indotim.net (Jumat, 12 Januari 2024) – Ada hal yang menarik dalam kontestasi politik tahun ini ketika seluruh capres dan cawapres menaruh concern yang sama terhadap isu perumahan terjangkau. Pasangan Calon (Paslon) 1 dalam visi misinya menawarkan kemudahan akses untuk hunian yang bisa ditempuh dengan skema KPR subsidi, tempat tinggal sewa, dan hunian terjangkau di pusat kota. Paslon 2 menempatkan rumah murah dan sanitasi sebagai prioritas kedelapan dan menjanjikan membangun atau merenovasi sebanyak 40 rumah per desa/kelurahan per tahun sehingga 3 juta rumah terbangun di tahun kedua. Artinya setiap tahun paslon 2 menargetkan 1,5 juta unit rumah. Adapun terobosan Paslon 3 dalam debat cawapres lalu mengusung program 10 Juta Hunian untuk Masyarakat. Atau, dengan kata lain target hunian adalah 2 juta unit rumah per tahun. Hal ini tentu sebuah langkah positif mengingat kondisi backlog perumahan secara nasional belum banyak berubah. Data BPS (Desember, 2013) menunjukkan hanya 63,15 persen rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau. Artinya, kelompok rumah tangga lain tinggal dalam kondisi yang tidak layak dan bahkan tidak memiliki tempat tinggal sama sekali. Ironisnya jumlah ini mendekati setengah jumlah rumah tangga di Indonesia. Tentu penyediaan hunian layak dan terjangkau adalah hal serius yang perlu diatasi oleh presiden terpilih berikutnya.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar, apa betul janji politik ini dapat dipenuhi? Artikel ini akan mengulas sudut pandang realistis dari program perumahan berdasarkan visi misi paslon Capres-Cawapres 2024.
Bukan Barang Baru
Jika merunut pada program perumahan terjangkau yang telah berjalan, sejatinya usulan yang ditawarkan oleh ketiga paslon bukanlah barang baru. Pemerintah telah memiliki program KPR subsidi yang disebut dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Program ini menawarkan kredit KPR murah dengan suku bunga fixed (5%) sepanjang tenor. Dengan demikian, cicilan KPR per bulan tidak melebihi Rp 2 juta. Untuk memudahkan akses kredit bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), program ini juga di-bundling dengan subsidi bantuan uang muka, sehingga ketika masyarakat membeli rumah subsidi, akan mendapat bantuan sebesar Rp 4 juta (kecuali wilayah Papua, sebesar Rp 10 juta). FLPP juga mengatur batas tertinggi harga jual rumah; untuk wilayah Jawa dan Sumatra, mulai tahun depan harga rumah tertinggi ada di kisaran Rp 166 juta (sementara wilayah Papua harga tertinggi sebesar Rp 240 Juta). Varian lain dari program kepemilikan rumah subsidi juga ditawarkan oleh BP Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang diperuntukkan khusus bagi peserta program Tapera yang belum memiliki rumah. Adapun untuk jenis rumah sewa, pemerintah telah cukup lama mengenalkan program rusunawa (rumah susun sederhana sewa). Rusunawa sebagian besar dibangun di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Medan. MBR dikenakan tarif sewa bulanan yang relatif terjangkau mulai dari Rp 300 ribuan hingga untuk jenis rusunawa terbaru sekitar Rp 1 jutaan. Sedangkan untuk kebutuhan renovasi rumah yang tidak layak, pemerintah sudah memiliki program bedah rumah Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dengan mensubsidi biaya perbaikan rumah sampai dengan Rp 20 juta. Program perumahan di atas belum lagi memasukkan program rumah bagi warga miskin dan penampungan (shelter) yang disediakan oleh Kementerian Sosial, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk Perumahan, serta insentif perpajakan terkait perumahan (PMK 60/2023).
Patut Diapresiasi
Program satu juta unit rumah per tahun yang saat ini masih berjalan merupakan kerja keras pemerintah yang patut diapresiasi. Menurut data Kemen PUPR, program satu juta rumah mencapai realisasi tertinggi sebesar 1,2 juta unit pada 2019 dan itu pun ikut memperhitungkan jumlah rumah bagi non-MBR. Pada tahun-tahun sebelumnya, target satu juta rumah per tahun belum dapat tercapai. Lebih spesifik, program yang menyasar MBR realisasinya lebih kecil. Program FLPP, misalnya, mencapai realisasi angka di atas satu juta unit setelah 12 tahun berjalan, dengan anggaran total sebesar Rp 99 triliun. Adapun program bedah rumah, dalam kurun 2018 – 2022, realisasinya sebesar 228,3 ribu unit. Program Tapera yang masih infant, realisasinya tidak sampai 10 ribu unit tahun lalu. Dengan demikian, untuk mencapai target hingga dua juta unit rumah terjangkau per tahun bukanlah perkara mudah. Rasionalisasinya dapat dilihat dari sudut pandang fiskal dan kemampuan membangun. Pertama, kapasitas fiskal. Di saat penerimaan negara belum optimal, tentu pemerintah akan lebih hati-hati dalam membelanjakan anggarannya. Saat ini, ada beberapa komponen belanja yang sifatnya mandatory, di antaranya anggaran pendidikan 20%, kesehatan 5%, ditambah kebutuhan untuk pembangunan IKN. Tanpa mengabaikan isu keterjangkauan, anggaran untuk memenuhi target hunian juga harus mempertimbangkan aspek belanja lainnya.
Kedua, kemampuan developer. Sudah menjadi hal umum bahwa membangun rumah subsidi berbeda dengan rumah komersial. Rumah komersial dapat dipasarkan ketika unit belum dibangun, sementara rumah subsidi harus dibangun terlebih dahulu baru dipasarkan. Dengan semakin meningkatnya biaya konstruksi namun harga rumah diatur pemerintah, risiko terbesar program ini ada pada developer, karena margin keuntungan lebih sempit jika dibandingkan dengan rumah komersil. Belum lagi risiko unit rumah subsidi yang tidak cepat terjual sehingga mengganggu cashflow usaha. Kondisi ini membuat developer berhati-hati untuk berpartisipasi dalam program rumah subsidi.
Aspek Krusial
Alih-alih memfokuskan pada target pembangunan fisik, alangkah baiknya paslon mempertimbangkan aspek krusial yang mendukung perbaikan ekosistem perumahan saat ini. Evaluasi atas kebijakan perumahan terjangkau menunjukkan bahwa aspek governance menjadi permasalahan utama. Menyediakan hunian terjangkau dan layak tidak hanya sekadar membangun tempat ting