Perjalanan Taiwan-China di Bawah Pemimpin Baru: Kemana Arahnya?

indotim.net (Sabtu, 20 Januari 2024) – Hasil pemilihan presiden dan parlemen di Taiwan menjadi berita buruk bagi Beijing dan berpotensi membuat hubungan antara kedua pihak tetap dingin, demikian disampaikan oleh para ahli kepada DW.

Pada Sabtu (13/01) malam, Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa di Taiwan berhasil mengamankan jabatan presiden ketiga berturut-turut. Hal ini memecahkan rekor karena tidak ada partai politik yang berkuasa lebih dari dua periode sejak pulau tersebut memilih pemimpin pertamanya di tahun 1996.

Presiden terpilih William Lai Ching-te akan memulai masa jabatannya pada tanggal 20 Mei. Dalam pidato kemenangannya, ia menyatakan bahwa Taiwan telah memilih untuk “berpihak pada demokrasi” daripada menuju otoritarianisme.

Malamnya, Kantor Urusan Taiwan di bawah pemerintah China menganggap hasil pemilu ini sebagai kemenangan sepi. Mereka menyatakan bahwa hasil pemilu tidak mencerminkan opini publik di Taiwan secara keseluruhan. Selain itu, Kantor Urusan Taiwan menambahkan bahwa pemilu ini tidak akan dapat menghentikan “tren tak terbendung menuju penyatuan kembali tanah air”.

Beijing memiliki klaim atas wilayah Taiwan. Di bawah kepemimpinan Xi Jinping selama satu dekade terakhir, China semakin kuat tekadnya untuk menyatukan kembali pulau tersebut yang saat ini diatur secara demokratis.

William Lai Ching-te, yang berusia 67 tahun, meraih sekitar 40% suara dalam pilihan umum melawan dua kandidat lainnya, yaitu Hou Yu-ih dari partai oposisi utama Kuomintang (KMT) dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP) yang relatif baru dibentuk.

“Mereka (China) tidak menyukai Lai. Ini berita buruk karena orang yang mereka tidak inginkan untuk menang justru menang,” kata Lev Nachman, ilmuwan politik di Universitas Nasional Chengchi Taiwan, kepada DW.

READ  China Ajukan Konferensi Perdamaian Gaza, Tekankan Solusi 2 Negara yang Dikejar Dunia

Muncul pertanyaan besar mengenai arah hubungan antara Taiwan dan China di bawah kepemimpinan baru. Dalam pemilihan presiden Taiwan pada Januari 2020, Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik (DPP) berhasil memenangkan kembali jabatan presidennya. Hal ini dianggap tidak menyenangkan oleh China, yang lebih mendukung kandidat dari Partai Nasional Kuomintang (KMT).

Menurut Lev Nachman, kemenangan Tsai Ing-wen dapat menjadi ancaman bagi China karena ia telah menunjukkan sikap yang lebih keras terhadap Beijing dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya. China mungkin akan mempersulit upaya Taiwan untuk memperoleh pengakuan internasional dan memperluas hubungan luar negerinya.

Berdasarkan komentar Lev Nachman, terlihat bahwa China tidak senang dengan pemerintahan baru di Taiwan. Hal ini menambah ketegangan dalam hubungan antara kedua negara, yang memang sudah tegang sejak lama.

Namun, “ada hikmahnya dari sudut pandang RRC,” kata Nachman. Ia menyoroti bahwa Lai tidak memperoleh 50% suara. Hal ini berarti: “Mayoritas masyarakat tidak memilih DPP atau Lai. Itu masalah besar.”

Sementara banyak pakar percaya bahwa kemenangan DPP sesuai dengan harapan China, Chang Wu-ueh, seorang pakar hubungan lintas selat di Universitas Tamkang, mengungkapkan kepada DW bahwa sebagian besar pejabat China telah memprediksi hasil ini dan sedang mempersiapkan tanggapan yang mungkin.

“Langkah-langkah intimidasi militer dan tekanan ekonomi sebelum pemilu kemungkinan besar akan ditingkatkan di era setelah pemilu,” ungkap Chang Wu-ueh.

Hubungan China-Taiwan diperkirakan tetap dingin

Taiwan, yang berjarak sekitar 1,6 kilometer dari China, berpotensi menjadi salah satu titik konflik paling krusial di dunia. Dalam delapan tahun terakhir kekuasaan DPP, dialog resmi antara kedua kubu terhenti.

READ  Panggilan Pawai Ke Al-Aqsa di Awal Ramadan Oleh Pemimpin Hamas

Dengan mulai menjabatnya Lai, Washington dan negara-negara Barat lainnya pun secara cermat mengamati bagaimana kebijakannya terhadap China dapat mengubah situasi yang sudah tegang.

“Saya tidak berpikir akan ada perang, namun saya pikir RRC akan tetap tidak mengangkat teleponnya,” kata Nachman, seraya menambahkan bahwa “hubungan yang lebih dingin” diperkirakan akan berlarut-larut dan Lai kemungkinan besar tidak akan melakukan hal untuk mengubah status quo.

Sementara Chong Ja Ian, seorang profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, mengatakan kepada DW bahwa Xi Jinping memang tidak puas dengan hasil pemilu Taiwan dan ingin meningkatkan tekanan terhadap Taiwan. Namun Xi juga diperkirakan “khawatir akan terjadinya eskalasi yang tidak terkendali pada saat perekonomian Republik Rakyat Tiongkok sedang mengalami keterpurukan.”

Dalam pidato kemenangannya pada hari Sabtu, Lai berjanji akan bertindak sesuai dengan konstitusi “Republik China,” nama resmi Taiwan, dengan cara yang “mempertahankan status quo lintas selat.”

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, dalam pernyataannya menyampaikan ucapan selamat kepada Taiwan, menegaskan kembali komitmen untuk “menjaga perdamaian dan stabilitas lintas selat.” Dia juga berjanji untuk melanjutkan “hubungan tidak resmi yang telah lama terjalin.”

Ujian nyata bagi pemerintahan Taiwan

Para pakar juga meyakini bahwa parlemen baru akan menjadi tantangan besar bagi kepemimpinan Lai. Hal ini mengingat fakta bahwa tidak ada partai politik yang mendapatkan mayoritas mutlak di lembaga legislatif.

Chong, seorang profesor politik di Singapura, menjelaskan bahwa “seorang presiden tanpa dukungan mayoritas legislatif harus menghadapi agenda legislatifnya sendiri, yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri.”

Pada pemilihan terakhir, DPP kehilangan 11 kursi di parlemen Taiwan yang memiliki total 113 kursi, sehingga memberikan keunggulan kepada KMT yang berhasil meraih 52 kursi. Sementara TPP yang hanya mendapatkan 8 kursi, menjadi minoritas penting yang siap berperan.

READ  Filipina Mendakwa Tindakan China Membekukan Kapal di Laut China Selatan

Situasi serupa, ketika partai berkuasa gagal memperoleh mayoritas, terjadi pada tahun 2000 ketika mantan Presiden Chen Shui-bian dari DPP terpilih.

Profesor Chong menyatakan bahwa terdapat saat-saat ketika Chen Shui-bian semakin frustrasi, sehingga ia mulai merumuskan kebijakan lintas selat dengan cara yang lebih berisiko. Salah satu kebijakan tersebut adalah “Satu Negara di Setiap Sisi,” yang menunjukkan bahwa China dan Taiwan dianggap sebagai dua negara yang berbeda.

Meskipun karakter William Lai Ching-te terlihat berbeda dengan karakter Chen Shui-bian, Chong menekankan, “tidak ada yang tahu pada saat ini” bagaimana pemimpin baru akan merespons tekanan ekstrem ketika berdiri di posisi teratas.

(ae/hp)

Terkait perubahan pemimpin di Taiwan dan China, banyak pihak yang menantikan arah hubungan antara kedua negara tersebut. Terlepas dari perbedaan politik dan sejarah yang panjang, kolaborasi yang saling menguntungkan masih menjadi harapan bagi banyak orang.

Pemimpin baru Taiwan, dengan visinya yang berbeda dari pendahulunya, memiliki peluang untuk mengubah arah hubungan dengan China. Namun, apa yang akan terjadi di masa depan masih belum pasti.

Di satu sisi, beberapa orang berharap agar Taiwan mengambil sikap yang lebih independen dari China, dengan meningkatkan hubungan dengan negara-negara lain dan mencari kepentingan sendiri dalam politik dan ekonomi global.

Di sisi lain, ada juga yang percaya bahwa Taiwan dan China seharusnya meningkatkan komunikasi dan kerja sama, baik dalam bidang perdagangan, pendidikan, pariwisata, maupun isu-isu politik lainnya. Dalam pandangan mereka, hal ini dapat membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.