indotim.net (Senin, 22 Januari 2024) – Kelompok Hamas merilis laporan yang membenarkan serangan terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober sebagai langkah yang diperlukan.
Hamas juga mengakui adanya kesalahan dalam serangan tersebut. Mereka menegaskan bahwa para petempur Hamas hanya menargetkan tentara Israel dan orang-orang yang membawa senjata.
Seperti dilansir Al Arabiya dan Al Jazeera, Senin (22/1/2024), dokumen setebal 16 halaman yang dirilis Hamas pada Minggu (21/1) waktu setempat itu menjadi laporan publik pertama yang dikeluarkan kelompok militan itu dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab yang menjelaskan latar belakang serangan tersebut.
Dalam laporannya yang berjudul “Narasi Kami”, Hamas mengungkapkan keinginannya untuk “mengklarifikasi” latar belakang dan dinamika serangan mendadak yang dikenal sebagai “Operasi Banjir Al-Aqsa”.
Pada laporan terbarunya, Hamas menyatakan bahwa serangan yang terjadi pada 7 Oktober adalah “langkah yang diperlukan dan respons yang normal sebagai bentuk konfrontasi terhadap segala konspirasi Israel terhadap rakyat Palestina”.
Laporan Hamas juga menjelaskan alasan di balik serangan tersebut. Mereka menyoroti kampanye pembangunan permukiman Israel dan proses “Yudaisasi” tanah Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem yang diduduki. Selain itu, mereka juga mengutuk pembunuhan ribuan warga sipil Palestina sejak tahun 2000 hingga saat ini.
Pada akhir masa libur Yahudi pada 7 Oktober 2023, ratusan petempur bersenjata Hamas menyeberang ke Israel melalui darat, udara, dan laut dari Jalur Gaza. Mereka melancarkan serangan yang mengakibatkan banyak warga sipil Israel tewas di jalanan, rumah-rumah, dan bahkan pesta outdoor yang dihadiri banyak orang.
Serangan yang dilancarkan oleh Hamas ini, berdasarkan data dari Al Jazeera, telah menewaskan setidaknya 1.139 orang, yang sebagian besar merupakan warga sipil di wilayah Israel. Menurut laporan keamanan sosial Israel, korban tewas terdiri dari sekitar 700 warga sipil Israel dan 76 warga negara asing.
Sekitar 250 orang lainnya, menurut data Tel Aviv, diculik oleh para pejuang Hamas dan dibawa ke Jalur Gaza untuk dijadikan sandera. Dari jumlah tersebut, sekitar 100 sandera telah dibebaskan saat ada kesepakatan gencatan senjata singkat pada November tahun lalu. Namun, menurut pejabat Israel, masih ada sekitar 132 sandera yang belum dibebaskan di Gaza, dengan diperkirakan 27 di antaranya telah kehilangan nyawa.
Laporan Hamas tersebut menyatakan bahwa kelompok ini merencanakan untuk menargetkan situs-situs militer Israel dan menangkap para tentara. Tindakan ini diharapkan dapat memberikan tekanan kepada pemerintah Israel agar mau membebaskan ribuan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara di wilayah tersebut.
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Hamas dalam laporannya menegaskan bahwa serangan terhadap Israel pada bulan Oktober lalu merupakan langkah yang diperlukan. Namun, mereka juga mengakui adanya kesalahan dalam serangan tersebut.
Hamas sangat menekankan pentingnya menghindari membahayakan warga sipil dalam serangan mereka. Menurut mereka, hal ini adalah sebuah komitmen agama dan moral dari para petempur sayap bersenjata Hamas, yaitu Brigade al-Qassam.
“Jika terjadi kasus yang menargetkan warga sipil, hal itu terjadi secara tidak sengaja dan selama konfrontasi dengan pasukan pendudukan (Israel),” jelas Hamas dalam laporannya.
Lebih lanjut, Hamas mengakui bahwa “mungkin ada beberapa kesalahan yang terjadi” selama serangan itu. “Karena runtuhnya sistem keamanan dan militer Israel dengan cepat, dan kekacauan yang terjadi di sepanjang wilayah perbatasan dengan Gaza,” sebut Hamas dalam laporannya.
“Banyak warga Israel yang dibunuh oleh tentara dan polisi Israel karena kebingungan mereka,” sebut kelompok yang menguasai Jalur Gaza tersebut.
Pejabat-pejabat Israel terus-menerus menuduh anggota Hamas melakukan pemerkosaan bergiliran, mutilasi alat kelamin, dan melakukan serangan seksual terhadap anak-anak serta mayat dalam sel mereka.
Tuduhan tersebut dibantah mentah-mentah oleh Hamas dalam laporannya. Mereka mengklaim bahwa tuduhan-tuduhan tersebut sengaja dilontarkan untuk “mencemarkan” nama baik Hamas.
Dalam laporannya, Hamas juga menegaskan perlunya serangan terhadap Israel. Namun, mereka juga mengakui adanya kesalahan yang terjadi.
Hamas turut mendesak agar agresi yang dilakukan oleh Israel di Gaza, kejahatan, serta pembersihan etnis yang dilakukan terhadap seluruh penduduk Gaza harus segera dihentikan.
Hamas kembali menegaskan bahwa serangan terhadap Israel merupakan langkah yang diperlukan, namun juga mengakui adanya kesalahan dalam tindakan tersebut. Organisasi ini menolak upaya internasional untuk mencari solusi masa depan Gaza yang sedang terpuruk.
Laporan Hamas juga membahas isu Jalur Gaza pascaperang, di mana baru-baru ini Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terang-terangan menolak pembentukan negara Palestina — salah satu solusi yang ditawarkan Amerika Serikat untuk perdamaian jangka panjang antara Israel dan Palestina.
Hamas mengklarifikasi bahwa mereka tetap menolak upaya internasional dan Israel untuk menentukan masa depan Jalur Gaza setelah berakhirnya perang. Namun, mereka juga mengakui adanya kesalahan yang telah dilakukan.
“Kami menegaskan bahwa rakyat Palestina memiliki kapasitas untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan mengatur urusan internal mereka,” kata Hamas, sambil menegaskan bahwa “tidak ada pihak di dunia ini” yang berhak membuat keputusan atas nama mereka.
Ditambahkan oleh pihak Hamas bahwa sejarah konflik yang terjadi sebenarnya tidak berawal pada tanggal 7 Oktober.
“Pertempuran rakyat Palestina melawan pendudukan dan kolonialisme tidak dimulai pada 7 Oktober, tapi dimulai 105 tahun yang lalu, termasuk 30 tahun kolonialisme Inggris dan 75 tahun pendudukan Zionis,” tegas Hamas dalam laporannya.
Kelompok militan yang menguasai Jalur Gaza tersebut menegaskan bahwa serangan terhadap Israel sangat diperlukan. Namun, mereka juga mengakui adanya kesalahan yang perlu dipertanggungjawabkan.
Mereka ingin melakukan tuntutan hukum terhadap pendudukan Israel yang telah menyebabkan penderitaan bagi rakyat Palestina.