indotim.net (Jumat, 01 Maret 2024) – Judul Buku: Lelaki Sunni di Kota Syi’ah; Penulis: Iqbal Aji Daryono; Penerbit: Mizan, Januari 2024; Tebal: 191 halaman
Buku Lelaki Sunni di Kota Syi’ah karya Iqbal Aji Daryono (IAD) mengisahkan perjalanan IAD saat mengikuti ziarah Arbain di Irak, sebuah peringatan terhadap kematian Sayidina Husain, cucu Nabi Muhammad, yang umumnya terkait dengan tradisi umat Syi’ah. Buku ini menggabungkan petualangan, perjalanan spiritual, renungan tentang persepsi manusia, dan semangat menjelajah sebagai upaya dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Dan, kabarnya ini adalah buku pertama di Indonesia yang menjadi kesaksian atas apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan langsung oleh penulis setelah berjalan kaki sekitar sepuluh hari dari Najaf ke Karbala, bersama dengan jutaan orang Syi’ah. Judul bukunya membuat saya teringat pada kisah “Kesaksian Mantan Agen Syi’ah yang Menyusup ke Indonesia”. Kisah tersebut tertuang dalam buku catatan perjalanan perdana IAD: Out of The Truck Box, yang diterbitkan pada tahun 2015.
“Kesaksian Mantan Agen Syi’ah yang Menyusup ke Indonesia” menceritakan tentang masuknya para pengungsi Afganistan ke Balikpapan dan Pekanbaru yang kemudian melahirkan syak-wasangka bahwa mereka adalah pasukan rahasia Syi’ah yang akan men-syi’ah-kan Indonesia.
Nah, di buku setebal seratus sembilan puluhan halaman ini pun kurang lebihnya juga sama, IAD berupaya meluruskan stereotip yang menurut sudut pandangnya keliru.
Memang sudah banyak informasi yang beredar mengenai mazhab Syi’ah lengkap dengan segala macam tradisi dan laku-laku ritual spiritualnya, namun sudut pandang IAD yang seringkali di luar kelaziman selalu memiliki daya pikat tersendiri sehingga saya pun penasaran dengan isi buku ini. Lagi pula saya juga tak ingin menjadi pemamah informasi yang pilih kasih.
Tapi karena separuh bukunya berisi foto-foto eksklusif anti-mainstream hasil jepretan IAD sendiri (yang tidak akan ada jika dicari di Google), saya malah jadi tertarik menyimak cerita jalan-jalannya dan kisah perjumpaannya dengan jenderal penggempur ISIS, alih-alih peduli dengan urusan fitnah-fitnah dan stigma buruk tentang Syi’ah yang dituturkannya. Saya pikir, perdebatan seputar Sunni-Syi’ah ini tidaklah lebih dari sekadar isu usang yang diulang-ulang.
***
Melangkah lebih jauh lagi, Lisa menyadari bahwa penting untuk memperluas cakrawala dan memperkuat pengetahuan tentang budaya beragam. Dengan begitu, prasangka-prasangka negatif dapat dihalau dengan langkah-langkah konkret yang mendorong inklusi dan kerukunan sosial.
Saya setuju dengan pendapat bahwa strategi naratif IAD sangat mengagumkan. Terkadang, satu hal yang sebelumnya dibangun dengan kokoh, tiba-tiba dibatalkan, namun kemudian dibangun kembali, dan akhirnya diakhiri dengan dramatis. Sungguh menakjubkan, hal ini tidak banyak penulis yang mampu melakukannya.
Dari penjelasan yang begitu mendetail, saya seolah bisa merasakan panasnya sinar matahari yang membakar seluruh tubuhnya selama perjalanan. Juga seolah bisa merasakan ketakutannya, dengan menyamar dan tidak berani mencolok saat melaksanakan salat berjamaah ala Sunni seorang diri di tengah kerumunan umat Syi’ah. Karena itu terlalu provokatif, bukan? Bagaimana jika dia dicurigai hendak berbuat sesuatu di desa orang, lalu dipukuli dan diarak ramai-ramai?
Saya merasa seakan berada di sana pada hari paling ajaib dalam hidupnya hanya dengan membaca tulisan-tulisannya. Bahkan, saya seolah turut merasakan atmosfir hatinya saat dia menuliskan: “Muhammad Iqbal! Muhammad Iqbal!” seru Ahmed. “Do you wanna fly? Do you wanna ride helicopter?” (halaman 166)
Setelah melalui berbagai rintangan dan tantangan, Akbar akhirnya tiba di desa yang menjadi tujuan utamanya. Desa kecil yang dikelilingi oleh hamparan sawah hijau yang indah.
Ditengah perjalanan panjangnya, ia bertemu dengan banyak orang baik yang memberikannya bantuan dan dukungan. Mereka memberinya arahan dan tips agar bisa sampai ke desa tujuannya dengan aman.
Dari gambar kaver dan judulnya, sekilas buku terbitan Mizan ini terkesan sebagai bacaan yang berat. Namun berkat kepiawaiannya dalam ber-storytelling, lalu disempurnakan dengan gaya penulisan yang keren khas sang penulis, IAD mampu menyulap tema yang serius menjadi lebih santai, mengalir, dan enak dinikmati.
Halus, lincah, dan terkesan, IAD seolah mengajak pembaca untuk menelusuri setiap halaman buku ini tanpa beban prasangka. Bahwa, sesuatu yang mungkin tampak kompleks dan rumit, bisa dinikmati dengan cara yang sederhana.
Kedalaman serta luas cakrawala pemikirannya dalam menyikapi segala persoalan sering kali disajikan melalui kalimat-kalimat sederhana dan bahasa ringan yang mudah dipahami. Sisipan cerita-cerita receh yang dihadirkannya cukup menghibur, minimal membuat saya merasa seolah sedang membaca tulisan-tulisan IAD di media sosialnya. Seperti ketika tengah asyik membahas ritual salat ala Syiah, tiba-tiba dia iseng mengulik fenomena pinjol di Najaf dan Karbala. Huf…
Juga omong kosongnya saat menuliskan keterangan gambar. Bukankah seharusnya di kios pernak-pernik religius Karbala, dia mencari sesuatu yang lebih bermakna daripada magnet kulkas? Ketika dia menunjukkan foto seorang pria pembawa bendera, daripada memberi caption yang serius, malah ia menulis: “Paman datang dari desa. Bukan membawa rambutan dan pisang, melainkan mengibarkan panji perjuangan.”
Belum lagi soal “Bang, satenya dua ratus tusuk, Baaang!” Sate klathak, wedang secang, dan lagu Denny Caknan pun turut dibawa-bawa ke dalam buku bertema Karbala, bagaimana saya nggak senyum-senyum sendiri coba?
Saat membaca tulisan tersebut, saya merasa seperti dihadapkan pada keceriaan yang tulus. Semua elemen yang disajikan begitu hidup dan mengundang tawa. Sungguh pengalaman yang menggugah hati!
Dan, bayangkan saja, di mozaik yang berjudul Tarian Asing, bisa-bisanya dia dengan usilnya menuliskan: “Ketika syair dengan nada rancak mulai dirapalkan, rantai dengan pisau-pisau tajam itu pun diayunkan ke arah punggung si pemegang sendiri, melayang cepat, daaan…Ups, enggak jadi, hehe. Maaf, yang barusan itu saya gambarkan dengan lebay semata untuk memenuhi imajinasi Anda tentang ritual Syi’ah berdarah-darah.” (halaman 130)
Menggemaskan, bukan?
Setelah mengenali Makara lebih dalam, kami melanjutkan perjalanan kami menuju ke selatan. Suara deburan ombak semakin terdengar jelas, memberikan suasana yang menenangkan di tengah perjalanan kami. Angin sepoi-sepoi laut melambai lembut, memberi kehangatan di dalam hati yang semakin terbuka. Kami merasa seperti diiringi oleh kehadiran alam yang begitu megah.
Bagi IAD, perjalanannya ke kota-kota suci umat Syi’ah telah membuka matanya terhadap selubung yang selama ini mengaburkan banyak hal dan membuat prasangka merajalela. Perjalanan ini menjadi sarana untuk membongkar kesalahpahaman sebelum akhirnya diabadikan dalam sebuah buku berisi foto-foto dan cerita yang penuh dengan semangat untuk menahan diri dari membudayakan prasangka.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa usaha untuk mengatasi prasangka adalah sia-sia. Namun, terlepas dari seberapa keras kita mencoba menghalau prasangka, kenyataannya prasangka tetaplah ada dalam kehidupan kita. Bukankah dengan menduga bahwa orang lain berprasangka, itu sebenarnya juga merupakan sebuah prasangka? Dan, bukankah prasangka timbul karena melihat suatu hal dari perspektif yang berbeda?
Informasi-informasi dengan sudut pandang tertentu terus membentuk kedangkalan sudut pandang yang kemudian berjejalan menjadi asupan, tak henti mewarnai alam pikiran kita. Memang teramat tidak baik jika kita membiarkan seluruh ruang di dalam otak kita dipenuhi prasangka. Namun, jika hanya menyisakan sedikit, mungkin akan berbeda. Bahkan, itu dapat membantu kita tetap terjaga dan menjadikan kita lebih utuh sebagai manusia. Manusia dengan segala keterbatasannya, termasuk keterbatasan dalam kemampuan menepis segala prasangka.
Setelah melewati berbagai rintangan yang menguji kepercayaan diri, Akbar akhirnya tiba di desa yang menjadi tempat tujuan perjalanannya. Di sana, ia disambut hangat oleh penduduk desa yang ramah.
Akbar merasa lega melihat sikap terbuka mereka yang tidak terpengaruh oleh prasangka buruk terhadap orang asing. Hal ini membuatnya semakin yakin bahwa prasangka hanya akan menghalangi pembangunan hubungan baik.
Di tengah obrolan santai dengan penduduk desa, Akbar mengetahui betapa pentingnya komunikasi yang jujur dan saling percaya untuk menjalin hubungan yang harmonis. Semakin dalam ia terlibat dengan masyarakat setempat, semakin terbukalah wawasannya tentang kehidupan di pedesaan.
Dalam batas-batas tertentu, hampir semua orang setuju bahwa perbedaan adalah rahmat. Namun, tidak dapat disebut IAD tanpa melakukan lompatan-lompatan yang seringkali melanggar batas dan menantang asumsi-asumsi yang umumnya diyakini. Meskipun menyadari bahwa sikap semacam itu memerlukan keberanian yang besar, memerlukan individu yang teguh dan siap untuk menjadi sasaran dari massa yang membully, dan memerlukan individu yang cukup berani untuk menjalankannya. Dan, sayangnya, dia memenuhi semua kriteria tersebut.
Melalui buku ini, IAD menawarkan perspektifnya tanpa memaksa pembaca untuk sepakat. IAD berpendapat bahwa sikap-sikap keras kepala yang mencoba memaksa pandangan positif dan nilai-nilai subjektif kita pada orang lainlah yang seringkali menimbulkan konflik yang tak kunjung selesai.
Meskipun sebenarnya apa yang dia dapatkan selama perjalanan ini lebih untuk dirinya sendiri, namun diharapkan pesan perdamaian dan persaudaraan yang tersirat di dalamnya dapat lebih disampaikan kepada pembaca daripada kontroversi yang ada. Selain itu, terdapat satu pesan penting lain terkait egoisme spiritual: meskipun kita mungkin tidak saling berebut harta, namun sering kali kita berebut untuk masuk surga. Banyak kasus egoisme spiritual di sekitar kita yang pada akhirnya menciptakan arogansi tanpa kita sadari.
Sejujurnya, beberapa teman pernah mengingatkan saya agar lebih berhati-hati dalam memilih bacaan. Namun, saya merasa kekhawatiran mereka sedikit berlebihan. Bagi saya, Lelaki Sunni di Kota Syi’ah hanyalah sebuah catatan perjalanan, bukan kitab suci yang mutlak harus saya percayai kebenarannya.
Namun, ada satu keyakinan yang tersembunyi dalam diri saya: bahwa IAD adalah pribadi yang patuh, penuh dengan rasa hormat, dan sangat mencintai ibunya (seorang Muhammadiyah sejati). Selama Sang Ibu tetap teguh pada Muhammadiyah, saya yakin IAD tak akan melanggar keyakinannya.
Miki Loro Mayangsari, seorang ibu dua anak yang tinggal di Surabaya, telah mengalami perjalanan panjang untuk menghalau prasangka.