5 Strategi MK untuk Membentuk Ambang Batas Parlemen yang Baru

indotim.net (Jumat, 01 Maret 2024) – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan dari Perludem dan memutuskan bahwa ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar 4% dalam Undang-Undang Pemilu harus direvisi sebelum pelaksanaan Pemilu 2029. Selain itu, MK juga menyampaikan 5 hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan ambang batas parlemen yang baru.

Hal itu tertera dalam putusan MK nomor 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024). Dalam salah satu poin pertimbangannya, MK menyatakan norma pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 perlu segera dilakukan perubahan dengan memperhatikan lima hal secara sungguh-sungguh.

Menyusul hal tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa ambang batas parlemen yang telah ditetapkan dalam Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 perlu mengalami perubahan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang sangat penting, demikian disampaikan oleh MK.

Berikut ini adalah lima hal yang diusulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) agar diperhatikan secara serius dalam proses penyusunan ambang batas parlemen yang baru:

  1. Didesain untuk Digunakan Secara Berkelayakan
    Ambang batas parlemen harus dirancang agar dapat digunakan secara berkelanjutan tanpa perlu perubahan yang terlalu sering.
  2. Menjaga Proporsionalitas Sistem Pemilu
    Perubahan terkait ambang batas parlemen harus memperhitungkan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen agar tetap proporsional dalam sistem pemilu proporsional. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
  3. Penyederhanaan Partai Politik
    Perubahan yang dilakukan harus bertujuan untuk menyederhanakan struktur partai politik sehingga lebih transparan dan efisien.
  4. Penyelesaian Sebelum Pemilu 2029
    Perubahan terkait ambang batas parlemen harus diselesaikan sebelum tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029 dimulai agar tidak terjadi kebingungan dan ketidakpastian dalam proses pemilihan umum.
  5. Partisipasi Publik yang Bermakna
    Proses perubahan ambang batas parlemen harus melibatkan semua pihak yang peduli terhadap penyelenggaraan pemilihan umum. Prinsip partisipasi publik yang bermakna sangat ditekankan, termasuk dengan melibatkan partai politik yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
READ  Komunitas Ulama Kampung di Klaten Mendeklarasikan Dukungan untuk Pasangan Prabowo-Gibran

Dalam hal lain, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjelaskan bahwa penetapan ambang batas parlemen bukanlah sesuatu yang melanggar dalam sistem multiparti. Namun demikian, MK menyatakan bahwa ambang batas parlemen yang diterapkan sejak Pemilu 2009 di Indonesia telah menyebabkan puluhan ribu suara pemilih menjadi tidak berarti.

Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), fakta menunjukkan bahwa hak konstitusional pemilih yang digunakan dalam pemilu bisa diabaikan atau tidak dihitung karena alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan dukungan lembaga perwakilan yang efektif.

Padahal, prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Namun, kebijakan ambang batas parlemen telah mengurangi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga terancam ketika suaranya banyak namun tidak diwakili di DPR karena partainya gagal mencapai ambang batas parlemen,

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan tidak menemukan alasan rasional dalam penetapan ambang batas parlemen yang ada saat ini, yakni sebesar 4%. Menurut MK, ambang batas yang ada selama ini dinilai tidak signifikan dalam penyederhanaan partai.

Menurut Mahkamah Konstitusi, tidak ada dasar metode dan argumen yang memadai untuk menentukan ambang batas parlemen, termasuk penetapan minimal 4% suara sah secara nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017. Bahkan, dalam keterangan Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, MK tidak menemukan rasionalitas dalam penetapan persentase tersebut.

Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan sebagai berikut:

1. Memperkenankan sebagian dari permohonan Pemohon.

2. Menetapkan bahwa norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional untuk Pemilu DPR 2024. Selain itu, norma tersebut bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu selanjutnya dengan tetap melakukan perubahan terhadap ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan.

READ  Aliansi Pemuda Kawal Pemilu Desak KPU Evaluasi Sirekap, Dampak Suara Naik-Turun

3. Memerintahkan penyebaran Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Menolak permohonan Pemohon selain dari yang telah disebutkan.

Berikut adalah lima panduan penting yang disarankan oleh Majelis Komisi (MK) dalam penyusunan ambang batas parlemen yang baru:

  • Keterlibatan Stakeholder: Dalam proses penyusunan ambang batas parlemen baru, sangat penting untuk melibatkan seluruh stakeholder terkait, termasuk partai politik, masyarakat sipil, dan ahli hukum.
  • Transparansi: Seluruh proses penyusunan ambang batas parlemen harus dilakukan secara transparan untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan demokrasi kita.
  • Konsultasi Publik: Menyelenggarakan konsultasi publik secara luas akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan mendukung proses demokrasi yang inklusif.
  • Akritas: Ambang batas parlemen harus dirancang dengan cermat dan mempertimbangkan berbagai aspek akritas agar mewakili beragam suara dan kepentingan rakyat.
  • Keberlanjutan: Perlu dipastikan bahwa ambang batas parlemen yang ditetapkan dapat memberikan landasan yang kokoh bagi sistem demokrasi kita agar tetap berkelanjutan dan kuat.