indotim.net (Sabtu, 13 Januari 2024) – Mantan presiden Suriname, Desi Bouterse (78), menolak menyerahkan diri untuk memulai menjalani hukuman penjara selama 20 tahun atas pembunuhan 15 lawan politiknya lebih dari 40 tahun yang lalu.
Ketika ditanya pada Jumat (12/1) waktu setempat apakah Bouterse berencana datang menyerahkan diri, istrinya Ingrid Bouterse mengatakan kepada wartawan: “Tidak”.
“Anda semua tahu bahwa ini adalah proses politik dan kami memberikan jawaban politik,” katanya, dilansir kantor berita AFP, Sabtu (13/1/2024).
Pada Desember 2023, pengadilan tertinggi Suriname menguatkan vonis hukuman 20 tahun penjara bagi mantan Presiden Desi Bouterse. Vonis ini dikeluarkan sebagai akibat dari eksekusi mati terhadap 15 orang pada bulan Desember 1982. Para korban tersebut meliputi pengacara, jurnalis, pengusaha, dan personel militer.
Momen tragis ini terjadi hanya dua tahun setelah Desi Bouterse mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Pengadilan menyatakan bahwa Bouterse terlibat dalam pembunuhan massal ini, yang menjadi simbol penindasan pemerintah otoriter pada masa itu.
Selama ini, Bouterse, mantan tokoh kuat yang terlibat dalam dua kudeta dan menjabat sebagai presiden terpilih di bekas jajahan Belanda tersebut hingga tahun 2020, masih berada di luar penjara menunggu putusan pengadilan.
Bouterse dan empat orang lainnya yang juga terbukti bersalah di dalam kasus tersebut telah diperintahkan untuk segera melapor kepada pihak berwenang pada hari Jumat (12/1). Dalam kehadiran pengacara mereka, tiga dari empat rekannya yang dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun datang untuk melaksanakan perintah tersebut.
Kementerian Kehakiman telah membangun sel tahanan terisolasi untuk Bouterse di kompleks Rumah Sakit Militer Suriname, sekitar 10 menit dari pusat kota Paramaribo dan dekat dengan rumah sakit jika dia memerlukan perawatan medis.
Pada Jumat (12/1), para pendukung Bouterse, yang masih sangat populer, terutama di kalangan masyarakat miskin dan kelas pekerja, berkumpul di rumahnya, bernyanyi dan menari untuk menunjukkan dukungan mereka.
Keputusan untuk tidak menyerahkan diri ini diambil setelah Pengadilan Suriname memvonis mantan Presiden Desi Bouterse dengan hukuman penjara selama 20 tahun atas keterlibatannya dalam pembantaian pada tahun 1982.
Bouterse secara terbuka menolak untuk menerima vonis ini dan memilih untuk tetap berada di dalam rumahnya di ibu kota Paramaribo. Ia menyatakan bahwa vonis tersebut tidak adil dan hanya dilakukan untuk mempengaruhi politik Suriname.
Pendukung Bouterse merasa yakin bahwa mantan Presiden tidak bersalah dan dianggap sebagai pahlawan oleh banyak orang. Mereka percaya bahwa vonis ini merupakan upaya politik untuk melawan popularitas Bouterse dan partainya, yang masih memiliki basis dukungan yang kuat di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, pihak oposisi dan para korban pembantaian menyambut vonis ini sebagai bentuk keadilan yang lama dinantikan. Mereka berharap bahwa vonis ini akan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Suriname dan mengirimkan pesan bahwa tidak ada yang dikecualikan dari pertanggungjawaban hukum.
Sementara itu, pihak berwenang di Suriname sedang melakukan upaya untuk menangkap Bouterse dan memastikan bahwa vonis ini dilaksanakan sesuai dengan hukum. Namun, penangkapan mantan Presiden tidak akan mudah mengingat popularitas dan dukungan yang masih dimiliki oleh Bouterse di kalangan pendukungnya.
Para pendukung Bouterse menunjukkan loyalitas mereka dengan berkumpul di rumah mantan Presiden dan menyuarakan dukungan mereka dengan nyanyian dan tarian. Mereka berjanji untuk terus memperjuangkan keadilan bagi Bouterse dan menentang upaya-upaya politik yang dianggap mempengaruhi kasus ini.
“Bouterse berada dalam kondisi yang baik sekarang,” ujar Ramon Abrahams, wakil ketua Partai Nasional Demokrat (NDP) yang merupakan partai Bouterse.
Mantan Presiden Suriname, Desi Bouterse, baru-baru ini divonis hukuman penjara selama 20 tahun atas keterlibatannya dalam kasus pembantaian pada masa pemerintahannya. Meskipun demikian, Bouterse menolak untuk menyerahkan diri ke otoritas penegak hukum.
Melalui pengacaranya, Bouterse menyatakan bahwa dia tidak akan mengungkapkan keberadaannya saat ini. Dia menegaskan bahwa dia akan menghindari penangkapan sebisa mungkin dan bertahan di lokasi yang dirahasiakan.
Keputusan Bouterse ini tentu menghadirkan tantangan bagi otoritas Suriname yang berupaya untuk mengeksekusi vonis tersebut. Pihak berwenang harus melakukan upaya ekstra untuk menemukan mantan presiden tersebut.
Bouterse dianggap bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi pada tahun 1982, di mana 15 kritikus rezim pemerintah saat itu dieksekusi di Benteng Desa Bourda. Kasus ini telah menjadi bagian penting dari sejarah Suriname dan menjadi luka bagi keluarga korban yang masih berjuang mencari keadilan.
Tidak hanya itu, Bouterse juga telah terlibat dalam kasus perdagangan narkoba pada tahun 1999, yang membuat dia dijatuhi hukuman penjara selama 11 tahun oleh pengadilan Belanda. Namun, setelah menjalani beberapa tahun di penjara, Bouterse berhasil memperoleh amnesti dan kembali ke Suriname.
Bouterse melakukan kudeta pada tanggal 25 Februari 1980. Dia membantah terlibat dalam pembunuhan 15 orang pada tahun 1982. Dia mengatakan para korban ditahan karena merencanakan kudeta balasan dengan bantuan CIA, dan ditembak ketika mencoba melarikan diri.