tersebut. Terakhir, kita harus bisa membedakan antara kebenaran dan pembenaran.

Di dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk menggunakan hak politiknya, termasuk dalam memilih pilihan politiknya. Namun, penting untuk diingat bahwa demokrasi tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memecah belah masyarakat dengan mengedepankan partisan, orientasi ideologis, atau politik identitas. Pada kenyataannya, kita berharap bahwa pemilihan umum dapat menjadi ajang integrasi yang menyatukan seluruh anak bangsa.

Gendra Wisnu Buana, seorang mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi di UGM, menyampaikan pandangan ini. Ia berpendapat bahwa media sosial memiliki peran yang signifikan dalam penyebaran fanatisme politik. Sebagai platform komunikasi massal, media sosial memiliki potensi untuk mempengaruhi opini publik. Namun, media sosial juga seringkali menjadi ladang subur bagi fanatisme politik, di mana perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman dan mengakibatkan terpecahnya masyarakat.

Keberadaan media sosial telah memungkinkan setiap individu untuk dengan mudah menyebarkan pandangannya kepada khalayak luas tanpa kendali yang memadai. Hal ini menyebabkan berbagai kelompok masyarakat tertarik untuk memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan narasi dan gagasan politik mereka. Sayangnya, ketika fanatisme politik semakin berkembang, hal tersebut dapat menghasilkan konflik dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat.

READ  Agustiar Sabran: PDIP Makin Solid, Terbukti Dari Berkali-kali Pengkhianatan

Meningkatnya fanatisme politik juga berdampak negatif terhadap dialog konstruktif dan pemahaman yang saling menghormati antarindividu. Ketika seseorang terlalu keras berpegang pada pendapatnya sendiri, mereka cenderung tidak terbuka terhadap opini orang lain yang berbeda. Ini bisa membuat diskusi atau debat menjadi tidak produktif dan berujung pada konflik. Hal ini semakin diperburuk oleh media sosial yang seringkali menjadi ruang untuk menyebarkan propaganda politik dan desinformasi.

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi kita untuk membangun kesadaran akan peran penting media sosial dalam membentuk opini publik. Media sosial harus digunakan secara bertanggung jawab, dengan mempromosikan dialog yang sehat, menghargai perbedaan, dan memerangi penyebaran propaganda politik yang tidak berdasar. Selain itu, penting juga bagi pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kritis dalam mengkonsumsi informasi politik.

Sebagai individu, kita juga memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif dalam mengurangi fanatisme politik di media sosial. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

  • Menyaring informasi yang kita terima dan memverifikasi kebenarannya sebelum menyebarkannya ke publik.
  • Menghindari retorika yang polarisasi dan memperkuat stereotype.
  • Memahami bahwa setiap orang memiliki kebebasan berpendapat dan menghargai perbedaan pendapat.
  • Menggunakan media sosial sebagai sarana untuk berbagi pengetahuan, inspirasi, dan memperkuat persatuan.

Jadi, mari kita bijak dalam menggunakan media sosial dan membantu menciptakan suasana yang kondusif untuk menjalankan demokrasi yang sehat dan bermartabat.