Organisasi Islam Berambisi Menghasilkan Imam ‘Dibuat di Jerman’

indotim.net (Selasa, 23 Januari 2024) – Osman Soyer akhirnya dapat secara resmi menyebut dirinya sebagai “seorang utusan agama,” ujar dia saat diwawancara DW di ruang bawah Masjid Sehitlik, Berlin. Beberapa saat sebelumnya, ia secara resmi menjadi seorang imam dalam sebuah upacara kelulusan, di mana semua imam mendapatkan sebuah Kaftan yang dipadukan dengan sebuah peci berwarna putih.

Pria berusia 32 tahun ini termasuk salah satu dari 28 individu yang menyelesaikan pendidikan menjadi imam oleh DITIB, organisasi Islam Turki terbesar di Jerman. Sejak pertengahan Januari, mereka mulai bekerja di masjid-masjid yang dikelola oleh DITIB. Sebelumnya, Soyer bekerja di sebuah masjid di Kota Bonn. Menurutnya, menjadi imam memiliki tugas sosial yang sangat penting.

“Saya adalah seorang guru di sekolah, saya juga seorang muadzin, pengkhotbah, dan memberikan nasehat agama. Kami juga bertanggung jawab atas pernikahan dan pemakaman,” katanya.

Soyer berasal dari keluarga migran. Orang tuanya pindah dari Turki ke Jerman pada tahun 1972. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik di perusahaan otomotif Opel.

DITIB, yang mengelola sekitar 900 masjid di Jerman, mengungkapkan bahwa mereka berafiliasi dengan Diyanet, badan pengurusan urusan agama Islam oleh pemerintah Turki. Selama ini, Diyanet telah mendanai pengiriman imam-imam masjid dari Turki ke Jerman. Namun, keterkaitan ini memunculkan berbagai masalah karena banyak imam yang tidak mampu berbahasa Jerman dan sering kali memberikan propagenda politik yang diperkuat oleh Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Bahasa sebagai Fondasi Sosial

Dengan membiayai pendidikan imam di Jerman sendiri, Sekretaris Jenderal DITIB, Eyup Kalyon, mengungkapkan bahwa organisasinya telah menetapkan kebijakan baru, yaitu “menawarkan jasa” untuk memenuhi kebutuhan umat Muslim di Jerman, termasuk warga Turki maupun warga lainnya. Dengan cara ini, DITIB turut memperkuat “jalinan sosial” di Jerman, kata Kalyon.

READ  Mardiono Kunjungi Pondok Pesantren Tertua di Cilacap, PPP Didoakan Sukses di Pemilu

Di masa depan, bahasa Jerman akan “diperkuat dan dinomersatukan” lebih lanjut,” kata seorang juru bicara organisasi tersebut. “Bahasa Jerman akan menjadi bahasa yang menyatukan, terutama bagi warga Muslim. Oleh karena itu, bahasa Jerman merupakan bahasa pendidikan kita.”

Tuntutan untuk mendidik imam yang menguasai bahasa dan memahami konteks kehidupan muslim di Jerman bukanlah hal baru. Saat ini, kebanyakan imam atau pengkhotbah di masjid-masjid Jerman berbicara dalam bahasa Arab atau Turki. Akibatnya, sebagian warga muslim tidak memahami isi ceramah yang disampaikan.

Kondisi ini juga semakin memperumit pemerintah dalam mengawasi dan membatasi upaya radikalisasi remaja muslim di masjid-masjid.

Sejauh ini, hanya komunitas Ahmadiyah yang sejak tahun 2008 menawarkan pendidikan imam dengan kurikulum Jerman. Namun, DITIB baru memulai program serupa sekitar empat tahun yang lalu. Pada tahun 2021, Universitas Osnabruck membuka jurusan Studi Islam yang dinamakan Sekolah Islam Jerman (IKD).

Dalam pandangan mantan Menteri Dalam Negeri, Horst Seehofer, Organisasi Islam di Jerman (IKD) memiliki peluang untuk membuat kurikulum Islam yang “lebih sesuai dengan realitas hidup di Jerman.”

Dorongan dari Kemendagri

Seiring munculnya generasi baru imam di Jerman, Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser belum lama ini mengumumkan, pihaknya sedang menegosiasikan penghentian pengiriman imam oleh pemerintah Turki ke Jerman. Langkah ini diambil sebagai upaya penting dalam mendorong integrasi dan keterlibatan warga muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Jerman.

Di masa depan, pemerintah berencana untuk mencetak 100 imam setiap tahunnya dengan tujuan untuk disebar ke masjid-masjid di Jerman. Langkah ini diharapkan dapat menghasilkan “imam buatan Jerman” sehingga dapat lebih memahami konteks sosial, budaya, dan bahasa Negara tersebut.

READ  Polisi Mulai Lakukan Operasi Keselamatan, Sanksi Menanti

Dorongan untuk membatasi pengaruh luar di komunitas muslim di Eropa tercatat paling kuat di Prancis. Sejak tahun ini, pemerintah di Paris tidak lagi mengizinkan masuknya imam dari luar Eropa. Para imam nantinya harus dididik di lembaga-lembaga Prancis. Selama ini, imam masjid di Prancis kebanyakan didatangkan dari Maroko, Tunisia, atau Aljazair.

Mengutip dari Sekjen DITIB, Eyup Kalyon, lembaga pendidikan Islam di Prancis yang terletak di Kota Strassbourg menjadi salah satu model yang dijadikan acuan dalam pembentukan lembaga serupa di Jerman.

Perubahan Paradigma di Dalam Organisasi Islam

Serupa dengan Soyer, Kalyon merupakan salah satu tokoh Islam dari generasi baru di Jerman yang berusia 36 tahun. Dalam perkembangannya, DITIB mulai membatasi pengaruh dari Diyanet. Perubahan tersebut sangat terlihat ketika Kalyon bersebrangan dengan pendirian Ankara dan justru mengutuk serangan yang dilakukan oleh Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

Kedekatan baru dengan pemerintah Jerman telah terlihat ketika DITIB mengundang pejabat Kementerian Dalam Negeri, Jrn Thiessen, ke salah satu acara besar mereka. Di acara tersebut, Thiessen menegaskan ambisi pemerintah untuk bekerja sama dengan organisasi Islam dalam memperbaiki kehidupan umat Muslim di Jerman.

“Kami ingin mencetak setidaknya 100 imam per tahun di Jerman dan secara perlahan menghentikan pengiriman imam dari Turki,” kata dia kepada DW. Dengan begitu, pengaruh pemerintah Turki dan politisasi agama di masjid-masjid berbahasa Turki di Jerman dapat diakhiri dalam waktu satu dekade.

Pimpinan Organisasi Islam Jerman berusaha untuk mencetak imam-imam yang lahir dan dibesarkan di Jerman. Langkah ini dilakukan guna menghadapi kekurangan imam dan munculnya masalah ekstremisme di kalangan Muslim di negara tersebut.

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

READ  Tips Menjaga Kesehatan dan Pola Makan saat Puasa Ramadan