Pangan yang Bijak Berutang: Membarui Prioritas di Tengah Ketidakpastian

indotim.net (Jumat, 19 Januari 2024) – Dalam menghadapi dinamika global yang jauh dari ideal, setiap negara harus membarui prioritas kepentingan nasional untuk mengatasi ketidakpastian yang ada. Hal ini juga berlaku untuk Indonesia sebagai upaya meminimalisir dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat. Fokus pada peningkatan produktivitas tanaman pangan serta pengelolaan utang luar negeri yang bijaksana menjadi pilihan cerdas bagi Indonesia.

Dalam situasi global yang tidak kondusif saat ini, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan gejolak, seperti perang atau konflik bersenjata di beberapa kawasan, serta dampak negatif perubahan iklim yang berdampak pada sektor pertanian, terutama pada tanaman pangan. Dampak-dampak negatif ini dapat dirasakan oleh setiap individu sepanjang tahun 2023, dan tantangan-tantangan serupa masih akan terus ada di masa depan.

Perubahan iklim bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi dinamika global, tetapi perang di berbagai kawasan juga masih menjadi bagian dari lanskap saat ini. Kondisi ini menambah kompleksitas tantangan yang harus dihadapi dalam mencari solusi terhadap persoalan-persoalan dunia saat ini. Dalam menghadapi ketidakpastian ini, strategi yang bijak dan pengelolaan yang efektif sangatlah penting.

Selain itu, terdapat juga kecenderungan bahwa dinamika global yang tidak kondusif akan terus meningkat, yang ditunjukkan oleh beberapa indikator terbaru. Salah satunya adalah hasil pemilihan umum di Taiwan pada awal tahun 2024 ini, yang menyebabkan reaksi marah dari para pemimpin elit di Tiongkok.

Layak menyebut sarat tantangan karena dunia saat ini masih terperangkap oleh gangguan pada aspek produksi dan suplai, disrupsi rantai pasok, gangguan lalu lintas barang dan jasa (distribusi), harga minyak (energi) yang tinggi, ancaman inflasi, perangkap suku bunga tinggi yang menggejala sejak Maret 2022, bayang-bayang krisis pangan produktivitas sektor tanaman pangan pada tingkat global pun terus mengalami penurunan. Dalam konteks Indonesia, fakta-fakta ini hendaknya digarisbawahi oleh para calon presiden yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024, Februari mendatang.

READ  Bamsoet: Penentuan Pangkat Jenderal Kehormatan ke Prabowo Sudah Sesuai

Untuk mengurangi dampak dari berbagai tantangan tersebut, Indonesia telah merencanakan impor sebanyak tiga juta ton beras. Jumlah impor beras yang begitu besar ini sebenarnya mencerminkan adanya masalah serius dalam aspek ketahanan pangan.

Program impor beras tersebut menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari karena produksi padi dalam negeri terus mengalami penurunan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi bahwa produksi padi pada tahun 2023 hanya akan mencapai 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG). Setelah diolah menjadi beras, total produksi beras pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 30,90 juta ton.

Jumlah tersebut menandai penurunan produksi padi sebanyak 1,12 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau 2,05 persen jika dibandingkan dengan produksi padi tahun 2022 yang mencapai 54,75 juta ton GKG. Dengan demikian, produksi beras pada tahun 2023 diperkirakan hanya sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebesar 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan dengan produksi beras tahun 2022 yang mencapai 31,54 juta ton.

Faktor menurunnya luas areal panen padi sangat penting untuk ditekankan dan perlu ditangani melalui program berkelanjutan. Menurut BPS, luas areal panen padi diperkirakan akan mencapai 10,20 juta hektare pada tahun 2023 setelah mengalami penurunan sebesar 255,79 ribu hektare atau 2,45 persen dibandingkan luas areal panen padi tahun 2022 yang mencapai 10,45 juta hektare.

Fakta mengenai defisit produksi bahan pangan, terutama beras perlu ditangani dengan serius melalui program yang realistis. Kami memiliki tekad untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan bukan hanya sebagai slogan semata.

Telah diingatkan berulang kali bahwa perubahan iklim membawa dampak sangat serius, terutama terhadap sektor tanaman pangan. Menurut perkiraan Organisasi Pangan Dunia (FAO), jika komunitas global gagal menangani persoalan peningkatan suhu bumi, dunia akan menghadapi krisis pangan pada tahun 2050.

Tidak elok jika para pemimpin era terkini mewarisi persoalan defisit produksi bahan pangan kepada generasi anak-cucu. Menyusutnya areal panen padi hendaknya mulai ditanggapi dengan program-program pemulihan kesuburan.

READ  Bertemu PGRI Banjarnegara, Bamsoet Membahas Pentingnya Kesejahteraan Guru

Upaya untuk meningkatkan produktivitas sektor tanaman harus dimulai sejak dini. Penting untuk diingat bahwa sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari defisit bahan pangan akan meluas ke berbagai aspek, termasuk politik, stabilitas, ketahanan, dan keamanan negara-bangsa.

Selain itu, di era suku bunga tinggi saat ini, kebijakan pengutang luar negeri dan pengelolaan serta pemanfaatannya harus dilakukan dengan hati-hati, sambil selalu memperhatikan skala prioritas. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan suku bunga acuan yang tinggi di tingkat global yang diperkirakan akan berlangsung lebih lama. Faktor suku bunga yang tinggi juga berdampak pada peningkatan beban pembayaran bunga utang luar negeri.

Total utang luar negeri Indonesia hingga akhir November 2023, seperti yang tercatat oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mencapai Rp 8.041,01 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 38,11 persen. Pembayaran bunga utang pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 masih tinggi, yakni sebesar Rp 441,4 triliun. Tingginya suku bunga saat ini pasti akan berdampak pada jumlah bunga utang di tahun-tahun mendatang.

Maka, kebijakan utang luar negeri saat ini dan seterusnya, idealnya selalu berpijak pada skala prioritas atau sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Berutang ketika dinamika global sarat ketidakpastian seperti sekarang ini haruslah dilandasi pertimbangan yang arif lagi bijaksana. Karena itu, jangan gegabah memanfaatkan utang dan mulailah lebih bersungguh-sungguh mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan.

Adalah fakta bahwa dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sementara perang antara Israel dengan militan Hamas di Gaza masih berlanjut, kawasan Laut Merah pun membara pada pekan kedua Januari 2024. Amerika Serikat (AS) dan Inggris menyerang beberapa wilayah Yaman sebagai respons terhadap penguasa negara tersebut, Houthi, yang menyerang kapal dagang di perairan itu.

READ  Kemayoran Jakpus, Terbakar dan Dilalap Api, 33 Mobil Damkar Dikerahkan

Houthi dilaporkan telah menembakkan rudal jelajah dari wilayah Yaman, dan Amerika Serikat (AS) mengklaim berhasil menembak jatuh rudal tersebut. Meskipun demikian, Houthi tetap bertekad untuk melanjutkan perlawanan mereka, dengan memastikan serangan terhadap kapal dagang yang melintasi perairan Laut Merah dan Terusan Suez.

Selain itu, pada pekan kedua Januari 2024, Turki menggelar operasi militer dengan melancarkan serangkaian serangan udara terhadap situs-situs Kurdi di Irak utara dan Suriah. Serangan ini dilakukan sebagai tanggapan atas kematian sembilan tentara Turki sebelumnya.

Sementara itu, di Gaza, Israel telah memastikan bahwa pertempuran melawan militan Hamas akan berlangsung selama beberapa bulan ke depan. Begitu pula, pertempuran antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut hingga saat ini.

Di Asia, tegangan antara negara semakin meningkat. Seperti yang telah kita lihat bersama, pada Sabtu (13/1), pemilihan presiden Taiwan menghasilkan Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik (DPP) sebagai pemenang dengan meraih 40,1 persen suara.

Dikenal sebagai sosok yang sering menimbulkan masalah (troublemaker), Lai jelas tidak disenangi oleh Beijing. Bahkan sebelum Pemilu dimulai, pemimpin di Beijing sudah memberikan pernyataan tegas dan keras sebagai peringatan.

“Kami sampaikan kepada komunitas internasional bahwa antara demokrasi dan otoritarianisme, kami akan berpihak pada demokrasi,” ujar Lai.

Pernyataan Lai mendapat tanggapan dari juru bicara Kantor Urusan Taiwan di Beijing, Chen Binhua. Beliau menegaskan kembali bahwa Taiwan merupakan wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari kedaulatan integral Tiongkok.

Bisa ditebak bahwa setiap manuver pemimpin baru Taiwan pasti akan ditanggapi dengan keras dan tegas oleh Beijing. Hal ini mengakibatkan semua negara di kawasan ikut dipaksa untuk terus memantau eskalasi ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan, beserta segala kemungkinan dan dampak yang mungkin terjadi. Kondisi ini menjadikan dunia sedang dalam situasi yang tidak menguntungkan.

Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI dan Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN)