indotim.net (Jumat, 01 Maret 2024) – Sejumlah 78 pegawai KPK mendapat sanksi etik berupa permintaan maaf. Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM menyoroti peraturan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang dianggap kontroversial.
“Bentuk sanksi etik yang dijatuhkan Dewas itu sangat melukai perasaan masyarakat. Memang betul sanksi etik terberat yang bisa dijatuhkan adalah permintaan maaf, sesuai perdewas tentang kode etik. Sekali lagi sangat tidak seimbang, tidak sesuai, dan tidak logis, melukai keadilan masyarakat,” ujar Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman kepada wartawan, Kamis (29/2/2024).
“Peraturan yang dijalankan seharusnya sesuai dengan kode etik yang seharusnya bersifat benar, namun kenyataannya menunjukkan hal sebaliknya. Kode etik yang disusun oleh Dewas tersebut perlu kritik lebih lanjut, karena terlihat rusak dan tidak sesuai,” ujar Pukat UGM.
Zaenur menilai sanksi kode etik yang diberikan sepatutnya berupa pemecatan. Dia juga membahas dampak dari revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019.
“Harusnya seperti apa peraturan kode etik itu? Ya harusnya peraturan kode etik juga harus dapat memberhentikan pegawai yang pelanggaran berat,” kata sumber tersebut.
“Tapi pernah saya sampaikan ini tidak mudah karena UU KPK dalam UU 30 2002 diubah 2019 itu tidak memberikan kewenangan secara eksklusif kepada Dewas untuk memberhentikan pimpinan, masalahnya di situ,” tambahnya.
Medan- Peneliti, Pengkaji, dan Pengawas Tatanan Kenegaraan (Pukat) UGM Arie Padang mengkritisi sanksi ringan yang diterima pelaku pungli di KPK dan Kemenag. Menurutnya, pelaku pungli harusnya bisa dipecat tanpa ampun.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut masih ada kemungkinan pegawai yang terlibat praktik pungutan liar (pungli) di rutan akan diberhentikan. Langkah tersebut dianggap sebagai sanksi paling berat dari segi disiplin, selain permintaan maaf sebagai bentuk hukuman etik.
Hal tersebut disampaikan oleh Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri, saat berlangsungnya acara “Tanya Jubir: Pungli di Rutan KPK?” pada Kamis (29/2/2024). Ali menjelaskan bahwa para pegawai yang terlibat dalam kasus pungli tersebut telah dikenai dua putusan hukuman.
Meskipun pelaku pungutan liar (pungli) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah meminta maaf, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan bahwa seharusnya mereka bisa langsung dipecat.
“Merekomendasikan permintaan maaf secara langsung dan terbuka di depan pejabat pembinaan kepegawaian Pegawai Pemberantasan Korupsi (PPK) dalam hal ini Sekretaris Jenderal. Putusan kedua, merekomendasikan agar dijatuhkan sanksi disiplin oleh Inspektorat KPK. Inilah wilayah administratif nantinya,” kata Prof. Ali, sebagai perwakilan dari Pukat UGM.
Ali menekankan bahwa permintaan maaf sebagai bentuk sanksi merupakan aspek etika yang penting dalam penegakan disiplin.
Sementara itu, sanksi administratif dari segi disiplin akan diputuskan oleh inspektorat terkait.
“Sebagai langkah kedua, pemeriksaan disiplin dilakukan oleh Inspektorat. Di dalam proses disiplin ini, hukuman terberat yang bisa diberikan adalah pemecatan,” ungkap narasumber.
“Dari sisi disiplin. Jadi bukan sisi di Dewan Pengawas KPK, begitu ya,” tambahnya.
Kesimpulan
Pukat UGM menyoroti sanksi etik permintaan maaf yang diterima oleh 78 pegawai KPK terkait kasus pungli, menyatakan bahwa peraturan kode etik Dewas KPK perlu direvisi untuk memungkinkan pemecatan sebagai sanksi yang sesuai, dengan penekanan bahwa sanksi administratif pemecatan seharusnya menjadi opsi yang lebih dipertimbangkan dalam penegakan disiplin terhadap pelaku pungli.