Membongkar Teori Konspirasi di Balik Hak Angket

indotim.net (Selasa, 27 Februari 2024) – Perjalanan Pemilu 2024 kini memasuki fase yang penuh dengan ketegangan. Setelah serangkaian proses pemungutan dan penghitungan suara yang rumit, polemik pun muncul dengan begitu tajam. Sebagai masyarakat yang peduli akan masalah politik, belakangan ini kita disibukkan dengan pemberitaan mengenai wacana hak angket yang diajukan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024.

Usulan Ganjar tersebut langsung mendapat respons dari berbagai aktor politik. Partai politik di koalisi Indonesia Maju (Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat) yang mendukung Prabowo-Gibran secara bersama-sama menolak usulan hak angket. Di sisi lain, partai politik dalam Koalisi Perubahan (Nasdem, PKB, dan PKS) yang mengusung Anies-Muhaimin mendukung usulan hak angket dengan syarat menunggu keputusan dari PDIP sebagai inisiator. Sementara itu, koalisi partai politik yang mendukung Ganjar-Mahfud (PDIP dan PPP) masih terpecah, terutama di dalam PPP.

Ada dua pertanyaan utama terkait polemik hak angket ini. Pertama, apakah mungkin hak angket akan terjadi dengan komposisi koalisi partai politik saat ini? Kedua, apa akhir dari polemik seputar hak angket ini?

Sebelum melangkah ke tahap selanjutnya, penting bagi kita untuk merenung apa yang terjadi dalam dua tahapan politik sebelumnya.

Upaya pemerintah dalam menghadapi ujian hak angket menjadi pusat perhatian dalam dinamika politik yang terus berkembang. Isu ini menjadi sorotan karena potensinya dalam membongkar segala lapisan konflik kepentingan yang ada.

Menerapkan hak angket di parlemen melibatkan dua tahapan politik penting. Tahapan pertama memerlukan usulan dari minimal 25 anggota DPR yang berasal dari lebih dari satu fraksi (UU Nomor 17 Tahun 2014). Koalisi Ganjar-Mahfud dan Koalisi Perubahan memiliki dukungan yang cukup pada tahap ini. Namun, pertanyaannya, apakah PDIP bersedia menjadi inisiator dan memimpin pelaksanaan hak angket ini, mengingat syarat dari Koalisi Perubahan bahwa PDIP harus menjadi inisiatornya?

READ  Gibran: Gus Muhaimin Kocak, Tanya Lingkungan dengan Botol Plastik

Sikap Koalisi Perubahan tersebut dapat dimaklumi, karena isu hak angket dicetuskan oleh calon presiden dari PDIP, yakni Ganjar Pranowo. Di samping itu, fraksi PDIP menempati posisi yang sangat strategis di parlemen, Ketua DPR yang dijabat Puan Maharani. Posisi strategis ini sangat menentukan apakah hak angket atas dugaan kecurangan Pilpres 2024 dapat disetujui di tahapan politik kedua, yakni paripurna.

Langkah politik kedua terkait hak angket jauh lebih rumit dan kompleks dibanding tahapan politik sebelumnya. Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2014, usulan hak angket akan diterima apabila memperoleh persetujuan dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri oleh lebih dari setengah jumlah anggota DPR. Keputusan terkait usulan tersebut pun harus disetujui oleh lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat.

Tahapan politik kedua ini seharusnya dapat berjalan mulus apabila partai pendukung Koalisi Ganjar-Mahfud dan Koalisi Perubahan solid. Secara komposisi politik di parlemen, gabungan partai politik dari dua koalisi ini sudah memenuhi syarat untuk mewujudkan hak angket atas dugaan kecurangan Pilpres 2024, yakni berjumlah 314 kursi atau sekitar 54,6% dari total anggota DPR periode 2019-2024 yang berjumlah 575 kursi.

Persoalannya, apakah gabungan dari dua koalisi tersebut benar-benar solid?

Peristiwa politik mutakhir menyimpan jawaban yang kurang mengenakkan: gabungan koalisi yang rapuh.

Di internal Koalisi Perubahan, dukungan terhadap usulan hak angket ‘baru’ dinyatakan oleh aktor politik lapis kedua, yaitu para sekretaris jenderal dari ketiga partai politik.

Itu pun dukungan bersyarat: PDIP yang menginisiasi.

Sedangkan para ketua umum sebagai pengambil keputusan kunci dalam partai politik masih belum menyatakan dukungan ataupun penolakan secara tegas.

Di sisi lain, Respons Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, Ahmad Ali, terhadap usulan hak angket cenderung negatif. Dia menyatakan bahwa hak angket berpotensi menimbulkan gejolak. Menurutnya, Ganjar tidak layak mengusulkan hak angket karena dinilai sebagai pihak yang kalah dalam Pilpres 2024.

READ  Rilis Terbaru: Pengeluaran Dana Kampanye 15 Parpol Menggegerkan Publik

Di internal Koalisi Ganjar-Mahfud, Ketua Majelis Kehormatan PPP, Zarkasih Nur, menolak usulan hak angket. Menurutnya, langkah tersebut dapat memicu perpecahan di masyarakat.

Rapuhnya koalisi tersebut disebabkan oleh perbedaan postur politik. Koalisi Indonesia Maju menolak keras usulan hak angket dengan alasan memiliki tawaran yang lebih menarik, yaitu bagian dari kekuasaan dan prediksi pemenang Pilpres 2024 menurut berbagai lembaga survei.

Menerima tawaran kekuasaan berarti mengamankan kursi kabinet beserta turunannya untuk lima tahun ke depan. Bagi partai politik, tawaran kekuasaan lebih menggoda daripada hak angket. Terlebih lagi, dalam sejarah politik tanah air, sudah ada preseden perpindahan aliansi dari koalisi yang menantang ke koalisi yang menang. Di samping itu, setiap partai politik memiliki rekam jejak berkoalisi di tingkat nasional.

Tanda-tanda ke arah sana telah tampak. Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, telah memulainya dengan bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara beberapa waktu yang lalu. Kemungkinan besar, Nasdem akan bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju setelah pertemuan tersebut. Hal ini semakin diperkuat dengan kesediaan Presiden Jokowi untuk menjadi jembatan ‘politik’ bagi semua pihak terkait.

Demikian juga dengan partai politik yang lain. Magnet kekuasaan akan menariknya. PKB yang tidak memiliki rekam jejak oposisi, PKS yang telah ‘puasa’ kekuasaan selama 10 tahun terakhir, dan PPP yang selama ini ‘bergantung’ pada kekuasaan memperkuat alasan untuk pindah haluan menjadi bagian dari pemenang dan kekuasaan.

Kedua Ujung Hak Angket

Jika demikian, lalu bagaimana ujung dari hak angket? Ada dua kemungkinan. Ujung pertama, usulan hak angket sebagai instrumen PDIP untuk melakukan perlawanan politik dan mendelegitimasi secara politik atas pemerintahan Jokowi sebagai ‘ganjaran’ atas manuver dan perbuatan politiknya yang bertolak belakang dengan PDIP dalam Pilpres 2024.

READ  Pakar: Ungkap Fakta Mengejutkan Terkait Pemilu di Indonesia

Perlawanan dan delegitimasi politik dari PDIP, yang notabene merupakan pendukung utama pemerintahan Jokowi selama dua periode, dapat menimbulkan dampak yang signifikan pada masa akhir kepemimpinan Jokowi. Hal ini setidaknya akan memastikan proses penurunan Jokowi dari kursi kepresidenan tidak berjalan dengan lancar.

Ujung kedua, usulan hak angket sebagai instrumen untuk menaikkan nilai tawar politik dari partai politik. Semacam menerapkan peribahasa Latin si vis pacem para bellum –berperang untuk damai. Hak angket menjadi ‘alat tukar’ politik untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan politik yang lebih besar seperti kursi menteri beserta turunannya dalam kabinet pemerintahan yang akan datang.

Sebenarnya, partai politik dalam Koalisi Perubahan tengah memainkan perannya dengan cermat. Mereka tidak ingin terlalu maju agar tidak terjebak dalam dinamika politik PDIP, namun juga tidak mau tertinggal dalam mengangkat isu-isu penting agar bisa memanfaatkan alat politiknya.

Melfin Zaenuri Direktur Eksekutif The Strategic Lab, mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia