Jalan Rusak di Musim Hujan: Siapa yang Bertanggung Jawab?

indotim.net (Selasa, 23 Januari 2024) – Ketika musim hujan tiba, seringkali kita temui jalan-jalan yang rusak. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa penanganan yang baik, dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dan bahkan menimbulkan korban jiwa. Menurut Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penyelenggara jalan memiliki tanggung jawab untuk segera memperbaiki jalan yang rusak dan berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Ayat (2), dalam hal belum dilakukan perbaikan jalan yang rusak, penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Warga yang terdampak jalan rusak mempunyai peluang untuk menuntut haknya sesuai dengan kewenangan jalan tersebut. Jalan nasional menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, jalan provinsi menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan jalan kota/kabupaten menjadi kewenangan Pemkot/Pemkab.

Pasal 273 dalam Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa setiap penyelenggara jalan memiliki tanggung jawab untuk segera dan sesuai memperbaiki kerusakan jalanan yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas, yang pada gilirannya dapat menyebabkan cedera ringan atau kerusakan kendaraan. Jika gagal melakukan tindakan perbaikan tersebut, mereka dapat dikenai hukuman pidana berupa kurungan penjara selama maksimal 6 bulan atau denda sebesar maksimal Rp 12 juta.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kerusakan jalan saat musim hujan? Pertanyaan ini seringkali muncul ketika kita harus menghadapi kerusakan jalan yang memprihatinkan saat musim penghujan tiba. Mengingat dampak buruknya terhadap konektivitas dan keselamatan pengguna jalan, penting bagi kita untuk mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab atas perbaikan dan pemeliharaan jalan yang rusak.

Di Indonesia, tanggung jawab perbaikan jalan umumnya ada di tangan pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, pasal 54 menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib memelihara jalan umum yang berada di wilayahnya. Pemeliharaan ini meliputi perbaikan, peningkatan, dan pemeliharaan rutin yang dilakukan secara berkala.

Namun, tanggung jawab pemerintah daerah ini bukan berarti tanpa batas atau tanpa syarat. Apabila kerusakan jalan terjadi akibat peristiwa alam yang di luar kemampuan manusia seperti tanah longsor atau banjir, maka pemerintah daerah tidak memikul tanggung jawab penuh atas perbaikan jalan tersebut.

Di sisi lain, jika kerusakan jalan terjadi akibat kelalaian atau ketidakcakapan kontraktor dalam melakukan pekerjaan konstruksi jalan, maka tanggung jawab perbaikan jalan jatuh kepada kontraktor tersebut. Kontraktor harus bertanggung jawab dan menanggung biaya perbaikan jalan yang rusak akibat kelalaiannya.

READ  Sorotan Terhadap Jalan Rusak di Lampung, Anies Dorong Pembangunan Jalan Non-Tol yang Modern

Penanganan kerusakan jalan yang dilakukan oleh pemerintah daerah atau kontraktor harus dilakukan dengan cepat dan tepat sasaran. Jalan yang rusak dapat menyebabkan kemacetan, kecelakaan, atau bahkan mengakibatkan korban jiwa. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas pihak yang bertanggung jawab sangat penting untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pengguna jalan.

Perlu adanya perhatian khusus dari pihak penyelenggara jalan terkait keamanan penggunaan jalan saat musim hujan. Menurut Pemerintah, jalan yang aman adalah jalan yang kokoh, permukaannya halus, dan tidak berlubang.

Jalan tol tidak boleh memiliki permukaan yang berlubang demi keselamatan pengguna dengan kecepatan tinggi. Penutupan jalan berlubang di jalan tol yang dilakukan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) tidak boleh hanya dilakukan saat akan menaikkan tarif, tetapi harus dilakukan setiap kali ditemukan permukaan jalan yang berlubang. Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) juga wajib memeriksa permukaan jalan tol secara rutin di seluruh ruas jalan tol.

Catatan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada bulan Januari 2024, menyatakan bahwa jalan yang aman harus memenuhi standar tertentu. Pertama, jalan tersebut harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Kedua, jalan tersebut harus memiliki sifat self-explaining road, yaitu mampu menjelaskan bahaya yang terdapat di jalan tersebut dan apa yang harus dilakukan oleh pengguna jalan untuk menghindari bahaya tersebut. Ketiga, jalan tersebut juga harus memiliki sifat forgiving road, di mana jika terjadi kelalaian dari pengguna jalan dan terjadi kecelakaan, konsekuensinya tidak akan fatal.

Saat ini, pemerintah kurang memberikan perhatian yang cukup terhadap tiga hal tersebut. Akibatnya, kontribusi jalan sebagai penyebab kecelakaan lalu lintas dan tingginya angka fatalitas masih terus meningkat. Bahaya di sekitar jalan seringkali diabaikan, seperti ruang terbuka yang lebar, tiang-tiang yang terbuat dari bahan yang keras di tepi jalan yang bisa membelah mobil menjadi dua bagian, saluran drainase terbuka dalam beton dengan kedalaman hingga satu meter yang telah menelan korban berupa enam nyawa yang terjatuh dan kepala pecah, tiang variable massage system (VMS) yang merusak bus menjadi rusak berat, serta tiang jembatan yang dapat membelah bus menjadi dua bagian.

READ  Diprediksi PPP Lolos Parlemen dan Bentuk Fraksi Sendiri, Peluang Besar?

Permasalahan kondisi jalan yang rusak saat musim hujan seringkali menimbulkan pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas hal ini. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah memberikan rekomendasi yang jelas agar pemerintah bertindak untuk memperbaiki kondisi jalan yang rawan menimbulkan bahaya bagi pengguna jalan. Hal ini dikarenakan banyaknya korban jiwa yang menjadi akibat dari kelalaian dan rancangan yang kurang memadai pada jalan serta bangunan yang berada di atas jalan tersebut.

Arah kebijakan penyelenggaraan jalan 2020-2040

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri PUPR Nomor 1688/KPTS/M/2022 tentang Penetapan Status Jalan Nasional, panjang total jalan di Indonesia mencapai 529.132,19 kilometer. Dari panjang tersebut, terdapat pembagian kewenangan yaitu jalan nasional sepanjang 47.603,39 km (8,90 persen), jalan provinsi sepanjang 47.874,4 km (9,06 persen), dan jalan kota/kabupaten sepanjang 433.654,4 km (82,05 persen).

Menurut data IRMS Semester 2 (2022) dan Data Pusat Fasilitasi Infrastruktur Daerah (2020), kondisi jalan di Indonesia berdasarkan kewenangannya, tingkat kemanutapan untuk jalan nasional mencapai 92,18 persen, jalan provinsi sebesar 73,79 persen, dan jalan kota/kabupaten sekitar 62 persen.

Berdasarkan Keputusan Menteri PUPR No. 367/KPTS/M/2023 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional Tahun 2020-2040, terdapat 5 arah kebijakan dalam penyelenggaraan jalan. Pertama, pengembangan jaringan jalan dilakukan secara bertahap untuk mendukung prasarana transportasi dengan meningkatkan jaringan jalan pada simpul-simpul yang sudah berkembang. Kedua, pembangunan jalan baru disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendukung simpul transportasi baru demi menjaga keseimbangan tingkat penawaran dan jasa transportasi.

Ketika musim hujan tiba, seringkali kita menemui kondisi jalan yang rusak. Hal ini tentu menjadi perhatian banyak orang, terutama para pengguna jalan. Namun, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kerusakan jalan ini? Apakah hanya pemerintah atau ada pihak lain yang ikut bertanggung jawab?

Pada dasarnya, tanggung jawab atas jalan yang rusak dapat dikategorikan kepada beberapa pihak. Pertama, pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk membangun, memelihara, dan memperbaiki jalan. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan infrastruktur yang baik guna mendukung aktivitas transportasi masyarakat.

Selain pemerintah, pihak swasta yang terkait dalam pembangunan dan pemeliharaan jalan juga memiliki tanggung jawab. Mereka harus memastikan bahwa konstruksi jalan yang mereka lakukan sesuai dengan standar yang ditentukan. Jika terjadi kerusakan pada jalan yang mereka bangun, tentu mereka juga harus ikut bertanggung jawab dalam memperbaikinya.

READ  {Benarkah Media Sosial Membahayakan Kesehatan Mental Anak? Simak Faktanya Disini}

Tak hanya itu, pengguna jalan juga memiliki peran dalam menjaga keberlangsungan jalan yang baik. Para pengendara diharapkan untuk menggunakan jalan dengan bijak serta mematuhi aturan lalu lintas. Dengan demikian, risiko kerusakan jalan akibat penggunaan yang tidak tepat dapat diminimalisir.

Jadi, tanggung jawab atas jalan yang rusak tidak hanya sepenuhnya berada pada pemerintah. Pihak swasta dan masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab dalam menjaga dan merawat jalan yang telah dibangun. Dengan adanya kerjasama yang baik, diharapkan jalan dapat tetap dalam kondisi yang baik dan tidak mudah rusak, terutama di musim hujan.

Saat musim hujan tiba, seringkali kita menemui jalan yang rusak parah. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut?

Terkait kebijakan pembangunan jalan dan jembatan, terdapat beberapa hal yang menjadi prioritas, antara lain:

  1. Pemenuhan waktu tempuh sebesar 1,9 jam/100 km pada koridor terpilih.
  2. Pemenuhan arahan untuk proyek besar seperti Trans Papua dan 18 pulau kecil terluar.
  3. Peningkatan jalan di Kawasan Perbatasan guna menjaga pertahanan dan keamanan nasional serta memberikan aksesibilitas bagi masyarakat perbatasan.
  4. Pembangunan jalan Pantai Selatan Jawa untuk pemerataan kesejahteraan di wilayah Pulau Jawa.
  5. Penanganan jalan akses menuju outlet (pelabuhan dan bandara) untuk mendukung jalur logistik nasional.

Selanjutnya, penanganan jalan akses menuju Kawasan Industri (KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) khususnya 11 KI Prioritas, 10 DPSP, dan KEK Prioritas; penuntasan missing link pada pulau utama (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi); penanganan jalan di Kawasan Metropolitan dan Perkotaan antara lain melalui pembangunan flyover (FO)/ underpass (UP) dan jalan lingkar untuk mengurai kemacetan; penanganan jalan lintas meliputi Lintas Utama Pulau, Penghubung Lintas, Lintas Barat Sumatera, Lintas Selatan Kalimantan, Lintas Tengah Kalimantan; dan pembangunan Jalan Tol Trans Jawa, Non Trans Jawa, Jabodetabek, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi.

Penulis: Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat