indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Meskipun telah pensiun dari dinas militer sejak tahun 1998, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dianugerahi pangkat kehormatan bintang empat oleh Presiden Joko Widodo pada 28 Februari lalu. Di masa Orde Baru, pernah terjadi penolakan dari Jenderal Edi Sudradjat terhadap usulan Presiden Soeharto untuk meraihkan pangkat tiga menterinya.
Di sela reformasi pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi, terdapat kejadian menarik terkait penolakan Jenderal TNI AD Edi Sudrajat terhadap perintah Presiden Soeharto untuk menaikkan pangkat tiga menteri. Keputusan kontroversial ini dibagikan TB Silalahi dalam buku ‘TB Silalahi Bercerita tentang Pengalamannya’ yang ditulis oleh Atmadji Sumarkidjo.
Pada suatu hari di bulan Maret 1993, Mayor Jenderal TNI TB Silalahi yang saat itu menjabat sebagai Sekjen Departemen Pertambangan dan Energi ditunjuk oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Presiden kemudian meminta TB untuk bertemu dengan KSAD/Panglima ABRI Jenderal TNI Edi Sudradjat untuk mengusulkan pensiun dini sekaligus kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal.
Soal pensiun dini, Jenderal Edi Sudradjat langsung menyetujui. Namun, ketika menyangkut kenaikan pangkat satu tingkat, dia tidak bisa membuat keputusan secara langsung. Beberapa hari sebelumnya, Presiden Soeharto memerintahkan Jenderal Edi untuk menaikkan pangkat Mentamben Ginandjar Kartasasmita dan Mensesneg Moerdiono dari Marsekal Muda menjadi Marsekal Madya.
Jenderal Edi menolak perintah dari Soeharto karena ia menilai bahwa kedua menteri tersebut, mulai dari pangkat Letnan Satu hingga Jenderal bintang dua, tidak pernah bertugas secara aktif di dalam militer. Hal ini berbeda dengan TB Silalahi, yang sebelum menjabat sebagai Sekjen, jabatan terakhirnya di militer adalah Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf Angkatan Darat.
“Sikap kaku dan teguh yang dimiliki Jenderal Edi sangat terlihat ketika menolak perintah Soeharto terkait kenaikan pangkat tiga menteri. Hal ini menunjukkan loyalitasnya terhadap anak buah dan sahabatnya,” ungkap TB Silalahi.
Setelah sekitar dua tahun berlalu, saat Panglima TNI digantikan oleh Feisal Tanjung, pangkat Ginandjar dan Moerdiono naik menjadi bintang tiga. Tetapi, pangkat militer murni TB justru tidak mengalami kenaikan bersama mereka. Ironisnya, Feisal adalah teman sejak masa di AMN (1961).
Sebagai sahabat, TB pernah berusaha membujuk Wakil KSAD Edi Sudradjat agar Feisal, Pangdam Tanjung Pura di Kalimantan waktu itu, tidak dilantik sebagai Dan Sesko karena Feisal merasa lebih cocok menjadi ‘perwira lapangan’. Meski upaya tersebut gagal, Jenderal Edi tetap teguh dengan keputusannya untuk memberikan pengalaman baru kepada Feisal.
Di sisi lain, TB dan Jenderal Edi punya relasi sangat baik selama bertahun-tahun. Keduanya pernah sama-sama mengikuti Seskoad pada 1971. Ketika Edi menjadi Pangdam Siliwangi, dia banyak memberikan informasi kepada TB terkait tindakan semena-mena sejumlah oknum di Irjen Angkatan Darat dalam melaksanakan Operasi Kartika. Operasi pemberantasan korupsi tersebut kemudian dihentikan oleh KSAD Jenderal Rudini.
Pada suatu ketika, Soeharto memutuskan untuk menaikkan pangkat tiga menteri kabinetnya. Beliau pun memerintahkan Jenderal Edi untuk melaksanakan perintah tersebut.
TB juga dipercaya oleh Edi untuk membenahi Bank Propelat yang hampir bangkrut pada tahun 1986. Dengan melibatkan pengusaha muda Tommy Winata dan Aguan (Sugianto), bank itu kemudian berganti nama menjadi Bank Artha Graha. Pada tahun 1995, asetnya berkembang dari Rp 7 miliar menjadi triliunan.
Saat menjabat sebagai KSAD, Jenderal Edi Sudradjat berani melawan kebijakan Presiden Soeharto yang ingin menaikkan pangkat tiga menteri. Salah satu keberaniannya adalah melindungi Menteri Pertahanan, TB Silalahi, dari kemarahan Pangab Jenderal Benny Moerdani.
Sebagai Asrena KSAD, TB Silalahi menunjukkan sikap ketidaksetujuannya terhadap rencana untuk memperbaharui dan meningkatkan tank AMX 13. Ia menganggap tindakan tersebut tidak efisien dan tidak sesuai secara teknis dengan perkembangan zaman. “Pak Benny, sikap yang diambil oleh TB Silalahi sebagai Asrena KSAD mencerminkan sikap seluruh Angkatan Darat,” ungkap Jenderal Edi.
Kembali ke perihal kenaikan pangkat TB, hal itu baru terjadi beberapa bulan setelah Ginandjar dan Moerdiono menerima kenaikan pangkat tersebut. Tepatnya, Irjenbang Letjen TNI Hendropriyono dan KSAD Jenderal Wiranto yang menjadi pembelanya. Beberapa hari berlalu, TB mengenakan seragam dinas harian dengan pangkat bintang tiga ketika melapor kepada Presiden Soeharto. Keheranannya pun terlihat jelas di wajah Soeharto, sebab perintah kenaikan pangkat seharusnya sudah disampaikan saat Edi masih menjabat sebagai KSAD.
“Saya bahkan beranggapan sebelumnya bahwa Anda akan diusulkan untuk menerima pangkat kehormatan menjadi empat bintang,” ungkap Soeharto.
Terkait Prabowo Subianto, rupanya sedikit banyak TB juga punya peran dalam peningkatan pangkat dan jabatan menantu Soeharto. Dalam bagian lain dari buku ini, diceritakan bahwa Komandan Batalyon 328 Kostrad Letkol Infrantri Prabowo pernah mengeluh dalam sebuah pertemuan di Hotel Borobudur pada tahun 1988. Meskipun sudah lebih dari tiga tahun menjabat sebagai Danyon, Prabowo belum juga dipindahkan atau dipromosikan. TB yang saat itu sudah di luar struktur TNI-AD dan menjabat sebagai Sekjen Deptamben hanya mendengarkan keluhan tersebut.
Hanya saja ketika kemudian ada kesempatan berjumpa dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Edi Sudradjat, dia menyinggung tentang curhatan Prabowo. “Tidak ada kesalahan Prabowo dan prestasinya cukup bagus,” jawab Edi. Dua pekan kemudian, Prabowo dipromosikan menjadi Kepala Staf Brigif Infanteri 17/Linud.