indotim.net (Senin, 22 Januari 2024) – Tema energi mendapat porsi perdebatan yang cukup hangat sepanjang Debat Keempat Pilpres 2024 yang mempertemukan ketiga calon wakil presiden. Namun, salah satu isu penting terkait energi yaitu regulasi pengembangan energi selain energi fosil belum terdampak.
Anggota DPD RI Fahira Idris menyoroti isu penting terkait pengembangan energi di Indonesia yaitu penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang sedang dibahas di parlemen dan ditargetkan selesai pada kuartal pertama 2024.
Namun, Rancangan Undang-Undang (RUU) ini juga masih mengundang perdebatan karena memasukkan sumber energi baru dalam pembahasannya. Seharusnya RUU ini hanya berfokus pada pengembangan energi terbarukan saja.
“Menggabungkan pengaturan energi baru dan energi terbarukan dalam satu undang-undang yang saat ini diberi nama RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan atau EBET justru menghadirkan kendala dalam upaya pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ujar Fahira dalam keterangan tertulis pada Senin (22/1/2024).
“Selain akan membuat pengembangan energi terbarukan menjadi tidak fokus, pengembangan energi baru seperti coal gasification berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca dan biaya penyerapan karbon dengan carbon capture yang sangat mahal,” ungkap Fahira Idris.
Selain coal gasification atau penggunaan batu bara yang kian meningkat, Fahira menjelaskan bahwa jenis-jenis energi baru, seperti nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction), dan sumber energi baru lainnya, sebenarnya bukanlah pilihan strategis untuk mencapai kemandirian energi Indonesia yang ramah lingkungan.
Alasannya adalah karena teknologi untuk mengembangkan jenis-jenis energi baru tersebut sudah ada di dunia sejak lama, dan sumber energinya sama sekali tidak terbarukan.
Tidak hanya itu, pengaturan energi terbarukan sebenarnya telah diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan, mulai dari UU Energi, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Mineral dan Batubara, UU Ketenaganukliran, UU Panas Bumi, hingga Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional.
Menurut Fahira, hal ini berarti energi baru bukanlah pilihan yang tepat dan strategis dalam langkah-langkah transisi energi di Indonesia. Padahal, transisi dari energi fosil ke energi terbarukan sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk memperkuat pasokan energi sekaligus mengurangi dan mengendalikan penggunaan bahan bakar fosil.
Transisi energi juga merupakan solusi untuk menyehatkan neraca pembayaran negara yang mengalami ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, transisi energi juga memiliki potensi besar untuk membuka lapangan kerja terutama di wilayah pedesaan yang dapat menjadi lokasi pengembangan energi terbarukan.
“Yang diperlukan adalah Undang-Undang Energi Terbarukan (UU ET), bukan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (UU EBET). Kita harus mengembangkan energi terbarukan ke depannya agar bisa menjadi solusi jangka panjang dalam mencapai kemandirian energi bangsa,” tegas Fahira Idris, yang juga mencalonkan diri sebagai Caleg DPD RI Dapil DKI Jakarta.
Kesimpulan
Dalam perdebatan cawapres Pilpres 2024, isu pengembangan energi selain energi fosil menjadi perhatian penting. Fahira Idris, anggota DPD RI, menyuarakan pentingnya menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU ET) yang fokus pada energi terbarukan. Menurut Fahira, menyatukan energi baru dan terbarukan dalam satu undang-undang (RUU EBET) membelokkan fokus pengembangan energi terbarukan dan berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca. Dia juga menekankan perlunya transisi dari energi fosil ke energi terbarukan sebagai solusi untuk memperkuat pasokan energi, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan membangun lapangan kerja. Oleh karena itu, dibutuhkan Undang-Undang Energi Terbarukan (UU ET) sebagai langkah jangka panjang untuk mencapai kemandirian energi bangsa.