indotim.net (Senin, 26 Februari 2024) – Perombakan kabinet yang dilakukan oleh Jokowi pada Rabu (21/2/2024) lalu menjadi titik terang rekonsiliasi politik antara Presiden Joko Widodo dan Partai Demokrat. Meskipun memiliki judul yang berbeda, Partai Demokrat masih saja merujuk pada sosok-sosok besar seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Salah satu berkah terbesar dari terjadinya kesepakatan politik ini adalah penunjukan AHY sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk periode sisa pemerintahan yang tinggal 8 bulan.
Jadi, secara politik Jokowi ibarat sekali mendayung tiga pulau terlampaui. Berdamai dengan tiga hal sekaligus. Yakni dengan Demokrat secara kelembagaan, SBY, dan AHY.
Praktis sejak jadi menteri AHY mulai menunjukkan loyalitasnya ke Jokowi. Bukan hanya bertekad menggebuk mafia tanah dalam 100 hari kinerjanya, melainkan AHY juga secara kelembagaan menjadi pembela terdepan menolak usulan hak angket yang sedang bergulir.
Tentu sikap politik AHY berbeda secara diametral dengan sikap politik Demokrat yang selama 9 tahun berada di luar kekuasaan. Menyalak sepanjang saat mengkritisi setiap jengkal kebijakan politik Jokowi. Mulai dari pembangunan IKN yang dinilai membebani anggaran negara, pembangunan infrastruktur yang dituding ugal-ugalan, kondisi demokrasi yang mundur, isu begal Demokrat, hingga tuduhan pemilu 2024 yang sudah diseting jumlah paslon yang bakal bertanding.
Bahkan Juni lalu SBY menulis buku yang dianggap maha dahsyat dan paling spektakuler sepanjang abad ini berjudul “The President Can Do No Wrong”. Isinya membahas Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi. SBY menyoroti manuver politik Jokowi yang dinilai terlalu jauh campur tangan dalam persoalan politik elektoral.
Tindakan tersebut dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang presiden yang masih aktif karena berpotensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. SBY dengan tegas mengkritik langkah-langkah Jokowi.
Itu sikap politik SBY, AHY, dan Demokrat dahulu. Kini, cuaca politik berubah total. Rekonsiliasi politik terjadi dalam sekejap. Tak ada yang menyangka, tak ada yang menduga, tiba-tiba saja Demokrat dan Jokowi berkongsi dalam satu kolam koalisi bersama. Mengubur segenap perbedaan yang mengeras tajam cukup lama. Ternyata, politik bisa melenturkan segalanya. Sesuatu yang sekeras baja sekalipun bisa melunak seketika.
Menebak Motif
Dalam dunia politik, seringkali terjadi kesepakatan saling menguntungkan untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Keterlibatan Demokrat dalam koalisi pemerintahan Jokowi merupakan salah satu contoh nyata dari hubungan politik yang didasari oleh kepentingan bersama. Sebuah fenomena alam dalam dinamika politik yang kompleks, di mana tidak ada yang bisa bertindak sepihak. Politik pada dasarnya tidak serumit yang dibayangkan banyak orang. Ada momen di mana kepentingan bersama menjadi kunci dari kesuksesan sebuah koalisi.
Dari sudut pandang Jokowi, ada dua hal yang bisa disimak. Pertama, sebagai bentuk penghargaan kepada AHY yang terlihat sangat berkomitmen dalam upaya memenangkan pasangan Prabowo-Gibran sepanjang kampanye pilpres 2024. Semua alat politik Demokrat dimanfaatkan secara maksimal untuk mengkampanyekan pasangan calon nomor 2 dengan cara massif.
Tak lupa, SBY juga turun tangan terutama di lokasi-lokasi pendukung partai yang memiliki lambang Mercy.
Sedangkan yang kedua sebagai upaya membendung usulan hak angket yang digulirkan partai pengusung AMIN dan Ganjar-Mahfud. Hak angket menjadi isu liar yang sangat meresahkan karena isunya bisa merembet ke segala penjuru arah mata angin. Bukan hanya isu kecurangan pemilu tapi bisa merembet ke isu pemakzulan presiden.
Meski hanya sebatas wacana, isu hak angket tentu membuat situasi tidak nyaman. Sebelum AHY dilantik menjadi menteri, Demokrat masih berada dalam posisi oposisi. Dalam kalkulasi kekuatan politik, hanya Gerindra, Golkar, dan PAN yang sejalan dengan Jokowi. Namun, kekuatan gabungan dari ketiga partai ini tidak dominan di Senayan. Penerapan hak angket bisa menjadi sangat riskan dan rentan terhadap kemungkinan hambatan yang akan menghambat jalannya proses.
Pada sisi Demokrat, reshuffle ini memiliki dua dampak yang berbeda. Pertama, sebagai platform politik yang akan menunjukkan kualitas kepemimpinan AHY. Meskipun mungkin ada yang tidak setuju, AHY belum pernah benar-benar diuji dan dinilai kinerjanya sebagai pejabat publik sejauh ini. AHY belum pernah menjabat sebagai kepala daerah, anggota dewan, menteri, atau pejabat publik terpilih dari hasil pemilu.
Kedua sebagai kebutuhan mengakses sumber daya ekonomi politik. Harus diakui menjadi oposisi 9 tahun membuat Demokrat berjalan di tempat sunyi. Saluran terhadap ekonomi politik kering kerontang. Tak ada sumber daya (resource) yang bisa dikapitalisasi untuk kepentingan politik elektoral. Apapun dalihnya, banyak partai yang menggantungkan kekuatan dan masa depan partai mereka dengan mengakses kekuasaan. Hal alamiah dalam politik yang berbiaya sangat mahal.
Jalan Panjang AHY
AHY berhasil mencapai posisi saat ini sebagai Menteri ATR/BPN setelah melewati perjalanan yang panjang, berliku, dan penuh tantangan. Karir politik AHY sempat stagnan setelah kekalahan dalam Pilkada Jakarta 2017. Banyak yang meragukan kemampuan politik AHY mengingat kehadiran berbagai tokoh besar yang mendominasi panggung politik.
Setelah perpisahan dan kekecewaan yang terjadi sebelumnya, hubungan antara Demokrat dan Prabowo kini kembali dijalin. Seakan Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK), Demokrat kembali berkolaborasi dengan Prabowo untuk periode lima tahun ke depan.
AHY tidak patah arang. Ia terus berupaya untuk tetap eksis di panggung politik nasional. Komunikasi yang telah dibangunnya cukup lama dengan Anies Baswedan, dengan harapan untuk berduet di ajang pilpres 2024. Meskipun keduanya memiliki chemistry yang sama dan suasana hati sebagai oposan yang serupa, keduanya sama-sama tegas menyerang Jokowi. Namun, harapan AHY untuk maju di pilpres kembali terhenti. Anies Baswedan malah memilih untuk berpasangan dengan Muhaimin Iskandar.
Mungkin inilah takdir politik yang harus dijalani AHY saat ini. Memulai karir politiknya sebagai menteri, bukan langsung di jantung kekuasaan sebagai calon presiden atau wakil presiden. Jadi menteri Jokowi, lalu kemudian lanjut menteri Prabowo Subianto untuk terus merawat stamina politiknya. Hanya ini satu-satunya jalan yang ditempuh agar AHY punya panggung politik yang stabil.
Selama menjadi menteri Jokowi, termasuk ketika menjadi menteri Prabowo (mungkin) nanti, tidak ada pilihan lain bagi AHY kecuali harus mampu menunjukkan kelasnya sebagai pembeda dalam urusan kinerja. Hal ini penting untuk memberikan kesan bahwa AHY memiliki kinerja yang bagus. Posisi menteri yang didapat bukan hanya sebuah hadiah politik, namun lebih pada kepercayaan bahwa AHY bisa diandalkan dalam bekerja. Lima tahun ke depan akan menjadi eksposur politik, sebagai bentuk pembuktian kinerja AHY.
Semua ini terjadi berkat prinsip yang mereka anut, ‘Tak perlu lagi bertengkar soal warna kucing. Yang terpenting, kucing tersebut, dalam kondisi apapun, tetap mampu menangkap tikus.’ Dengan kata lain, bagi Demokrat dan AHY, perbedaan ideologi politik sudah tidak lagi menjadi hal utama, yang terpenting dalam politik adalah bagaimana cara memperoleh akses terhadap segala sumber kekuasaan.
Adi Prayitno. Ketua Laboratorium Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kabar reshuffle kabinet semakin mendekati kebenaran. Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi merespons santai akan rencana tersebut, menegaskan bahwa keputusan final ada di tangan Presiden.
Sementara itu, Partai Demokrat sebagai salah satu partai yang tadinya sempat menjalin hubungan dingin dengan pemerintah, kembali menunjukkan sikap inklusif. Hal ini terbukti dengan pernyataan langsung Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY yang menyatakan siap bergabung kembali ke dalam koalisi pemerintah.