indotim.net (Selasa, 27 Februari 2024) – Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyoroti rencana penonaktifan 94 ribu KTP warga yang meninggal dunia dan tak lagi tinggal di Jakarta setelah Pemilu 2024 beres. Trubus menilai kebijakan tersebut cenderung dipaksakan dan berpotensi memicu benturan di masyarakat.
“Meskipun tujuannya mungkin baik, pemerintah selalu mengklaim bahwa tujuannya baik. Namun, menurut pandangan saya, kebijakan ini terasa dipaksakan, sangat elitis, dan berpotensi menimbulkan gesekan di kalangan masyarakat,” ujar Trubus di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, pada Selasa (27/2/2024).
Trubus juga menyoroti kekurangan sosialisasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI kepada masyarakat terkait pemblokiran NIK. Oleh karena itu, Trubus meminta agar Pemprov DKI meningkatkan sosialisasi dan edukasi terlebih dahulu.
“Menurut saya, kebijakan ini terlalu terburu-buru dalam menonaktifkan NIK warga. Mengapa begitu? Saya lihat masyarakat kita kurang literasi dan minim informasi dari pemerintah. Secara tiba-tiba, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Terkesan seperti sanksi, seharusnya langkah preventif diambil terlebih dahulu. Masyarakat perlu dididik dan diberi informasi secara komprehensif sebelum penerapan kebijakan tersebut,” tegasnya.
Trubus menilai bahwa kebijakan penonaktifan KTP dapat membawa dampak negatif bagi warga dalam mengakses layanan BPJS dan perbankan. Dia mengungkapkan kekhawatiran bahwa hal tersebut dapat menimbulkan masalah baru apabila tidak disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.
“Yang paling berisiko adalah layanan kesehatan, BPJS merupakan hal yang strategis, ini bisa mengejutkan. Saya cemas hal ini akan memunculkan sikap perlawanan. Kesehatan adalah urusan yang tidak bisa ditunda,” ungkapnya.
“Saya khawatir ada potensi free rider, orang-orang yang memanfaatkan ini. ‘Kalau mau layanan kesehatan cepat, NIK mati ya bayar aku’, perilaku korupsi selalu muncul di situ,” sambungnya.
Saat dimintai pendapat mengenai waktu yang tepat untuk melaksanakan penonaktifan KTP, Trubus merujuk kepada regulasi yang telah disepakati. Namun, ia menegaskan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan seharusnya mengikuti kondisi sosial masyarakat dengan cermat.
“Kalau saya kembali kepada regulasi, tapi jelas ada kebijakan yang menurut saya kondisi yang ada di masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
DKI Akan Nonaktifkan 94 Ribu KTP Warga
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencacatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta Budi Awaluddin sebelumnya mengatakan sosialisasi telah digencarkan sejak September 2023. Ia menyatakan bahwa tertib administrasi kependudukan diberlakukan demi kepentingan masyarakat secara luas, mengingat keakuratan data dapat memengaruhi proses pembangunan daerah serta kebijakan publik guna menciptakan keberadaban kehidupan masyarakat yang madani dan sejahtera.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
“Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta telah berupaya melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat yang ber-KTP DKI, baik yang berada di luar DKI Jakarta maupun yang bertempat tinggal di wilayah DKI Jakarta, terkait penataan tertib administrasi kependudukan sejak September 2023,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Senin (26/2).
Disdukcapil DKI Jakarta mulai menonaktifkan 94 ribu KTP warga yang meninggal dunia dan tak lagi tinggal di Jakarta setelah Pemilu 2024 beres. Waktu tersebut ditentukan setelah mendapat rekomendasi dari Komisi A DPRD DKI Jakarta.
Menanggapi rencana penonaktifan 94 ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) di DKI Jakarta, Pengamat Kebijakan Publik, Budi Santoso, secara tegas mengungkapkan kritiknya. “Memang ini hasil rekomendasi dari Komisi A DPRD DKI Jakarta pada saat kami paparan sosialisasi tahun lalu,” ujarnya.
Dalam konteks tersebut, dia menyoroti bahwa penonaktifan KTP tersebut memiliki dampak yang signifikan terutama bagi warga yang tengah berada di luar Jakarta. Jumlah penduduk yang meninggalkan Jakarta mencapai 243.160 orang, sedangkan penduduk yang merantau dan menetap di Jakarta hanya sebesar 136.200 orang selama tahun 2023.
Ada 94 ribu KTP yang akan ditertibkan. Jumlah itu terdiri atas 81 ribu KTP warga telah meninggal dunia dan 13 ribu warga sudah tak bermukim di RT sesuai yang tercantum di KTP.
Hal ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk pengamat kebijakan publik. Menurut Harry Santoso, pengamat kebijakan publik senior, langkah ini dinilai tidak manusiawi dan kurang sensitif terhadap kondisi riil masyarakat.
Budi menjelaskan, KTP warga yang ditertibkan di antaranya tercatat sebagai penduduk yang tak lagi berdomisili secara de facto selama lebih dari setahun, penduduk wajib punya e-KTP tapi tidak melakukan perekaman selama 5 tahun sejak usia wajib KTP termasuk meninggal dunia, penduduk yang dicekal dari instansi/lembaga hukum terkait, maupun penduduk yang mendapat keberatan dari pemilik rumah, kontrakan, atau bangunan.