17 Tahun Aksi Kamisan: Memori Membentuk Masa Depan

indotim.net (Senin, 22 Januari 2024) – Culpae poena par esto. Hukuman harus setimpal dengan kejahatannya. Adagium ini sangat relevan dengan Aksi Kamisan. Adagium ini menjadi sebuah panggilan moral yang menegaskan bahwa pelaku pelanggaran HAM berat harus mendapatkan hukuman yang sesuai.

Pada 18 Januari 2024, Aksi Kamisan telah genap berusia 17 tahun. Ini merupakan perjalanan panjang yang menuntut keadilan bagi mereka yang kehilangan keluarga akibat tragedi pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalam kurun waktu yang tidak singkat selama 17 tahun, para keluarga korban dengan sabar terus menantikan kepastian dan keadilan atas pelanggaran HAM berat yang belum mendapatkan hukuman yang setimpal.

Pada tanggal 18 Januari 2007, dimulailah peristiwa yang menggugah hati yang dikenal sebagai Aksi Kamisan. Inisiatif luar biasa ini berasal dari tiga keluarga yang berani, yang merasakan sendiri penderitaan yang diakibatkan oleh pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia. Tiga keluarga tersebut adalah Maria Sumarsih, orang tua dari Bernardus Realino, korban Tragedi Semanggi 1; Suciwati, istri Munir; dan Bedjo Untung, pemimpin Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965.

Aksi Kamisan adalah bentuk tuntutan kepada negara untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu, aksi ini juga menjadi pengingat yang tak kenal lelah terhadap ketidakadilan yang masih berlarut-larut. Aksi Kamisan dikenal dengan peserta aksi yang mengenakan pakaian hitam sambil membawa payung hitam. Pemilihan warna hitam sebagai simbol kekuatan dari kesedihan yang berubah menjadi kasih sayang kepada para korban. Sementara itu, payung diartikan sebagai lambang perlindungan, dan Istana Presiden menjadi simbol kekuasaan.

Aksi Kamisan tidaklah biasa; ini adalah seruan mereka yang meminta penyelesaian terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Talangsari, Pembunuhan Munir, hingga Tragedi 1965-1966 di Indonesia.

READ  Fahri Hamzah Kritik Putusan MK: Apa Dampak Parliamentary Threshold Terhadap Demokrasi?

Menggantungnya Keadilan

Dalam momentum Aksi Kamisan yang ke-17, keluarga-keluarga yang merasakan penderitaan akibat pelanggaran HAM berat dan para pembela hak asasi manusia mengajukan tagihan moral kepada negara. Mereka menuntut pertanggungjawaban untuk membawa keadilan terhadap kisah-kisah kejahatan kemanusiaan yang selama puluhan tahun terabaikan tanpa solusi dari Sang Penguasa.

Apabila kita merujuk pada pemikiran Aristoteles tentang teori keadilan korektif, Aksi Kamisan bertujuan untuk memperbaiki atau menyelaraskan hal-hal yang tidak benar; memberikan kompensasi kepada pihak yang merasa dirugikan; atau memberikan sanksi yang sesuai bagi pelaku kejahatan. Namun, sayangnya hal tersebut belum terwujud hingga saat ini. Para pelaku pelanggaran HAM berat masih bebas tanpa ada proses hukum yang berlaku.

Harapan dari Seberang IstanaAksi Kamisan bukan hanya merupakan lambang keberanian bagi mereka yang telah mengalami penderitaan dan luka akibat pelanggaran HAM, tetapi juga mencerminkan konsistensi mereka yang tetap teguh dalam menuntut keadilan. Aksi Kamisan bukan sekadar sebuah protes untuk menuntut keadilan, tetapi juga sebuah pengingat yang berusaha menggambarkan kekejaman masa lalu yang tidak boleh diabaikan.

Melalui momentum peringatan 17 tahun Aksi Kamisan, harapan dari seberang istana terus meningkat untuk menuntut keadilan dari pemerintah. Aksi tersebut merupakan simbol perjuangan bagi para pencari keadilan di Tanah Air, yang berharap bahwa suatu saat negara akan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Aksi Kamisan tidaklah semata-mata dagangan politik setiap lima tahun menjelang pemilu. Ia merupakan suatu bentuk perjuangan yang terus mengalir, karena merujuk pada tuntutan akan keadilan dan pemenuhan hak asasi manusia yang tidak dapat diabaikan.

Kesimpulan

Aksi Kamisan merupakan perjalanan panjang selama 17 tahun yang mengajukan tuntutan keadilan terhadap pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dengan mengenakan pakaian hitam dan membawa payung hitam, peserta aksi mengingatkan kita akan ketidakadilan yang masih berlarut-larut. Meskipun telah dijalankan selama bertahun-tahun, hingga saat ini, pelaku pelanggaran HAM berat masih bebas tanpa proses hukum yang berlaku. Namun, Aksi Kamisan tetap merupakan simbol perjuangan dan harapan bagi mereka yang mencari keadilan. Melalui tuntutan moral ini, diharapkan bahwa negara akan bertanggung jawab dan memberikan keadilan atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

READ  Mengapa Pencairan KIP Kuliah Lambat? Ini Penyebabnya dan Solusinya