indotim.net (Rabu, 06 Maret 2024) – Tanam paksa merupakan sistem yang mengharuskan setiap desa untuk menyisihkan sebagian tanahnya sebesar 20% guna ditanami komoditas ekspor seperti kopi, teh, dan kakao. Sistem ini diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
Penyisihan tanaman ekspor hanya boleh dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sistem tanam paksa diterapkan di berbagai daerah seperti Jawa, Minahasa, Lampung, dan Palembang.
Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
Sebelum Johannes van den Bosch mengeluarkan sistem tanam paksa, VOC sudah membuat sistem ini pada tahun 1602. Praktik ekonomi Hindia Belanda mencapai puncak eksploitasi pada era tanam paksa.
Tanam paksa menjadi sistem yang dianggap lebih kejam daripada monopoli VOC karena pemerintah sangat mengandalkan target pemasukan untuk kepentingan negara. Pada rentang tahun 1803-1815, Belanda menghadapi krisis ekonomi setelah kejayaan Napoleon Bonaparte di Eropa.
Belanda mengalami situasi di mana mereka memiliki hutang yang sangat besar, sementara kas negara dalam keadaan kosong. Pendapatan dari penanaman kopi saja tidak mencukupi untuk mengatasi kekosongan keuangan mereka. Di samping itu, Belanda juga harus mengeluarkan dana besar untuk menekan pemberontakan Diponegoro selama Perang Jawa.
Aturan Sistem Tanam Paksa
Terlepas dari aturan bagian tanah yang diwajibkan setiap desa, terdapat ketentuan lain yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah penetapan harga tanaman sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial.
Ada kebijakan lain yang harus dipatuhi oleh penduduk terkait pengelolaan tanah. Salah satunya adalah kewajiban memiliki tanah tidak melebihi seperlima dari tanah yang dimiliki; bagi yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja di perkebunan atau pabrik yang dimiliki pemerintah selama maksimal 65 hari dalam setahun. Proses penanaman ini berlangsung selama 3-4 bulan.
Namun, tidak semua kebijakan memberatkan para petani. Seperti tanaman yang disediakan penduduk bebas dari pajak tanah, apabila terdapat kelebihan hasil produksi pertanian akan dikembalikan kepada rakyat, dan kerusakan atau kerugian akibat gagal panen yang bukan kesalahan petani seperti bencana alam dan serangan hama akan ditanggung oleh pemerintah Belanda.
Sistem tanam paksa diperankan oleh pemimpin pribumi, sedangkan pengawasnya umumnya berasal dari kalangan pegawai Eropa.
Penyimpangan Sistem Tanam Paksa
Banyak aturan atau kebijakan yang seharusnya menguntungkan para petani, namun realitas di lapangan kerap kali penuh dengan penyimpangan yang justru memberatkan para pribumi.
Penyalahgunaan sistem tanam paksa terjadi ketika para petani dipaksa untuk menanam tanaman tertentu oleh penguasa tanah atau pemilik lahan dengan berbagai cara yang merugikan.
- Jatah tanah untuk tanam paksa bisa lebih dari seperlima dari tanah garapan. Bahkan, tanah yang dipakai bisa lebih luas mencapai setengah dari luas lahan apabila tanahnya tidak subur
- Praktik tanam paksa yang menyimpang adalah penduduk akan lebih banyak mengerjakan tanaman ekspor dibanding ladang miliknya sendiri. Sementara penduduk yang tidak memiliki tanah, dipekerjakan di perkebunan Belanda, dengan waktu 3-6 bulan melebihi ketentuan.
- Penyimpangan lain tanam paksa adalah aturan cultuur procenten, yaitu bonus untuk pemimpin pribumi yang melebihi ketentuan, yang mana akan memberatkan pemilik tanah.
- Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah kolonial, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalamsetahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun
- Kegagalan panen dibebankan pada pemilik lahan.
- Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap dikenakan pajak sehingga tidak sesuai dengan perjanjian.
Akibat dari penyimpangan ini adalah penduduk kelaparan dan sering terjadi gagal panen, serta munculnya wabah penyakit yang berujung kematian dan penurunan jumlah penduduk secara signifikan.
Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa telah menuai berbagai kontroversi karena dampak buruknya terhadap kesejahteraan penduduk. Konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh sistem ini telah menimbulkan kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Douwes Dekker yang dikenal dengan karyanya, Max Havelaar, yang ditulis di bawah nama samaran Multatuli.
Buku “Max Havelaar” berisi tentang tuntutan kepada pemerintah kolonial agar lebih memperhatikan penduduk Hindia Belanda karena negeri itu berdiri atas jerih payah penduduk pribumi.
Dalam buku Max Havelaar tahun 1820-1887, tertulis bahwa Douwes Dekker pernah mengabdi sebagai pegawai dari pemerintah Belanda di Indonesia selama 18 tahun. Beliau menjadi asisten residen di Banten. Terdapat pengalaman lengkap Dekker melihat penindasan pada sistem tanam paksa yang dijelaskan lengkap di bukunya.