indotim.net (Senin, 26 Februari 2024) – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menerima permohonan perlindungan yang diajukan oleh R, korban dugaan pelecehan yang dilakukan oleh rektor Universitas Pancasila (UP) dengan inisial E. LPSK segera melakukan penelahaan atas permohonan perlindungan dari korban R.
“Melakukan penelaahan,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi saat dihubungi, Minggu (25/2/2024).
Edwin menjelaskan bahwa LPSK akan melakukan investigasi mendalam terkait empat hal dalam proses penelaahan permohonan perlindungan korban. Pertama, LPSK akan menyelidiki dugaan ancaman yang diterima oleh pemohon.
“Berdasarkan UU kami harus dalami, satu, sifat penting keterangan. Dua, situasi ancaman yang dihadapi,” ujar Edwin.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tengah mempelajari dengan cermat permohonan perlindungan yang diajukan oleh korban dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Rektor Universitas Persahabatan (UP).
LPSK akan mengevaluasi kondisi psikologis dari RZ dan juga memeriksa rekam jejak RZ sebagai pemohon perlindungan.
Pada tahap selanjutnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sedang melakukan penelaahan terhadap permohonan perlindungan korban dugaan pelecehan yang dilakukan oleh Rektor Universitas Padjajaran.
“Ketiga, hal yang sedang kami teliti adalah kondisi medis/psikologis dari pemohon perlindungan dan juga rekam jejak pemohon,” ungkap Edwin, salah satu anggota tim penelaah LPSK.
Proses peninjauan akan berlangsung selama 30 hari. Dari proses ini, LPSK akan memutuskan apakah akan menerima atau menolak permohonan perlindungan yang diajukan oleh RZ.
Pihak pengacara RZ sebelumnya telah mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK. Pengajuan tersebut didaftarkan pada Sabtu (24/2).
“Masih dalam proses yang pasti kita sudah menyurati secara resmi karena kalau mereka mau proses mereka harus punya dasar surat dari kita. Sudah kita buat laporan dan ini sedang dalam proses,” kata kuasa hukum korban, Amanda Manthovani saat dihubungi, Minggu (25/2/2024).
Amanda menyoroti bahwa hubungan kuasa yang ada membuat korban merasa ketakutan. Oleh karena itu, pihaknya juga meminta perlindungan dari LPSK terkait kasus ini.
“Sebenarnya justru hanya berjaga-jaga, wajar saja dari korban merasa ada kayak macem ketakutan gitu,” ujarnya.
Melalui keterangan yang diterima, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tengah menelaah permohonan perlindungan yang diajukan korban terkait dugaan pelecehan yang dilakukan oleh Rektor Universitas Pendidikan (UP).
Selain LPSK, pihak korban juga telah mengirim surat kepada beberapa lembaga terkait lainnya, seperti Kemendikbud, LLDIKTI (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi), dan Komnas Perempuan.
Pihak Rektor Membantah
Pihak rektor Universitas Pancasila telah angkat bicara terkait laporan yang menjeratnya. Beliau dengan tegas membantah tuduhan pelecehan yang diajukan oleh pihak pelapor.
“Berita tersebut kami pastikan didasarkan atas laporan yang tidak benar dan tidak pernah terjadi peristiwa yang dilaporkan tersebut,” ujar kuasa hukum terlapor, Raden Nanda Setiawan, dalam keterangannya.
Raden menjelaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk melaporkan kasus kepada pihak berwajib. Namun, ia juga menegaskan bahwa laporan yang diajukan oleh korban perempuan yang menggunakan inisial R tersebut merupakan kisah yang dibuat-buat.
“Namun kembali lagi hak setiap orang bisa mengajukan laporan ke Kepolisian, tapi perlu kita ketahui laporan atas suatu peristiwa fiktif akan ada konsekuensi hukumnya,” katanya.
Proses hukum ini penting untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dan memperkuat sistem perlindungan korban pelecehan. LPSK juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam membuat laporan agar tidak menimbulkan implikasi hukum yang tidak diinginkan.
Kesimpulan
LPSK sedang meneliti beberapa permohonan perlindungan korban pelecehan yang diduga dilakukan oleh rektor beberapa universitas ternama di Indonesia. Dalam proses penelaahan tersebut, LPSK akan mengkaji kondisi psikologis dan rekam jejak pemohon perlindungan sebelum memutuskan apakah akan menerima atau menolak permohonan tersebut. Sementara pihak rektor yang dituduh membantah tuduhan tersebut, menyebut laporan sebagai kisah yang dibuat-buat, sambil menekankan pentingnya kehati-hatian dalam membuat laporan demi keadilan bagi semua pihak yang terlibat.