Ambivalensi Dana Kelurahan: Pencairan atau Penyalahgunaan?

indotim.net (Rabu, 17 Januari 2024) – Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan perlunya revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU 6/2014). Menurutnya, UU 6/2014 tidak hanya seharusnya mengatur desa, tetapi juga kelurahan. Dalam konteks ini, Muhadjir menyoroti pendanaan untuk desa yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikenal sebagai dana desa.

UU 6/2014 tidak secara tegas menyebutkan mengenai dana kelurahan. Hal ini menjadi permasalahan yang dihadapi oleh desa dan kelurahan, menurut Muhadjir.

Apa yang disampaikan oleh Muhadjir menggambarkan bahwa ia kurang memahami secara mendalam latar belakang terbitnya UU 6/2014. Berdasarkan catatan historis, peraturan perundang-undangan ini lahir antara lain karena munculnya keinginan pemerintah memberikan kedudukan istimewa bagi desa. Selama ini desa seringkali disamakan dengan kelurahan dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Padahal, desa memiliki karakter yang berbeda dari keduanya. Oleh karena itu, pengaturan mengenai desa seharusnya dibedakan dengan pengaturan mengenai kelurahan. Pengaturan mengenai keduanya tidak bisa diatur dalam satu undang-undang.

Dalam UU 6/2014, dikenalkan asas rekognisi dan subsidiaritas sebagai landasan utama untuk memperkuat peran desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Langkah ini sebenarnya bertujuan untuk mengakui posisi desa yang selama ini terabaikan dalam pembangunan negara.

Menurut Sutoro Eko (2025: 22), dalam era Orde Baru, negara lebih mengadopsi pendekatan modernisasi-integrasi-korporatisasi daripada pengakuan. UU 5/1979, UU 22/1999, dan UU 32/2004 tidak pernah secara tegas mendukung prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap desa.

Berdasarkan sumber yang sama, banyak pihak menyatakan bahwa desentralisasi berhenti di tingkat kabupaten/kota, sementara desa hanya menerima bagian sisa dari kewenangan kabupaten/kota. Namun, dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2014, peran desa bukanlah hanya sebagai penerima sisa kebijakan kabupaten/kota.

READ  Aturan Kotak Suara Pemilu 2024: Lebih Banyak Opsi, Tampil Menarik dan Mudah Dikenali

Ada perbedaan karakter dalam penyaluran dana kelurahan menjelang pemilu. Hal ini menjadi sorotan publik yang mempertanyakan tujuan sebenarnya dari penyaluran dana tersebut.

Desa adalah struktur pemerintahan terkecil yang berhubungan langsung dengan penduduk. Keunikan desa terletak pada otonomi dan sistem pemerintahan berdasarkan adat istiadat lokal. Desa dipimpin oleh kepala desa yang dipilih melalui pemilihan demokratis. Peran desa sebagai ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah ditunjukkan oleh hak-hak pemerintahan yang melekat pada desa.

Perbedaannya adalah dengan kelurahan yang dianggap sebagai wilayah administratif di bawah kecamatan. Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki kewenangan terbatas dalam mengatur wilayahnya.

“Hak mengatur” yang dimiliki kelurahan semakin berkurang setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan status kelurahan dari perangkat daerah menjadi bagian dari kecamatan tidak lepas dari perubahan dasar hukum penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, di mana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Seiring dengan perubahan secara yuridis di atas, terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait kelurahan. Sebelumnya, kelurahan memiliki wewenang menyusun perencanaan karena menjadi organisasi perangkat daerah yang mandiri. Namun, sejak tahun 2015, status kelurahan berubah menjadi representasi dari perangkat kecamatan dan bukan lagi perangkat daerah. Dampak dari perubahan ini adalah kegiatan-kegiatan di lingkup kelurahan tidak lagi menjadi wewenang lurah, melainkan lebih banyak ditentukan oleh camat.

Kondisi seperti ini tentu tidak menguntungkan bagi aparatur kelurahan maupun masyarakat yang tinggal di wilayah kelurahan.

Selain itu, terdapat perbedaan mendasar antara kepala desa dengan lurah. Kepala desa memiliki kewenangan dasar seperti halnya kepala daerah otonom lainnya. Mereka bertanggung jawab dalam menyusun aturan, mengangkat dan memberhentikan perangkat desa, mengelola APBDes, mengelola aset dan keuangan desa, mengembangkan sumber pendapatan desa, serta mengusulkan pelimpahan kekayaan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

READ  Bawaslu Blora Tanggap Terhadap 2 Pengurus Parpol Jadi Anggota KPPS

Di sisi lain, dana kelurahan memiliki peran yang penting dalam pelaksanaan Pilkada. Dana ini digunakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam bentuk bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, dan program-program kegiatan lainnya.

Namun, penggunaan dana kelurahan dalam pemilu sering kali menimbulkan ambivalensi. Banyak pihak berpendapat bahwa penggunaan dana kelurahan untuk kegiatan politik bisa menimbulkan penyalahgunaan dana dan manipulasi politik yang tidak sehat.

Adapun, lurah hanya menjalankan tugas administratif kabupaten/kota yang dilimpahkan oleh camat sebagai kepala wilayah administratif di bawah kabupaten/kota.

Kepentingan Elektoral

Dana desa yang telah dialokasikan ke setiap desa selama beberapa tahun terakhir sebenarnya didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Kepala desa beserta stafnya diberikan mandat untuk menggunakan dana desa guna membangun dan meningkatkan kehidupan masyarakat desa.

Meskipun dalam praktiknya banyak kepala desa yang terjerumus ke penjara karena penyalahgunaan dana APBN, namun penggunaan dana desa untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa benar-benar relevan.

Realisasi dana desa merupakan hasil implementasi asas rekognisi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Oleh karena itu, menganggap bahwa tidak ada perbedaan spasial antara dana desa dengan dana kelurahan merupakan kesalahan pemahaman yang fatal. Dalam konteks ini, tuntutan untuk mengatur penyaluran dana kelurahan melalui peraturan perundang-undangan adalah sesuatu yang wajib dilakukan.

Desa dan kelurahan memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda. Terdapat banyak aspek yang membedakan antara satu dengan lainnya.

Dalam sejarahnya, dana kelurahan merupakan dana yang berasal dari APBN dan termasuk dalam pos dana alokasi umum (DAU) tambahan. Penyaluran dana ini yang sebelumnya sudah dianggarkan dalam APBN 2019 dan 2020 bertujuan untuk pembangunan sarana dan prasarana kelurahan serta pemberdayaan masyarakat kelurahan. Mekanisme alokasi dana kelurahan melalui DAU tambahan sebenarnya memiliki sensitivitas yang tinggi bagi setiap kelurahan.

READ  Mendalami Makna Perpisahan Maruarar Sirait

Berdasarkan total anggaran, dana kelurahan selama ini didominasi oleh Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi. Oleh karena itu, wajar jika politik anggaran dana kelurahan diduga kuat menjadi instrumen untuk meningkatkan partisipasi elektoral masyarakat perkotaan dalam memilih kembali (re-elect) kandidat petahana, terutama di ketiga pulau yang padat penduduk tersebut.

Dalam konteks ini, upaya untuk menyelamatkan dana kelurahan dari kepentingan politis menjelang pemilu sangat penting. Terlebih lagi, para lurah seringkali rentan dimanfaatkan oleh elit politik untuk melanggar netralitas pemilu. Hal ini dikarenakan mereka bekerja di tengah masyarakat dan memiliki akses langsung ke kehidupan sehari-hari masyarakat.

Tugas, fungsi, dan wewenang lurah dalam perizinan, penyaluran bantuan sosial, serta pembinaan organisasi masyarakat memungkinkan mereka untuk menyalahgunakan dana kelurahan.

Riza Multazam Luthfy adalah seorang peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (Puskolegis) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Ia juga merupakan penulis buku “Potret Legislatif Desa Pasca Reformasi” (2014).