{Benarkah Media Sosial Membahayakan Kesehatan Mental Anak? Simak Faktanya Disini}

indotim.net (Minggu, 03 Maret 2024) – Penelitian dari UNICEF mengungkap bahwa 98% anak-anak dan remaja saat ini akrab dengan internet, di mana 79,5% di antaranya aktif sebagai pengguna internet. Penggunaan media sosial pun semakin umum di kalangan anak-anak. Namun, apakah penggunaan media sosial tersebut bersifat merugikan bagi kesehatan mental anak?

Menurut laman BBC Science Focus, mayoritas anak-anak dan remaja menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, menyalurkan hobi mereka, dan menyebarkan informasi dengan cepat. Ini termasuk memberikan respon atau tanggapan terhadap suatu informasi.

Namun, terkait hubungan antara kesehatan mental anak dengan penggunaan media sosial, studi tidak menemukan korelasi langsung.

Seberapa Besar Kaitan Penggunaan Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Anak?

Survei kesehatan mental secara global oleh Vuorre dkk, menjelaskan bahwa dari penelitian selama 18 tahun di 168 negara tidak menunjukkan adanya hubungan sebab akibat dari penggunaan internet dan kesejahteraan generasi muda.

Data survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar kesejahteraan anak tidak terkait dengan penggunaan internet atau durasi waktu yang dihabiskan anak di perangkat digitalnya.

Meski begitu, diketahui bahwa pengguna media sosial berusia 10 sampai 20 tahun akan meningkat, jika kesejahteraan hidup menurun. Tetapi, hal ini belum tentu jika semakin banyak seorang anak menghabiskan waktu di media sosial, kesejahteraan hidupnya menurun.

Sejauh ini, belum ada bukti yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa media sosial secara langsung menyebabkan masalah kesehatan mental pada anak-anak. Namun, beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi antara penggunaan media sosial yang berlebihan dengan peningkatan tingkat kesepian, kecemasan, dan depresi pada anak-anak.

READ  Kejadian langka: Bambu Mekar Sekali Dalam 120 Tahun dan Terkait Ramalan Bencana di Jepang

Menurut peneliti, penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang terlalu banyak bermain media sosial cenderung mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, fakta ini juga memberi implikasi bahwa melarang anak bermain media sosial menjadi kurang masuk akal karena tidak ada pengaruh yang kuat untuk kesehatan mereka.

Bagaimana Jika Anak-anak Menjadi Kecanduan Media Sosial dan Smartphone?

Direktur Kesehatan Perilaku Jefferson Health-Abington, Nancy DeAngelis, menjelaskan bahwa media sosial memang dirancang untuk ‘memikat’ otak manusia. Ketika anak-anak terlalu sering terpapar dengan konten di media sosial, hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

“Media sosial memang dirancang sedemikian rupa untuk memikat otak kita. Remaja, sebagai kalangan yang sangat rentan, rentan terhadap kecanduan media sosial ini,” ungkapnya.

Hal ini diperkuat dengan temuan studi yang terbit di Journal of American Medical Association (JAMA), yang menunjukkan bahwa remaja menggunakan media sosial lebih dari 3 jam per hari dan berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental.

Studi tersebut juga menemukan bahwa paparan berlebihan terhadap konten negatif, cyberbullying, dan perasaan tidak adekuat dalam kondisi sosial menjadi faktor penyebab utama terjadinya gangguan kesehatan mental pada remaja yang berhubungan dengan penggunaan media sosial secara berlebihan.

Terlebih sejak pandemi, terjadi peningkatan depresi dan kecemasan di kalangan remaja.

Kehidupan online yang intens dapat memberikan tekanan tersendiri bagi anak-anak, terutama dalam membandingkan diri dengan orang lain di dunia maya.

Psikolog sekaligus pendiri Pusat Kecanduan Internet dan Teknologi di West Hartford, David Greenfield, juga mengatakan bahwa smartphone memikat pengguna menggunakan sejumlah trik ampuh.

Greenfield menjelaskan, “Media sosial diciptakan untuk membuat kita ketagihan. Fitur-fitur seperti likes dan comments dirancang untuk menyegarkan otak kita.”

READ  Rafflesia: Inspirasi Konservasi RI Menyelamatkan dari Kepunahan

Dilaporkan bahwa media sosial memiliki dampak negatif pada kesehatan mental anak-anak. Salah satu dampaknya adalah penguatan intermiten yang menciptakan gagasan bahwa pengguna bisa mendapat hadiah kapanpun, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko gangguan mental seperti kecanduan dan kecemasan.

“Sama seperti mesin slot. Pengguna diberi isyarat dengan lampu dan suara, tapi yang lebih hebat lagi adalah informasi dan hadiah disesuaikan dengan minat dan selera pengguna,” ujar Greenfield.

Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial dirancang untuk menarik perhatian serta mendorong keterlibatan pengguna dengan cara-cara tertentu. Implementasi strategi ini dapat memberikan dampak negatif terutama pada anak-anak yang rentan terhadap sejumlah masalah kesehatan mental.

Nancy juga mengungkapkan hal yang berkaitan dengan ‘penghargaan’ yang dimaksud oleh Greenfield, bahwa media sosial dapat meningkatkan dopamin ke otak untuk membuat penggunanya mengunjungi media sosial terus menerus.

“Adanya fitur suka, bagi, dan komentar, dapat memicu pusat otak kemudian dianggap hal tersebut sebagai suatu penghargaan,” jelasnya.

Sebelum menyalahkan media sosial sepenuhnya, para orang tua sebaiknya memahami dampak positif dan negatifnya terlebih dahulu. Dengan pemahaman yang baik, mereka dapat membimbing anak dengan bijak dalam menggunakan media sosial.

Orang tua memiliki peran penting dalam membimbing anak-anak dalam mengelola penggunaan media sosial. Melalui pendampingan yang baik, orang tua dapat membantu anak untuk belajar mengatur perilaku online sejak dini.

Sebagai salah satu wadah komunikasi dan informasi yang begitu populer, media sosial memiliki dampak yang signifikan bagi kesehatan mental anak-anak. Namun, melarang sepenuhnya penggunaan media sosial bagi mereka juga bukan solusi yang tepat.

Melarang akses anak-anak terhadap media sosial dan ponsel pintar mungkin terlihat sebagai langkah preventif yang efektif dalam jangka pendek. Namun, peneliti menekankan bahwa melarang secara total bisa berdampak negatif karena anak harus belajar mengelola media sosial sejak dini agar mereka mampu menggunakan platform tersebut secara bijaksana di masa depan.

READ  Trypillia: Pemukiman Prasejarah dengan Sistem Kesetaraan